Krisis Hak Warga Telemow Di Balik Pembangunan IKN

  • Desa Telemow yang dihuni secara turun-temurun kini berada dalam pusaran konflik sengketa tanah akibat perluasan proyek Ibu Kota Negara (IKN), di tengah dominasi kepentingan negara dan korporasi.
  • Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI tetap dipertahankan sejak 1994, meskipun tanah itu sudah masuk Areal Penggunaan Lain (APL) berdasarkan SK Kementerian Kehutanan tahun 2020. Warga menolak tuduhan penyerobotan lahan, dengan menunjukkan bukti tanah leluhur berupa SKT, PBB, dan peta adat. Namun, upaya mereka menghadapi jalan buntu.
  • Pada 4 Desember 2024, tiga warga Telemow, termasuk Safarudin alias Pak Aco, ditangkap paksa oleh Polda Kaltim tanpa surat penangkapan yang sah, memicu kecaman terhadap prosedur hukum yang dinilai cacat. Warga menghadapi tekanan bertubi-tubi—mulai dari somasi, pemanggilan aparat, hingga ancaman penggusuran.
  • Di balik konflik ini, terdapat aktor bisnis dan politik kuat. ITCI Kartika Utama berafiliasi dengan keluarga elite nasional dan menguasai lahan luas di Telemow melalui jaringan bisnis Arsari Group. Keabsahan HGB yang mereka miliki mulai dipertanyakan karena tidak sesuai dengan aturan penggunaan lahan.
  • Sementara ATR/BPN PPU menyatakan hanya bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat, tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan ketidakpastian hukum yang mengancam keberlanjutan hidup warga. Dengan status tanah yang kini menjadi bagian delineasi IKN, masa depan Desa Telemow semakin tidak menentu.

Oleh: Muhammad Razil Fauzan

INDEPENDEN-  TELEMOW, sebuah desa yang tenang berada di antara rimbunan pepohonan yang seolah-olah abadi. Jalan berbatu dan tanah merah menghubungkan rumah-rumah yang renggang di Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU), menyisakan pekarangan kecil untuk setiap keluarga. 

Di malam hari, gelap melahap seluruh penjuru desa, hanya lentera dan lampu rumah seadanya yang melawan kesuraman. Tak ada lampu jalan, tak ada suara kendaraan selain derit roda motor tua yang melintas sesekali.

Namun, di balik keheningan itu, bara masalah terus menyala. Di bawah rindang pohon-pohon besar, cerita tentang tanah ini menjadi narasi panjang yang belum selesai—kisah warisan leluhur yang kini diusik oleh klaim perusahaan besar.

Rudiansyah, pria berusia 45 tahun, duduk termenung di rumahnya. Matanya menatap lurus ke halaman, melihat tanah yang dulu luas, kini hanya tersisa sebidang kecil yang tak cukup untuk berkebun. Ia lahir dan besar di rumah itu, di tanah yang diwariskan orang tuanya, tetapi sekarang keberadaannya dipertanyakan. 

Berulang kali, pihak luar datang membawa surat-surat dan ancaman, mengklaim bahwa tanah yang telah lama ia tempati bukan lagi miliknya. Rudiansyah menghela napas panjang, mengingat hari ketika tawaran itu datang kepadanya. 

Pada 19 Desember 2019, ia menerima surat dari pimpinan PT ITCI KU yang menawarkan perubahan status dari pekerja lepas menjadi karyawan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Tawaran itu juga mencakup peluang menjadi karyawan tetap dengan sejumlah fasilitas. 

Namun, ada satu syarat yang harus dipenuhi—Rudiansyah diminta menandatangani surat pernyataan yang mengakui bahwa lahan tempatnya tinggal adalah Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT ITCI KU.

"Kalau kamu tanda tangan ini, Rud, kamu kuangkat jadi karyawan," suara seseorang dari perusahaan masih terngiang di benaknya.

Kata-kata itu terdengar ramah, tapi ia tahu, di baliknya ada sesuatu yang lebih besar. Tanda tangannya bukan sekadar persetujuan, melainkan perpisahan. Ia menolak, karena ia tahu apa yang akan terjadi jika ia menyerah. Terlebih, Rudiansyah lahir dan besar di Desa Telemow.

“Nanti gara-gara itu semua habis,” gumamnya.

Surat yang dilayangkan PT ITCI Kartika Utama kepada warga Desa Telemow.
Surat yang dilayangkan PT ITCI Kartika Utama kepada warga Desa Telemow.

Sejak saat itu, tekanan semakin bertubi-tubi. Somasi demi somasi berdatangan, meminta pengosongan rumahnya. Kebun yang dulu menjadi sumber kehidupan kini tak lagi ada. Yang tersisa hanya sebidang tanah berukuran 26x29 meter persegi, cukup untuk berdiri, tapi tak cukup untuk hidup.

"Mau berkebun enggak ada sudah, tinggal tanah ini," katanya lirih.

Di dalam rumah, istrinya mengatur lembaran-lembaran surat yang semakin menumpuk. Mata perempuan itu menyusuri setiap kata dalam surat yang pernah datang silih berganti, tetapi ia tak benar-benar membaca. Ia tahu isinya tetap sama: perintah untuk pergi. Ia mengingat hari di mana tekanan semakin menjadi-jadi, bahkan ketika mereka masih dalam keadaan berduka.

Tiga hari setelah anak mereka meninggal karena tenggelam, tujuh orang datang ke rumah mereka. Bukan untuk melayat, tetapi membawa surat panggilan pemeriksaan oleh aparat. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana perasaannya saat itu.

"Makanya saya bilang, bapak ini enggak jaga perasaan saya kah, Pak? Saya ini masih dalam keadaan berduka," ujarnya, suaranya kini tak lagi bergetar, hanya ada kelelahan yang mendalam.

Namun, kata-katanya tidak mengubah apa pun. Surat-surat itu terus berdatangan, satu demi satu, tanpa henti. Setiap kali seseorang mengetuk pintu rumah mereka, jantungnya berdegup lebih cepat, bertanya-tanya apakah itu ancaman baru atau hanya seorang tetangga yang singgah.

"Biasanya yang datang ke sini Humas PT ITCI," ujarnya datar.

Di rumahnya yang sederhana, kakaknya, Ibu Muna, perempuan paruh baya berusia 55 tahun yang telah lama menjadi Ketua RT di desa itu, mencoba bertahan di tengah tekanan yang semakin berat. Ia masih ingat betul masa-masa ketika Desa Telemow adalah tempat yang damai.

Ibu Muna ingat betul pada sebuah pohon mahoni besar yang tumbuh di daerah sekitar rumahnya dan telah menjadi bagian dari kehidupan keluarganya selama puluhan tahun. Di bawah pohon itulah ayahnya dulu sering duduk, berbincang tentang hidup, tentang tanah ini, dan tentang masa depan yang saat itu tampak begitu jauh dari segala bentuk ancaman. 

Tetapi sekarang, pohon itu berdiri sebagai penanda batas, sebuah garis tak kasat mata yang memisahkan kepastian dari ketidakpastian.

Sejak 2017, tanah yang selama ini menjadi rumah mereka tiba-tiba diklaim masuk dalam HGB perusahaan. Padahal sebelumnya, tak ada yang mempermasalahkan keberadaan mereka di sini. Tidak ada yang mempertanyakan hak mereka atas tanah ini, hingga tiba-tiba segalanya berubah.

"Jadi memang dari orang tua kita, ibaratnya datuk saya dari bapak saya memang tinggal di sini sampai saya sudah bercucu. Artinya, kita dibilang penyerobot dari mananya?" katanya, suaranya penuh kebingungan.

Bagi Ibu Muna, tanah ini adalah bukti kerja keras keluarganya. "Bukti tanah orang tua saya itu pohon buah yang besar-besar. Jadi sekarang, biar kata orang, kita tanam singkong, ya tinggal main cabut," ujarnya.

Ketika puskesmas dan kantor desa dibangun, keluarga mereka bahkan menghibahkan tanah itu demi kepentingan bersama. Namun, sekarang, tanah yang tersisa pun dipertanyakan legalitasnya.

Sejak saat itu, kehidupan mereka berubah drastis. Rumah-rumah warga yang dulu berdiri dengan damai kini diawasi. Setiap bunyi palu yang menghantam kayu segera diikuti oleh teguran, larangan, dan kadang ancaman.

"Rumah saya saja mau runtuh, dilarang membangun, dilarang memperbaiki. Asal bunyi palu bangunan langsung didatangin humasnya," katanya.

Ibu Muna tahu, jika tanah ini benar-benar bukan miliknya, mengapa selama ini mereka membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun?

"Kita punya PBB-nya, bayar kita. Bahkan ketika saya dipanggil ke Polda, bayar kan itu PBB, saya kasih lihat semua,"ujarnya.

Namun, semua bukti itu seolah tak ada artinya. Surat-surat terus berdatangan, meminta mereka untuk segera pergi.

"Banyak ancamannya, ancamannya mau didorong (dengan alat berat) dan mau disanksi, ada kok di surat-surat,"katanya.

Ia ingat bagaimana ayahnya dulu bekerja keras membuka tanah ini. Keluarganya telah berada di sini sejak 1940, jauh sebelum perusahaan yang kini mengklaim tanah ini hadir.

"Kalau dilihat dari suratnya sih satu Desa Telemow. Semuanya, makanya saya bilang dari mananya? Padahal bapak menggarap sejak tahun 1940," katanya.

Kini, yang mereka inginkan sebenarnya sederhana.

"Yang kami mau hanya satu, yah dilepaskan," katanya, suara itu kini lebih seperti doa daripada tuntutan.

Namun, mereka tahu, permintaan itu seperti berbicara kepada angin.

Di bawah bayang-bayang pohon mahoni yang semakin meranggas, di antara derit kayu rumah yang mulai usang, mereka masih berpegang teguh pada satu hal: bertahan.

"Apapun yang terjadi, yah tetap bertahan di sini," ujarnya, tatapannya tegas.

Di bawah bayang-bayang gelap malam Desa Telemow, jalan berbatu dan pepohonan besar menjadi saksi perjuangan warga yang berusaha mempertahankan tanah leluhur mereka. 

Kisah lain datang dari Desa Telemow, sebuah wilayah yang selama ini hidup dalam ketenangan, hingga konflik tanah mengubah segalanya. Pak Acok, seorang warga yang sejak lama menggantungkan hidup pada tanah warisan keluarganya, harus menghadapi kenyataan bahwa kebun tempat ia menanam cempedak, rambutan, dan rotan itu tiba-tiba dipersoalkan. 

Tanah yang telah ia rawat selama bertahun-tahun, kini berhadapan dengan klaim kepemilikan yang lebih kuat dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB).

Konflik ini bukanlah perkara baru. Warga Desa Telemow sudah lama berada dalam ketidakpastian, berulang kali mendengar bahwa lahan yang mereka tempati akan digunakan untuk kepentingan perusahaan besar. 

Pihak berwenang datang silih berganti, terkadang memberikan sosialisasi, terkadang membawa surat pemberitahuan, tetapi jarang yang benar-benar memberikan kepastian bagi warga.

Sebagai salah satu yang paling vokal dalam memperjuangkan hak atas tanah di Telemow, Pak Acok beberapa kali dimintai keterangan oleh aparat. Ia mengingat betul saat dirinya dipanggil untuk menjelaskan perannya dalam mempertahankan tanah leluhur. 

Dalam pemeriksaan itu, berbagai pertanyaan diajukan kepadanya, mulai dari dugaan penguasaan lahan tanpa izin hingga keterlibatannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kabupaten PPU beberapa tahun sebelumnya.

Dalam rapat tersebut, warga desa berharap bisa menyampaikan aspirasi mereka terkait tanah yang telah mereka kelola turun-temurun. Namun, kesempatan berbicara tidak diberikan. 

"Kami diundang, tetapi yang lucu sekali itu satu kata pun selama permasalahan di sana itu kami tidak dikasih kesempatan untuk berbicara," kenang Pak Acok. 

Kecewa dengan situasi itu, ia akhirnya melontarkan pernyataan yang kemudian menjadi dasar tuduhan terhadapnya.

"Sekalian saya patah-patah tangan bapak, saya lempar kepala bapak, saya bilang pecahin kepala bapak," ucapnya dalam rapat tersebut, sebuah pernyataan yang dipicu oleh ketegangan dalam forum yang dianggap tidak adil bagi pihak warga. 

Pernyataannya itu kemudian ditafsirkan sebagai ancaman, yang pada akhirnya menambah daftar permasalahan hukum yang dihadapinya.

Namun bagi Pak Acok, inti persoalan bukanlah ucapannya dalam forum tersebut, melainkan ketidakjelasan status tanah yang selama ini mereka tempati dan kelola. Ia menegaskan bahwa lahan yang mereka pertahankan bukanlah tanah yang baru mereka duduki, melainkan bagian dari kehidupan mereka selama puluhan tahun. 

"Saya ndak tahu, saya ndak ngerti. Yang jelas kami tidak merasa menyerobot lahan. Kami orang pribumi, orang asli di sini, penduduk asli di sini," katanya.

Persoalan kepemilikan tanah ini berakar pada pemberian Hak Guna Bangunan kepada perusahaan yang mengklaim lahan di Telemow. Sementara warga berpegang pada hak adat dan warisan leluhur, pihak perusahaan memiliki dokumen legal yang sah menurut hukum negara. Benturan ini yang terus berulang, meninggalkan warga dalam ketidakpastian hukum dan kehidupan.

Warga Desa Telemow tidak sendirian dalam perjuangan ini. Di berbagai daerah, kasus serupa terus bermunculan. Konflik antara hak adat dan kepentingan korporasi menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. 

Beberapa desa lain di sekitar Penajam Paser Utara juga mengalami hal yang sama. Ada yang berhasil mempertahankan tanahnya, ada pula yang akhirnya harus rela kehilangan hak atas lahan mereka.

Pada akhirnya, permasalahan ini bukan sekadar perkara legalitas kepemilikan tanah, tetapi juga soal keberlanjutan hidup warga Telemow yang bergantung pada lahan mereka. Malam itu, ketika Pak Acok kembali ke rumahnya, ia menyadari bahwa perjuangan ini masih panjang. Di tanah yang telah menjadi saksi sejarah panjang warganya, perlawanan untuk mempertahankan hak mereka belum berakhir.

Membela Hak yang Tergilas Kekuasaan

Ardiansyah adalah salah satu pendamping hukum yang selalu berada di garis depan membela hak warga Desa Telemow. Ia tahu betul bagaimana hukum bisa menjadi alat yang memberatkan rakyat kecil. 

Ketika warga seperti Rudiansyah dan Pak Acok diminta untuk memberikan keterangan terkait kasus tanah, ia melihat ada pelanggaran dalam prosedur hukum yang seharusnya melindungi mereka.

Persoalan ini bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sejak 11 Oktober 2024, empat warga Desa Telemow mulai diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang melibatkan sengketa tanah dengan PT ITCI. Pemeriksaan itu berlanjut dalam beberapa panggilan, namun banyak di antara mereka mengalami kesulitan hadir karena jarak dan biaya perjalanan yang tidak sedikit.

Pada 4 Desember 2024, beberapa warga diminta hadir untuk memberikan keterangan lebih lanjut terkait kasus ini. Mereka menjalani pemeriksaan di Polda Kaltim dan dipulangkan setelah proses tersebut selesai. Pendamping hukum mereka menyoroti kejanggalan dalam prosedur hukum, terutama terkait hak-hak warga yang masih belum mendapatkan kejelasan hukum.

Warga Desa Telemow dituduh menyerobot tanah milik PT ITCI, sebuah perusahaan yang diketahui berafiliasi dengan keluarga elite politik nasional. Namun, bagi warga, tuduhan itu tidak berdasar. Mereka telah tinggal di sana jauh sebelum PT ITCI mengklaim wilayah itu dengan sertifikat HGB.

Sejarah panjang desa ini mencatat bahwa masyarakat adat telah menetap di tanah tersebut selama beberapa generasi. Jauh sebelum PT ITCI datang, tanah itu sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Namun, perubahan besar terjadi pada tahun 2017, ketika sertifikat HGB perusahaan keluar, mencakup kawasan yang selama ini dihuni warga. 

Sejak saat itu, plang-plang bertuliskan kepemilikan perusahaan mulai dipasang, dan warga yang tinggal di situ tiba-tiba dianggap sebagai penghuni ilegal di tanah mereka sendiri.

Di sisi lain, status hukum tanah di Desa Telemow seharusnya membuat klaim PT ITCI gugur. Berdasarkan informasi resmi dari Kepala Otorita IKN, desa ini termasuk dalam delineasi IKN. SK Kementerian Kehutanan tahun 2020 menyebutkan bahwa lahan yang didiami warga telah ditetapkan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL), yang berarti tanah itu telah diambil alih oleh negara untuk kepentingan proyek strategis nasional.

Secara hukum, ketika sebuah kawasan sudah masuk dalam APL, semua hak guna di atasnya—termasuk HGB—seharusnya tidak lagi berlaku. Namun, sampai saat ini, PT ITCI masih memegang sertifikatnya.

Pendamping hukum warga menilai bahwa apa yang terjadi kepada warga Desa Telemow adalah bentuk kriminalisasi. Seharusnya, jika ada klaim kepemilikan yang dipersengketakan, penyelesaiannya harus melalui jalur perdata, bukan pidana. Jika PT ITCI merasa berhak atas tanah itu, mereka seharusnya mengajukan gugatan perdata untuk membuktikan kepemilikan mereka sebelum membawa kasus ini ke ranah pidana.

"Kami menganggap bahwa mentersangkakan warga ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap warga negara," kata Ardiansyah, pendamping hukum warga Telemow.

Saat ini, berbagai upaya hukum sedang dilakukan untuk menghentikan proses kriminalisasi ini. Warga dan pendamping hukumnya meminta agar Polda Kaltim menghentikan penyelidikan hingga ada kejelasan hukum mengenai status HGB PT ITCI.

Jika mengacu pada SK Kementerian Kehutanan, tanah yang kini dihuni warga sudah menjadi milik negara sebagai bagian dari proyek IKN, dan seharusnya tidak bisa lagi diklaim oleh PT ITCI. Namun, hingga kini, tidak ada kejelasan dari Kementerian ATR/BPN mengenai status sertifikat tersebut. Jika memang HGB masih tercatat secara legal, maka seharusnya ada mekanisme resmi untuk mencabutnya.

"ATR BPN itu harus koordinasi dengan pemerintah daerah, Kanwil, dan Kementerian ATR/BPN untuk mengeluarkan SHGB yang ada dalam APL untuk areal delineasi IKN. Tidak bisa dibiarkan, karena banyak sekali warga yang ada di situ," tegas Ardiansyah, pendamping hukum warga.

Selain itu, ada wacana untuk mengajukan praperadilan untuk menantang status tersangka yang disematkan kepada warga. Mereka juga mendesak agar Kepala Otorita IKN dan perwakilan Kementerian ATR dipanggil untuk memberikan keterangan mengenai batas-batas delineasi IKN. Jika benar bahwa lahan yang disengketakan telah masuk dalam APL, maka kasus ini seharusnya dihentikan.

Warga Desa Telemow berharap ada kejelasan mengenai hak-hak mereka dalam proyek pembangunan yang direncanakan pemerintah. Jika tanah ini telah ditetapkan sebagai bagian dari proyek strategis nasional, diperlukan transparansi mengenai status lahan dan hak warga yang terdampak.

Bagi warga, tanah ini memiliki nilai historis dan ekonomi yang penting bagi kehidupan mereka dan generasi mendatang.

Di Desa Telemow, kehidupan berjalan dalam kesederhanaan yang penuh makna. Jalan-jalan berbatu yang lengang menjadi saksi bagaimana waktu berlalu tanpa menghapus tradisi. Pohon-pohon besar yang menjulang seakan menjadi pelindung bagi cerita-cerita lama, kisah leluhur yang telah tinggal di tanah ini selama beberapa generasi.

Namun, bayang-bayang perubahan datang membawa kecemasan. Apa yang dulunya dianggap sebagai milik sendiri, tanah yang menjadi tempat berpijak dan menanam harapan, perlahan diusik oleh kehadiran sebuah dokumen bernama Hak Guna Bangunan (HGB).

Papan pemberitahuan yang menunjukan klaim HGB PT ITCI Kartika Utama.
Papan pemberitahuan yang menunjukan klaim HGB PT ITCI Kartika Utama.(Foto : Razil/Independen.id)

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh WALHI Kaltim, pada tahun 1993, PT ITCI Kartika Utama menerima Hak Guna Bangunan atas sebagian besar wilayah Desa Telemow. Hak ini, yang semula diterbitkan dengan nama PT International Timber Corporation Indonesia, mencakup area luas yang telah dihuni oleh warga jauh sebelum perusahaan datang​.

Selama 20 tahun berikutnya, perusahaan jarang terlihat menggunakan tanah itu untuk kegiatan yang berarti. Menurut warga, tanah itu dibiarkan begitu saja, dengan sebagian kecil area ditanami pohon sengon. Aktivitas yang dilakukan tidak mencerminkan tujuan HGB sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, yang mengharuskan pemanfaatan tanah sesuai peruntukan​.

Ketika masa berlaku HGB habis pada tahun 2013, masyarakat Desa Telemow tetap menjalani hidup seperti biasa. Mereka menggarap ladang, memelihara tradisi leluhur, dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahun sebagai bukti kepemilikan​. Namun, segalanya berubah pada tahun 2017.

Pada tahun 2017, PT ITCI mengajukan pembaruan HGB. Tidak hanya itu, perusahaan mulai mengedarkan formulir pengakuan kepada warga. Formulir ini meminta mereka menyatakan bahwa tanah yang mereka tinggali bukan milik mereka. Tekanan semakin besar ketika perusahaan menyatakan akan membawa kasus ini ke ranah hukum jika warga menolak menandatangani dokumen itu.

Ketegangan semakin memuncak pada Maret 2020, ketika PT ITCI mengirimkan somasi kepada 88 kepala keluarga. Surat itu berisi perintah tegas untuk mengosongkan lahan mereka atau menghadapi tuntutan hukum. Warga yang telah tinggal di tanah itu sejak lahir merasa terpojok. Ancaman hukum yang datang bertubi-tubi menciptakan ketakutan yang meresap hingga ke sudut-sudut desa​.

Namun, warga tidak tinggal diam. Mereka mulai berkonsolidasi, didukung oleh jejaring organisasi masyarakat sipil. Pada tahun 2023, mereka mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Kalimantan Timur, meminta transparansi atas dokumen HGB PT ITCI. Putusan Komisi Informasi pada awal 2024 memerintahkan agar dokumen itu dibuka untuk publik. Namun, ATR/BPN menolak putusan tersebut dan mengajukan banding.

Tekanan terhadap warga mencapai puncaknya pada September 2023, ketika sebanyak 19 warga dipanggil ke Polda Kaltim. Dari jumlah itu, empat orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, dengan tuduhan penyerobotan lahan. Tuduhan itu dianggap tidak masuk akal oleh warga yang telah tinggal di tanah tersebut selama beberapa generasi​.

Pada Februari 2023, PT ITCI kembali meminta warga mengosongkan lahan dengan alasan bahwa tanah itu diperlukan untuk mendukung kebutuhan logistik proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Desa Telemow, yang berada di zona inti IKN, menjadi wilayah yang strategis dalam rencana besar pemerintah. Namun, warga merasa bahwa proyek nasional ini lebih berpihak pada modal daripada melindungi hak-hak masyarakat adat​.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021, HGB yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan dapat dicabut. Namun, dalam kasus PT ITCI, pembaruan HGB pada 2017 tetap dilakukan meski pemanfaatannya tidak jelas. Laporan dari ATR/BPN menunjukkan bahwa tanah yang diklaim hanya ditanami sengon tanpa fasilitas umum yang memadai. Hal ini bertentangan dengan kewajiban pemanfaatan tanah sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda Nomor 21/G/KI/2024/PTUN.SMD menegaskan bahwa dokumen HGB ini adalah informasi publik yang harus dibuka untuk warga. Namun, ATR/BPN tetap bersikeras bahwa dokumen itu adalah informasi rahasia dan tidak dapat diakses​.

Di tengah tekanan yang terus datang, warga Desa Telemow tetap bertahan. Bagi mereka, tanah ini bukan sekadar tempat tinggal. Ini adalah bagian dari identitas mereka, warisan leluhur yang harus dilindungi untuk generasi mendatang.

Konflik ini menimbulkan dilema: di satu sisi, proyek nasional ini membawa janji kemajuan, tetapi di sisi lain, masyarakat setempat menghadapi ketidakpastian atas hak tanah mereka. Polemik ini berakar pada keberadaan Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI di atas lahan yang selama ini dihuni oleh warga secara turun-temurun. 

Berdasarkan informasi yang didapat media ini langsung dari pihak ATR/BPN PPU, HGB PT ITCI awalnya terbit pada 7 Juli 1994 dengan luas 4.252.781 m² di Kelurahan Maridan, yang kemudian dibagi menjadi 344,65 hektare di Maridan dan 83,55 hektare di Telemow. 

Sertifikat HGB itu seharusnya berakhir pada 7 Juli 2016, tetapi PT ITCI mengajukan perpanjangan sejak tahun 2014, yang kemudian disetujui oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN pada 18 Mei 2017, dengan jangka waktu 20 tahun.

Dalam pemeriksaan lapangan untuk perpanjangan hak tersebut, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur menemukan bahwa PT ITCI masih memiliki kantor, perumahan karyawan, dan fasilitas lainnya di lokasi tersebut, sehingga HGB dinyatakan tetap berlaku.

Terkait status HGB ini, Kepala ATR/BPN PPU, Zulkhoir, menjelaskan bahwa proses perpanjangan dilakukan berdasarkan evaluasi lapangan. 

“Namanya pembaharuan itu kita melakukan pengukuran lagi kemudian ada pemeriksaan tanah, tetapi pakai konstatasi dua orang saja. Dievaluasi lagi, siapa tahu fisiknya ada perubahan, itulah yang diukur, misalnya ada perubahan yah dipotong. Biasanya begitu sih. Biasanya HGB itu 20 tahun perubahan fisik itu pasti ada. Tetapi enggak ada perubahan mereka, karena masih ada mes dan lainnya,” katanya.

Namun, keabsahan HGB PT ITCI mulai dipertanyakan karena adanya SK Kementerian Kehutanan tahun 2020 yang menetapkan Desa Telemow sebagai bagian dari Areal Penggunaan Lain (APL), yang artinya lahan tersebut telah ditetapkan sebagai tanah negara dalam delineasi IKN. Dengan status ini, seharusnya seluruh hak guna yang ada di atasnya otomatis gugur.

Pihak ATR/BPN PPU sendiri mengakui bahwa mereka hanya bertanggung jawab dalam penerbitan sertifikat HGB, sementara kewenangan atas pemanfaatan tanah berada di tangan pemegang haknya. 

“Kemudian untuk pemanfaatan atau penggunaan di lapangan kita hanya sebatas penerbitan haknya, kemudian pemanfaatannya diserahkan ke pengguna ataupun pemilik sertifikat,” jelas Zulkhoir.

Ia juga menegaskan bahwa sertifikat yang telah diterbitkan tidak disimpan oleh ATR/BPN, melainkan hanya dicetak satu kali dan diberikan langsung kepada pemiliknya. 

“Sertifikat pun enggak dipegang ATR/BPN PPU, sertifikat kita hanya terbitkan cuma satu dan kita berikan ke pemilik. Jadi kita cuma megang data,” tambahnya.

HGB PT ITCI dan Dugaan Permainan di Balik Meja

Proses penerbitan dan perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI Kartika Utama menuai kritik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda. Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi, menyoroti adanya dugaan ketidaksesuaian prosedur dalam penerbitan HGB tersebut. 

Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT ITCI KU diduga terbit tanpa prosedur yang jelas. Sejumlah aturan yang mengatur kepemilikan HGB di kawasan IKN diduga tidak sepenuhnya diterapkan. Fathul Huda Wiyashadi, mengungkap kejanggalan dalam perpanjangan SHGB perusahaan yang berafiliasi dengan keluarga Hashim Sujono Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah mengatur ketentuan pengajuan serta perpanjangan HGB atas tanah negara. Pasal 37, 40, dan 41 menyebutkan bahwa syarat perpanjangan mencakup penggunaan lahan sesuai peruntukan dan kondisi tanah yang masih dimanfaatkan dengan baik. 

Selain itu, pemegang Hak Pengelola, dalam hal ini negara, harus memastikan semua syarat terpenuhi sebelum memberikan perpanjangan.

Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Nomor 18 Tahun 2021 juga menegaskan prosedur perpanjangan. Pasal 86 menetapkan bahwa HGB diperuntukkan bagi kegiatan usaha non-pertanian seperti perumahan, perkantoran, industri, dan fasilitas umum lainnya. 

Sementara itu, Pasal 99 mengatur bahwa perpanjangan HGB harus melalui pemeriksaan tanah oleh Petugas Konstatasi. Jika ditemukan perubahan kondisi lahan, maka diperlukan pengukuran ulang dan penataan batas sebelum perpanjangan diberikan.

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang mengenai apakah seluruh prosedur tersebut telah dijalankan sesuai ketentuan dalam kasus perpanjangan SHGB PT ITCI KU.

“Jadi, HGB-nya PT ITCI KU ini kalau kami menduga, terbit di ‘ruang gelap’, enggak secara prosedural,” ujarnya.

Fathul Huda menegaskan bahwa dalam regulasi yang berlaku, penerbitan dan perpanjangan HGB harus melalui proses evaluasi yang mencakup pemanfaatan tanah dan kesesuaian penggunaannya. Namun, ia mempertanyakan apakah evaluasi itu benar-benar dilakukan. 

“Karena gini, di PP 18 Tahun 2021 sama Permen ATR/BPN 18 Tahun 2021 terkait penerbitan HGB atau pas perpanjangan harus ada evaluasi permennya, kalau tidak salah itu ya, harus ada evaluasi penggunaan HGB,” katanya.

Dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihaknya menghadirkan saksi dari Desa Telemow yang membenarkan bahwa tidak ada proses pengukuran sebelum perpanjangan HGB pada 2017. 

“Kita tanya waktu itu apakah ada pengukuran. Dia bilang, ‘Enggak ada,’ tetapi dia bilang orang BPN sama orang ITCI ada datang nunjuk patok di tahun (pokoknya sebelum HGB tahun 2017 terbit), dipatok. (Ditanya) pengukuran-pengukuran ada tidak, dia bilang, ‘Enggak ada’,” ungkapnya. 

Warga sekitar yang lahannya berbatasan langsung dengan area HGB juga tidak pernah dimintai tanda tangan persetujuan dalam proses pengukuran tersebut.

Selain dugaan cacat prosedural, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai ketentuan juga menjadi perhatian. Berdasarkan PP 18 Tahun 2021, tanah yang telah memiliki HGB wajib digunakan atau difungsikan dalam waktu dua tahun setelah diterbitkan. 

Jika tidak, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN memiliki kewenangan untuk mencabutnya. Namun, lahan yang dikuasai PT ITCI diduga tidak digunakan sebagaimana mestinya. 

“Setelah terbit dua tahun, itu harusnya sudah digunakan atau difungsikan, tetapi ini tidak,” kata Fathul Huda.

Ia juga menambahkan bahwa lahan tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan haknya. Di tengah ketidakjelasan proses perpanjangan tersebut, warga Desa Telemow dikejutkan dengan kemunculan plang yang bertuliskan areal sertifikat HGB PT ITCI Kartika Utama dengan nomor 00001/DS. Telemow, No. 0003/Kel. Maridan, dan No. 0004/Kel. Maridan. 

Hingga saat ini, warga mengaku belum pernah melihat dokumen resmi HGB yang diklaim sebagai milik perusahaan tersebut. Keberadaan plang tersebut menimbulkan pertanyaan tentang transparansi proses administrasi dan legalitas kepemilikan tanah di kawasan itu.

“HGB itu kan Hak Guna Bangunan, nah sementara itu ditanami (pohon) sengon, tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Itu pun juga larangan yang dilanggar, dan menteri bisa mencabut atau membatalkan (HGB),” ujarnya.

Upaya warga untuk memperoleh transparansi terkait dokumen HGB PT ITCI juga menemui jalan buntu. Permohonan informasi yang diajukan warga ditolak dengan alasan bahwa dokumen tersebut termasuk dalam kategori yang dikecualikan berdasarkan Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021. 

Fathul Huda menilai bahwa keputusan tersebut tidak disertai dengan uji konsekuensi yang jelas, padahal menurutnya, dokumen semacam ini seharusnya terbuka untuk publik. 

“Nah, untuk menentukan dokumen ini dikecualikan, kan harus ada uji konsekuensi. Nah, di manakah dokumen hasil uji konsekuensinya? Argumennya apa?” katanya.

Kasus ini telah dilaporkan warga ke Ombudsman RI Jakarta sejak Oktober 2024, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut. Ia mempertanyakan lambannya respons Ombudsman dalam menangani laporan tersebut. 

“Sampai saat ini, tidak ada tindak lanjut dari Ombudsman. Itu kan masuk maladministrasi, cacat prosedur itu masuk dalam maladministrasi. Tetapi, Ombudsman RI juga belum bergerak. Belum diproses sampai hari ini, ke Ombudsman RI kita langsung,” tegasnya.

Menurutnya, respons Ombudsman yang lamban ini memunculkan dugaan adanya tekanan politik dalam kasus ini. 

“Jadi, kalau melihat dari segi politiknya, ya perlu dipertanyakan ini. Kayaknya Ombudsman juga takut kan. Dan patut diduga, berarti memang tanah ini atau surat HGB ini benar-benar bermasalah. Kita asumsikan seperti itu,” katanya.

Selain itu, status Desa Telemow sebagai bagian dari delineasi IKN juga tidak serta-merta membatalkan HGB PT ITCI. Menurut Fathul Huda, satu-satunya pihak yang dapat membatalkan HGB adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN. 

“Yang dapat membatalkan HGB-nya ya larangan yang dilanggar, dan menteri boleh membatalkan. Tetapi, sampai saat ini, menteri juga tidak membatalkan (yang mengurusi soal BPN ini),” tandasnya.

Pernyataan tentang tertutupnya HGB PT ITCIKU ini juga diperkuat oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen, menyoroti ketidakjelasan sejarah perubahan status kawasan di Desa Telemow. Ia menyebut klaim kepemilikan lahan oleh PT ITCI Kartika Utama (ITCI KU) sebagai sesuatu yang penuh tanda tanya.

Menurutnya, ITCI KU mengklaim telah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) sejak tahun 1993 hingga 2014. Namun, di sisi lain, warga telah bermukim di tanah adat tersebut selama puluhan tahun, yang dibuktikan dengan keberadaan rumah serta tanaman yang telah lama tumbuh di sana.

Situasi semakin rumit setelah pemerintah menetapkan proyek Ibu Kota Negara (IKN). Pada tahun 2020, Hashim Sujono Djojohadikusumo kembali mengklaim bahwa HGB di kawasan tersebut telah diperpanjang sejak tahun 2017.

“Kita nggak tahu apakah peruntukannya HGB di Telemow untuk PSO (Pusat Suaka Orangutan) seperti yang ada di Desa Maridan, POSnya sudah beroperasi, karena kami menduga HGB yang di Maridan satu kesatuan dengan yang di Telemow karena dari peta BHUMI ATR/BPN satu tarikan garis. Kalau kita capture dari aspek konflik agraria kan nggak benar dong, sisi lain dia (ITCI KU) mau bangun bisnis konservasi tapi dengan menggusur warga," ujar Fathur pada 22 November 2024.

Ia juga menyoroti keterkaitan bisnis Hashim Djojohadikusumo dengan proyek konservasi yang diklaim oleh perusahaan. Menurutnya, ada indikasi bahwa bisnis konservasi yang dikembangkan bukanlah upaya murni untuk pelestarian lingkungan, melainkan bagian dari kepentingan ekonomi yang lebih luas.

“Ingat ya, sebuah yayasan bisnis Arsari Group itu nggak murni konservasi, yang dibikin itu bisnis, ini terkonfirmasi dengan kerjaan Hashim di Azerbaijan (12/11/2024) sebagai Utusan Khusus Presiden RI pada World Leaders Climate Action Summit yang juga Ketua Delegasi RI pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa/ Conference of the Parties (COP) ke-29, di sana merundingkan pembiayaan iklim,” paparnya.

Pernyataan ini semakin menegaskan dugaan bahwa kepentingan lingkungan dalam proyek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan bisnis dan kebijakan iklim global.

Jaringan Elite PT ITCIKU

Konflik tanah yang terjadi di Desa Telemow, Kalimantan Timur, tidak hanya menjadi persoalan antara masyarakat adat dan PT ITCI Kartika Utama (ITCIKU), tetapi juga mencerminkan relasi kompleks antara kepentingan bisnis, kebijakan negara, dan keterlibatan aktor politik yang kuat. 

Berdasarkan dokumen hukum, data kepemilikan perusahaan, serta laporan investigasi dari berbagai sumber, termasuk laporan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan catatan pengungkapan kepemilikan di Ditjen AHU AH.01.09.0254071, investigasi ini mengungkap struktur kepemilikan ITCIKU serta bagaimana keterkaitannya dengan jaringan elite bisnis dan politik nasional.

Dokumen Profil Perseroan ITCIKU mencatat bahwa beberapa individu yang menduduki posisi strategis di perusahaan memiliki afiliasi dengan jaringan bisnis dan politik tertentu. Hashim S. Djojohadikusumo, adik dari Presiden RI Prabowo Subianto, berperan sebagai Komisaris Utama di berbagai entitas bisnis yang terkait dengan ITCIKU.

Melalui Arsari Group, Hashim memiliki kepentingan luas di sektor kehutanan dan pertambangan, yang mencakup berbagai perusahaan yang mengelola sumber daya alam di Indonesia. ITCIKU sendiri merupakan bagian dari gurita bisnis Arsari Group, yang diketahui memiliki 53 sektor usaha yang mencakup kehutanan, pertambangan, energi, dan manufaktur. 

Berdasarkan pembaruan dokumen korporasi yang diperoleh dari Ditjen AHU, pengaruh Hashim dalam ITCIKU tidak hanya bersifat strategis tetapi juga menentukan arah kebijakan perusahaan. Jejak bisnis Hashim juga terungkap dalam laporan investigasi The Jakarta Post, yang menunjukkan bagaimana jaringan bisnisnya merambah hingga ke berbagai proyek kehutanan nasional.

Selain Hashim, keterlibatan anggota keluarga Djojohadikusumo lainnya dalam ITCIKU juga signifikan. Putrinya, Sitie Indrawati Djojohadikusumo, menjabat sebagai Komisaris Utama, sementara putranya, Aryo Puspito Setyaki Djojohadikusumo, bertindak sebagai Wakil Direktur Utama. Sebelumnya, Aryo merupakan anggota DPR RI dari Partai Gerindra dan memiliki peran aktif dalam mengelola portofolio bisnis keluarga Djojohadikusumo.

Jajaran komisaris dan direksi ITCIKU juga diisi oleh individu-individu yang memiliki keterkaitan dengan Arsari Group. Komisaris lainnya adalah Maria Sri Iriani Foley, sementara jajaran direktur mencakup Wilhelmus Theodorus Maria Smits, Wisnu Djatmika Dwintara, dan Bambang Sjamsuridzal Atmadja. 

Bambang juga menjabat sebagai Direktur di PT Arsari Tambang, sebuah entitas di bawah naungan Arsari Group yang bergerak di sektor pertambangan. Keterlibatan orang-orang dari lingkaran Arsari Group dalam struktur ITCIKU semakin menegaskan dominasi keluarga Djojohadikusumo dalam sektor kehutanan dan pertambangan di Kalimantan Timur.

Selain kepemimpinan di tingkat direksi, dokumen yang diperoleh dari Pembaruan Akta 18 September 2024 mengungkap struktur kepemilikan saham di ITCIKU. PT Arsari Enviro Industri merupakan pemegang saham terbesar dengan kepemilikan 399.709 lembar saham senilai Rp 399.709.000.000. 

Arsari Enviro Industri merupakan bagian dari jaringan bisnis Hashim Djojohadikusumo, yang memiliki portofolio bisnis luas di berbagai sektor industri. Sementara itu, PT Petro Nusa Industri memiliki 7.350 lembar saham dengan nilai Rp 7.350.000.000. Nama Presiden RI, Prabowo Subianto, tercatat sebagai pemilik manfaat PT Petro Nusa Industri dalam data yang dipublikasikan pada laman resmi Ditjen AHU. Informasi ini mempertegas dugaan adanya keterkaitan antara jaringan bisnis dan kepentingan politik dalam pengelolaan sumber daya alam.

Selain perusahaan besar, keterlibatan koperasi dalam kepemilikan saham ITCIKU juga menjadi perhatian. Koperasi Pensiunan Kehutanan menguasai 1.700 lembar saham senilai Rp 1.700.000.000, sementara Koperasi Primer Angkatan Darat Batalyon Infanteri 611/Awang Long tercatat memiliki 20 lembar saham. 

Keberadaan koperasi dalam daftar pemegang saham perusahaan kehutanan menimbulkan pertanyaan terkait pola administrasi kepemilikan dan transparansi struktur manajemen ITCIKU. Laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti bahwa dalam beberapa kasus, koperasi digunakan sebagai perantara kepemilikan saham untuk memudahkan administrasi atau menyamarkan pemilik manfaat sebenarnya.

Nama Mohamad Hasan juga muncul berulang kali dalam daftar pemegang saham, namun tidak ada informasi spesifik mengenai perannya dalam struktur perusahaan. Data yang diperoleh dari analisis kepemilikan menunjukkan bahwa beberapa nama dalam daftar pemegang saham kemungkinan merupakan pengulangan administratif atau bagian dari strategi kepemilikan yang lebih kompleks, sebagaimana yang terindikasi dalam data kepemilikan yang dianalisis oleh Transparency International Indonesia.

Sejumlah fakta yang telah terungkap menunjukkan bahwa konflik agraria di Desa Telemow bukan sekadar sengketa lahan biasa. Keberadaan Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI Kartika Utama (ITCI KU), yang diklaim diperpanjang pada 2017, menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi kepemilikan dan keabsahan prosedur hukum yang dijalankan.

Selain itu, keterlibatan jaringan bisnis besar, termasuk Arsari Group, dalam kepemilikan perusahaan yang menguasai lahan di Telemow semakin memperumit persoalan. Dengan adanya dugaan pelanggaran dalam penerbitan dan perpanjangan HGB, serta tekanan terhadap warga yang telah tinggal turun-temurun di wilayah tersebut, muncul pertanyaan besar mengenai posisi dan tanggapan pihak terkait, terutama Arsari Group sebagai induk usaha ITCI KU.

Dalam upaya menjalankan prinsip keberimbangan berita dan memastikan verifikasi sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, tim redaksi telah berusaha meminta konfirmasi kepada pihak Arsari Group, khususnya terkait klaim kepemilikan Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI Kartika Utama (ITCI KU) di Desa Telemow. Namun, hingga saat ini, tidak ada jawaban yang diberikan oleh pihak terkait, meskipun telah dilakukan berbagai langkah konfirmasi secara resmi.

Upaya konfirmasi pertama dilakukan pada 22 Januari 2025 dengan menghubungi Humas Arsari Group, Taufik. Dalam komunikasi tersebut, Taufik menyampaikan bahwa wawancara bisa dilakukan apabila pertanyaan dikirimkan melalui email resminya. Mengikuti arahan tersebut, tim redaksi mengirimkan daftar pertanyaan secara resmi pada 27 Januari 2025 ke alamat email taufiq@arsari.co.id.

Hingga 31 Januari 2025, tidak ada tanggapan yang diterima dari pihak Arsari Group. Untuk memastikan apakah email telah diterima dan diproses, tim redaksi kembali melakukan upaya konfirmasi langsung kepada Taufik. Namun, upaya ini tidak mendapatkan respon.

Pada 6 Februari 2025, tim kembali mencoba melakukan konfirmasi, namun mendapat penolakan dengan alasan bahwa permohonan wawancara yang diajukan tidak mencantumkan kop surat kelembagaan. 

Guna memenuhi persyaratan administratif yang diminta, pada 8 Februari 2025, tim redaksi mengirimkan surat resmi atas nama Independen.id, lengkap dengan daftar pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh tanggapan resmi dari pihak perusahaan.

Namun, hingga berita ini diterbitkan, tidak ada jawaban atau klarifikasi yang diberikan oleh Arsari Group terkait berbagai pertanyaan yang diajukan. Upaya konfirmasi ini dilakukan sebagai bagian dari prinsip jurnalistik yang menuntut keberimbangan, verifikasi fakta, dan hak jawab dari semua pihak yang disebutkan dalam pemberitaan.

*) Reportase ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh sejumlah media. Diantaranya Kitamudamedia.com, Kaltimtoday.co, Independen.id dan Ekuatorial sebagai bagian dari program Mengawasi Proyek Strategis Nasional yang didukung AJI Indonesia dan Kurawal Foundation.

kali dilihat