Oleh: Muhammad Fuadi Zikri
INDEPENDEN- Gedung bertingkat tiga berdiri kokoh di Jalan Damar 1, Kelurahan Olo, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat. Di gerbang masuk, tiga orang guru duduk bercengkerama. Di atas meja mereka, sebuah kertas bertuliskan “Penerimaan Peserta Didik Baru” terletak.
Hari itu Rabu (14/08/2024) sekitar pukul 11.00 WIB, gedung milik Yayasan Pendidikan Baiturrahmah yang difungsikan sebagai Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Baiturrahmah itu terlihat sepi. Tak nampak satu orang pun siswa yang bermain di halaman sekolah nan luas. Padahal, hari itu bukan hari libur anak-anak bersekolah.
Ruang-ruang kelas pun terlihat kosong. Merata dari lantai satu hingga lantai paling atas. Sebagiannya digembok. Meja, kursi, serta papan tulisnya dibiarkan berdebu. Suasana sunyi membalut keadaan. Langkah kaki menggema di lorong saat menapaki anak tangga satu per satu.
Elmiati yang memimpin sekolah ini berkantor di lantai dua. Persis di sudut bangunan yang mengarah ke jalan raya. Jika menyingkap kain penutup jendela, maka akan terlihat lapangan sekolah yang luas tadi. Saat ditemui, Ia tengah sibuk membaca sejumlah surat. Beberapa surat lainnya masih terbungkus dalam amplop.
Di belakang tempat duduknya, beberapa x-banner yang berisi poin-poin motto pendidikan, karakter pelajar, dan visi misi SMA Baiturrahmah berdiri rapi. Ruangannya hening dan sunyi, tak kalah sunyinya dengan ruang tata usaha yang berbatas dinding kayu di sebelah. Begitu juga dengan ruang guru yang ada di depannya.
“Selamat datang di sekolah kami,” kata Kepala Sekolah SMA Baiturrahmah, Elmiati, perempuan paruh baya itu mengawali percakapan sembari menjabat tangan.
SMA Baiturrahmah merupakan satu sekolah swasta di Kota Padang yang kekurangan murid. Bahkan bisa dikatakan tidak mendapatkan peserta didik. Pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini, SMA terakreditasi B itu hanya mendapatkan satu siswa.
Sekolah swasta lainnya yang bernasib sama yaitu SMA Yapi juga berlokasi di tengah kota, di Jalan Purus IV, Kelurahan Purus, Kecamatan Padang Barat. SMA yang berada di bawah Yayasan Pendidikan Islam itu di tahun ini juga hanya kebagian satu murid, itu pun remaja yang tinggal di panti asuhan depan sekolah.
Elmiati bercerita tentang kondisi sekolahnya beberapa tahun terakhir. Terutama perjuangan mereka untuk meningkatkan jumlah murid dari tahun ke tahun. Dia menuturkan perjuangan itu sudah dimulai sejak 2017, di saat SMA-nya hanya mendapatkan 16 murid saat PPDB.
Ia masih teringat semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang menjadi rekan kerjanya di sekolah terkejut. Kekurangan murid adalah hal baru yang dirasakan. Termasuk bagi Elmiati yang ketika itu masih duduk di bangku Wakil Kepala Sekolah dan aktif mengajar. Pihak sekolahpun mulai melakukan evaluasi terhadap kondisi tersebut.
Sosialisasi yang masif menjadi salah satu pilihan. Tim promosi yang dibentuk rajin mendatangi SMP-SMP untuk memperkenalkan SMA Baiturrahmah. Cara ini dinilai cukup berhasil. Jumlah pendaftar meningkat menjadi 34 orang di tahun 2018. Seiring waktu, cara tersebut tak ampuh lagi untuk tahun-tahun berikutnya.
Pada 2019, penerimaan siswa SMA Baiturrahmah merosot ke angka 13 orang dan 10 orang di tahun 2020. Tahun 2021 bertambah dua orang menjadi 12. Akan tetapi di 2022 hanya 5 siswa. Kondisi terburuk terjadi di 2023 karena tidak ada satupun yang mendaftar.
“Untuk PPDB sejak tahun 2017 sampai sekarang kita sangat prihatin,” kata Elmiati, sembari mengganti posisi duduknya.
SMA Baiturrahmah pada akhirnya menyalahkan sistem zonasi yang mulai diterapkan dalam PPDB sebagai penyebab. Sistem yang diterapkan sejak tahun 2017 tersebut dinilai melemahkan PPDB sekolah swasta. Pasalnya, saat sistem ini diterapkan, jumlah murid yang mendaftar ke sekolah tersebut mulai menurun.
Sebelum sistem zonasi diterapkan, penerimaan peserta didik di sekolah negeri menggunakan sistem rayonisasi. Sistem ini membagi sekolah berdasarkan capaian akademik setiap siswa baru. Sehingga saat sistem ini diterapkan, sekolah pun terbagi menjadi dua kelompok, yaitu unggul dan tidak unggul.
Sementara sistem zonasi orientasi penerimaannya berdasarkan jarak tempat tinggal calon siswa dengan sekolah. Sistem ini membuat semua sekolah sama. Tidak ada lagi sekolah unggul dan tidak unggul. Hal itu sesuai dengan tujuan penerapannya, yakni pemerataan pendidikan.
Sistem zonasi mulai diperkenalkan dan diimplementasikan secara bertahap oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2016. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017, sistem zonasi diterapkan pada PPDB secara nasional.
Elmiati mengatakan, pihaknya mulanya menyalahkan sistem zonasi ternyata salah. Walau memang di awal penerapan sistem zonasi dengan kuota gemuk yang mencapai 90 persen membuat para siswa berbondong-bondong masuk negeri gara-gara seleksinya yang lebih mudah ketimbang rayonisasi.
Saat itu tidak banyak calon peserta didik yang mendaftar langsung ke sekolah swasta. Calon siswa melihat peluang untuk bersekolah di negeri lebih besar lantaran seleksi masuknya hanya berdasarkan jarak antara rumah dengan sekolah yang dituju dengan syarat kartu kependudukan.
Sebelumnya, pada penerapan sistem rayonisasi, sekolah negeri lebih selektif dalam penerimaan peserta didik. Mereka menjaring calon siswa berdasarkan hasil ujian masuk sekolah. Sehingga, siswa yang merasa tidak mampu berkompetisi lebih memilih masuk swasta.
Elmiati menuturkan setelah pihaknya melihat lebih jauh pelaksanaan PPDB sekolah negeri, hal yang membuat menurunnya penerimaan siswa di sekolah swasta ternyata tingginya jumlah rombel yang disediakan sekolah negeri saat PPDB. Sudahlah masuk sekolahnya mudah, kuotanya pun banyak.
“Dampaknya di kita, yang melirik swasta itu tidak ada lagi. Kan mereka semua sudah bisa masuk negeri. Memang tidak ada gunanya lagi kita sekolah swasta kalau seperti itu,” ujarnya menggerutu.
SMA Baiturrahmah tidak sendiri, mereka yang satu nasib berkumpul dalam wadah Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Alizar, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 1 Kota Padang menjadi ketua dalam perkumpulan itu. SMA yang dipimpin Alizar juga merasakan apa yang dirasakan oleh Elmiati.
Kuat Didugaan Banyak di Luar Jalur Resmi
Beberapa tahun terakhir ini, polemik itu semakin rumit. Alih-alih mendapatkan solusi, sekolah swasta di Kota Padang hanya kebagian mimpi. Harapan yang diakomodir oleh Disdik Sumbar sebagai jalan bagi sekolah swasta untuk mendapatkan murid ternyata tidak dilaksanakan dengan baik.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kota Padang,Alizar, merupakan salah satu orang yang paling vokal mengurai polemik ini. Saat disambangi, Senin (19/9/2024), Alizar dengan wajah serius dan suara yang keras menceritakan kemelut yang selama ini ingin ia selesaikan. Hanya satu tujuannya, sekolah swasta sama dengan sekolah negeri.
Dia yang mengumpulkan massa, mengajak protes ke pemerintah, dan dia orang yang terdepan berorasi saat aksi. Lelaki berbadan jangkung ini juga rajin beraudiensi dengan para pejabat untuk mencari kata sepakat. Hingga kini ia masih terus bergerak.
Menurutnya, dengan kuota 50 persen, sistem ini sudah pas untuk diterapkan. Para siswa bersekolah di sekolah terdekat dengan rumah masing-masing. Sesuai dengan tujuan pendirian sekolah.
Dia yang dulu mengkritisi sistem zonasi yang kacau balau kini mulai menerima karena pemerintah terus berbenah. Sejumlah sekolah swasta di Kota Padang menurutnya juga mulai sependapat. Pun begitu dengan Elmiati. “PPDB ini jika dijalankan dengan benar, tidak menyalahi aturan, apapun metodenya bagus-bagus saja,” katanya.
Alizar menuturkan Disdik Sumbar pernah berjanji tidak akan membuka rombel (rombongan belajar, red)lebih untuk sekolah negeri. Paling banyak hanya sembilan rombel per di setiap sekolah. Janji itu dilontarkan pada bulan Juli 2024 saat sekolah swasta se-Kota Padang menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) di Aula Kantor Gubernur dengan Disdik Sumbar sebagai narasumber.
Permintaan yang diakomodir pemerintah ini adalah harapan bagi sekolah swasta dapat murid. Harapannya dengan menekan jumlah rombel di sekolah negeri dapat meningkatkan jumlah penerimaan di sekolah swasta.
“Artinya jumlah tamatan SMP dibagi dengan jumlah SMA yang ada, termasuk SMK dan MA,” kata Alizar.
Adapun hitung-hitungannya, jika rata-rata SMA negeri menerima 9 hingga 11 rombel setiap tahunnya, jika hanya diperbolehkan delapan rombel paling banyak, maka akan ada puluhan rombel dari 17 SMA negeri yang dapat diterima oleh SMA swasta. Sehingga diperkirakan seluruh SMA swasta akan terisi.
Alizar mengenang, pembatasan jumlah rombel di sekolah negeri pernah diterapkan saat sekolah jenjang SMA masih berada di bawah Pemerintah Kota. Meski saat itu, Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 telah mengamanatkan bahwa SMA jumlah rombelnya maksimal 36 dengan masing-masing tingkatan 12 rombel.
“Di Kota Padang dulu ada aturannya. Maksimal boleh delapan rombel. Kalau sudah penuh delapan, tutup lagi pendaftarannya, tidak boleh tambah. Sehingga yang tidak lulus masuk swasta,” bebernya.
Alih-alih mengurangi jumlah, Disdik Sumbar malah mengizinkan SMA untuk menambah rombel. Penambahan rombel ini dilakukan setelah PPDB resmi berakhir, di saat para siswa akan masuk sekolah. Jalur diluar penerimaan resmi inilah yang membuat sekolah swasta kian berang.
“Apa yang kita harapkan tidak dijalankan. Sekarang dibuka jalur kedua ketiga. Artinya tidak ada komitmen pemerintah dalam PPDB ini,” kata Alizar dengan suaranya yang mulai keras.
Ada 70 Persen Sekolah Kekurangan Murid
Alizar mengatakan, penambahan rombel jauh lebih berdampak ketimbang penerapan zonasi secara menyeluruh dengan kuota 90 persen, sebagaimana sistem zonasi pertama kali diterapkan pada PPDB. Terlebih praktik ini sudah dilakukan berulang kali sejak beberapa tahun belakangan.
Jika dulu calon peserta didik lebih condong masuk negeri ketimbang swasta karena tinggal di dekat lingkungan sekolah, sekarang semua calon peserta didik berbondong-bondong masuk ke sana walau jauh dari rumah. Pasalnya, jika tidak lulus pun, akan ada harapan untuk tetap masuk negeri dengan jalur penambahan rombel.
Alizar membeberkan pada saat PPDB jalur zonasi pertama kali diterapkan, tidak banyak sekolah swasta yang kekurangan murid, angkanya jauh di bawah 50 persen. Namun saat ini, setelah adanya penambahan rombel, angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun ini, 70 persen sekolah swasta di Kota Padang kekurangan murid.
“Di Padang, jumlah sekolah swasta saat ini 41 sekolah,” katanya.
Dari jumlah itu, Alizar bilang 10 sekolah mendapatkan peserta didik kurang dari 10 orang. Persentase ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Sementara sisa dari persentase itu ialah sekolah yang mendapatkan murid satu hingga dua rombel. Sedangkan sekolah yang lebih dari dua kelas, jumlahnya kurang dari 20 persen.
“Ada yang hanya mendapatkan satu murid, seperti Baiturrahmah, Yapi, PGAI di Jati,” ujarnya.
Alizar menyampaikan dampak dari kekurangan murid sangat dirasakan oleh sekolah swasta. Terutamanya soal anggaran. Sebab sekolah swasta sumber pendanaan utamanya mengandalkan uang sekolah dari murid atau dikenal dengan sebutan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah yang diharapkan pun juga merujuk kepada jumlah murid di setiap sekolah. Semakin sedikit murid semakin sedikit pula bantuan dari pemerintah. Diketahui, besaran BOS siswa SMA tahun ini antara Rp1.500.000-Rp3.470.000 per siswa per tahun.
Alizar membeberkan, total anggaran yang terkumpul dari dua item itu dan ditambah dengan bantuan dari yayasan, dipergunakan oleh sekolah swasta untuk berbagai kebutuhan. Yang paling penting ialah gaji guru, operasional, dan sarana prasarana sekolah.
Sehingganya dengan minimnya murid, sekolah swasta tidak dapat berkembang. Para guru mulai meninggalkan sekolah karena kurangnya jam mengajar–apalagi gaji guru berdasarkan jumlah jam mengajar. Sarana dan prasarana yang tidak diperbaharui, dan sekolah yang tidak dibangun.
Alizar berujar kondisi seperti ini yang terus menerus dirasakan pun menimbulkan dilema bagi pemilik sekolah swasta. Mereka bagaikan “hidup segan mati tak mau”. “SMA Bunda itu tutup tahun lalu. Penyebabnya karena tidak ada murid ini. Sekolahnya sudah tidak bisa membiayai semuanya,” katanya.
Tidak hanya sekolah, menurut Alizar penambahan Rombel ini juga berdampak terhadap para siswa. Mereka yang tidak lulus sekolah negeri, tetap menunggu jalur ini tanpa mendaftar ke sekolah swasta. Sehingga jika sekolah yang mereka tuju tidak menambah Rombel maka akan menganggur setahun.
Bagi mereka yang mendaftar ke sekolah swasta pun tetap menunggu jalur itu. Dampaknya, data mereka yang telah masuk ke Dapodik, terpaksa dihapus dan input ulang. Sebagai contoh Alizar mengatakan saat ini terdapat empat orang muridnya yang memaksa untuk keluar dari sekolah. Alasannya, mereka sudah diterima di sekolah negeri.
Padahal keempat pelajar itu telah mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dan akan memasuki proses belajar mengajar. Jika mereka pindah ke negeri, tentu tidak mengikuti MPLS dan proses yang telah dilalui oleh pelajar lainnya tidak mereka ikuti.
Meski kekurangan murid, Alizar memastikan seluruh sekolah swasta di Kota Padang masih beroperasi. Proses belajar mengajar masih berlangsung. Meski hanya satu murid yang diajar, pihaknya tidak mengurangi sedikitpun mata pelajaran dan fasilitas.
Alizar menyebut, semangat sekolah swasta masih ada untuk menerima siswa dan membantu pendidikan di Kota Padang. "Setiap sekolah gurunya masih lengkap, sarana prasarananya masih ada, fasilitas masih cukup," kata dia.
Penambahan Rombel Atas Izin Kemendikbud
Kepala Bidang (Kabid) SMA Disdik Sumbar, Mahyan membantah, penambahan rombel pada sekolah negeri di Kota Padang menyalahi aturan. Dia bilang proses penambahan rombel sudah dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pendaftaran dibuka kembali berdasarkan izin dari Kemendikbud.
“Kita mengajukan Nota Dinas ke Pak Gubernur. Kemudian Pak Gubernur ke Kemendagri, dan dari Kemendagri diizinkan, ini dasar kita,” katanya saat ditemui pada Senin (2/9/2024).
Penambahan ini menurut Mahyan juga bukan tanpa sebab dan alasan. Pihaknya melihat masih banyak peserta didik tamatan SMP yang masih belum mendapatkan sekolah. Penambahan ini pun juga pengajuan dari masing-masing sekolah yang kemudian diakomodir oleh pihaknya.
Penambahan rombel kata dia juga bukan hanya untuk Kota Padang saja, namun juga untuk SMA negeri lainnya yang tersebar di 19 kabupaten/kota di Sumbar. “Bahkan ini se-Indonesia. Di provinsi lainnya juga ada,” imbuhnya.
Mahyan menuturkan penambahan rombel ini dikabulkan oleh Kemendikbud karena berdasarkan kebutuhan. Dia bilang di tahun sekarang Kemendikbud melihat per kasus dan berdasarkan prioritas soal penambahan rombel ini. Di Kota Padang sendiri, menurutnya hal ini menjadi kebutuhan.
"Setelah PPDB berakhir, banyak yang mendatangi kita, lebih banyak lagi dari tahun kemarin. Mereka mengatakan anaknya belum dapat sekolah. Tentu ini kita carikan solusi," ujarnya.
Mahyan memaparkan, total pendaftar PPDB SMA di Kota Padang tahun ini berjumlah 9.682 orang. Angka itu terbagi dalam empat jalur penerimaan dengan jumlah terbanyak dari jalur zonasi. PPDB dibuka selama dua pekan dari 24 Juni hingga 8 Juli 2024. Setelah diseleksi, sebanyak 5.912 siswa diterima dan 3.770 tidak.
Adapun untuk penambahan, se-Sumbar pihaknya mengajukan sebanyak 33 rombel ke Kemendikbud. Sebanyak 14 sekolah di antaranya berada di Kota Padang. Hanya tiga SMA yang tidak diajukan penambahan rombel dari total 17 SMA negeri di Kota Bengkuang ini.
Sekolah itu ialah SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 5, SMAN 6, SMAN 7, SMAN 8, SMAN 9, SMAN 10, SMAN 11, SMAN 14, SMAN 16, dan SMAN 17. Semua SMA itu, masing-masingnya diajukan untuk penambahan satu rombel. Sekolah yang tidak menambah yaitu SMAN 12, SMAN 13, dan SMAN 15.
Mahyan melanjutkan, setelah penerimaan, dari 3.770 siswa yang sebelumnya belum dapat sekolah terserap 504 siswa lewat penambahan rombel yang dibuka. Sehingga tersisa 3.266 siswa lagi yang belum dapat sekolah. Seharusnya, angka itu akan tersebar di sekolah swasta.
“Ini yang sebenarnya menjadi pertanyaan buat kita. Jika 3.770 siswa itu tidak mendaftar ke swasta, kemana mereka mendaftar. Sekarang angkanya sudah turun jadi 3.266, tapi itu tetap banyak, kemana mereka sekolah kalau bukan ke swasta,” ujarnya.
Soal sarana dan prasarana yang tidak memadai untuk penambahan rombel, Mahyan menyebut hal ini menjadi kendala bagi Disdik Sumbar. Dari 14 yang diajukan, hanya lima sekolah penerimaannya untuk rombel baru. Sementara sisanya disisipkan ke rombel lain.
Untuk diketahui, berdasarkan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2027, maksimal siswa dalam satu rombel untuk jenjang SMA ialah 36 orang. Mahyan bilang semua sekolah negeri di Kota Padang jumlah siswa per rombel dimaksimalkan 36 orang. Artinya jika satu Rombel terdapat 36 siswa, maka dimaksimalkan menjadi 40 siswa per Rombel.
“Tapi tetap sesuai izin dari Kemendikbud. Semua kita lakukan berdasarkan aturan. Prioritas kita adalah anak-anak ini dapat sekolah,” kata Mahyan menegaskan.
Mahyan tidak menampik protes dari sekolah swasta kepada pihaknya soal penambahan rombel ini. Akan tetapi pihaknya menilai jika ini tidak dilakukan, maka akan ada pengangguran bagi tamatan SMP. Sebab, sekolah telah dimulai, siswa masih mencari sekolah.
Soal janji untuk membatasi rombel SMA negeri, Mahyan membantah itu. Dia bilang tidak pernah menyampaikan hal tersebut kepada sekolah swasta. Jika pun dilakukan, Mahyan tidak membayangkan akan berapa banyak siswa yang tidak mendapatkan sekolah.
“Setelah kita tambah rombel masih banyak yang tidak dapat sekolah, apalagi kita batasi, tentu tidak mungkin,” ucapnya.
Sekolah Swasta Harus Perhatikan Kualitas

Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Dr. H. Sufyarma Marsidin, M.Pd menilai pentingnya kualitas setiap sekolah dalam penerimaan peserta didik. Kualitas ini menjadi penentu awal orang tua dalam memilih sekolah untuk anaknya.
Banyaknya orang tua murid pada jenjang SMA yang menyekolahkan anaknya di sekolah negeri lantaran kualitasnya yang bagus ketimbang sekolah swasta. Sekolah negeri memiliki fasilitas yang lengkap dan mutu pendidikan yang baik. Di Kota Padang, menurutnya hanya beberapa sekolah swasta yang bersaing dengan negeri soal kualitas.
Prof. Sufyarma juga melihat stigma negatif yang selama ini berkembang di tengah masyarakat bahwa sekolah swasta adalah sekolah buangan. Sekolah swasta menjadi pilihan terakhir bagi orang tua murid untuk menyambung pendidikan anaknya bila tidak lulus sekolah negeri.
“Ini kenapa, karena kualitas tadi yang belum terpenuhi. Ini yang harus diperbaiki,” kata dia saat dihubungi via telepon, Rabu (19/9/2024).
Prof. Sufyarma mengatakan ada delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang harus dipenuhi sekolah yang berkaitan dengan kualitas. Pertama, Standar Isi, yang menetapkan landasan pembelajaran yang jelas, termasuk pemahaman konsep, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai peserta didik.
Kedua, Standar Proses yakni menginspirasi melalui pembelajaran, yang berkaitan dengan metode, pendekatan, dan strategi pembelajaran. Ketiga, standar penilaian yang membangun tanggung jawab belajar, yang menetapkan prosedur dan kriteria penilaian yang adil dan objektif.
Keempat, Standar Kompetensi Lulusan yang mengukuhkan kesiapan, yang menetapkan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik setelah menyelesaikan pendidikan. Kelima, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang menumbuhkan profesionalisme, yang mengatur kualifikasi, kompetensi, dan tugas tenaga pengajar dan tenaga kependidikan lainnya.
Keenam, Standar Sarana dan Prasarana yang menciptakan lingkungan belajar yang mendukung, yang berkaitan dengan fasilitas fisik dan non-fisik yang diperlukan. Ketujuh, Standar Pengelolaan yang mengelola sekolah dengan efektif, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan.
Kedelapan Standar Pembiayaan, yakni transparansi dalam pengelolaan dana, yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan sekolah.
“Sekolah ini kan pelanggannya siswa dan orang tua. Untuk menyekolahkan anaknya, tentu orang tua ingin sekolah yang lebih baik,” kata Prof. Sufyarma.
Soal penambahan rombel, Guru Besar Manajemen Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNP ini menilai Dinas Pendidikan sebagai penyelenggara PPDB dari awal seharusnya melakukan analisis kebutuhan sebelum pendaftaran mulai dibuka.
Analisis ini diperlukan untuk mengetahui besaran daya tampung setiap sekolah. yang sebanding dengan fasilitas yang tersedia serta jumlah guru.
Sementara itu Mahyan mengatakan, problem terbesar saat ini yang dihadapi adalah efek bonus demografi. Dari tahun ke tahun, jumlah usia pelajar di Kota Padang terus meningkat. Sementara kapasitas setiap sekolah negeri untuk menampung mereka tidak cukup memadai.
SMA swasta seharusnya memiliki peran penting untuk mengambil bagian. Di samping pilihan SMK dan MA yang saat ini kurang diminati pula oleh tamatan SMP. Namun, harapan dari pemerintah terhadap sekolah swasta belum terakomodir sepenuhnya. Hanya beberapa sekolah swasta yang diminati oleh siswa.
“Seharusnya kan semua sekolah swasta itu menjadi pilihan. Siswa bisa memilih bahwa mereka ingin bersekolah dimana,” ujarnya.
Mahyan mengatakan, hal yang paling berpengaruh terhadap penerimaan siswa adalah kualitas sekolah, mulai dari sarana dan prasarana, mutu, prestasi, fasilitas, hingga pelayanan. Menurutnya, siapa saja pasti akan mencari yang terbaik. Sebab kualitas tentu akan berpengaruh kepada hasil.
Jika sekolah tidak memperhatikan kualitas, penerimaan peserta didik jelas akan menjadi tawanan. Di Kota Padang, hanya ada beberapa sekolah swasta yang mampu bersaing dengan negeri soal kualitas, seperti SMA Don Bosco, Adabiyah, Pembangunan, dan Pertiwi. SMA tersebut memiliki jumlah murid yang cukup setiap tahunnya.
Selain itu, Mahyan mengungkapkan masih banyaknya daerah blank spot di Kota Padang. Hal ini juga menjadi pekerjaan rumah baginya. Terlebih areanya mayoritas berada di tengah kota. Sulitnya mencari lahan untuk sekolah membuat persoalan kian kompleks.
Mahyan menilai, sekolah swasta memiliki kesempatan besar daripada sekolah negeri. Mulai dari lokasi yang strategis di tengah kota, lahan dan gedung milik sendiri yang bisa dikembangkan, serta pengelolaan keuangan yang mandiri. Seyogianya sekolah swasta dapat bersaing dengan negeri.
Walau memang tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini kecenderungan siswa lebih memilih negeri. Namun hal ini lebih kepada kualitas. Jika soal pembiayaan, kata Mahyan di negeri tatap ada uang komite yang sama halnya di swasta yang ada uang SPP.
“Pendidikan ini kan bisa dikatakan sama dengan berjualan. Jadi apa yang akan kita tampilkan tentu yang bagus-bagus, yang berkualitas. Untuk bersaing mamang itu. Maka marilah berbenah. Kita tingkatkan fasilitas dan mutu kita,” tutur Mahyan.
Mahyan memastikan pihaknya akan terus melibatkan sekolah swasta dalam membangun kualitas pendidikan yang baik. Saat ini, pihaknya telah menyiapkan satu wada promosi bagi sekolah swasta agar dapat dikenal lebih luas.
"Kita ada website untuk sekolah swasta. Ini akan menampilkan bagaimana sekolah itu. Maka tingkatkanlah kualitas untuk dapat dipromosikan," ucapnya.
Alizar sependapat dengan Mahyan. “Saya berharap sekolah swasta lebih meningkatkan mutu. Ini selalu menjadi harapan kami. Intinya sekolah itu kan mutu. Karena pendidikan itu sangat menentukan mau kemana anak ini nantinya,” katanya.
Meski begitu, Alizar menyebut pihaknya tetap meminta kepada pemerintah agar tidak lagi membuka jalur lain selain PPDB resmi. Jika kuota masing-masing sekolah sudah terpenuhi, jangan ada lagi pemenuhan dan penambahan rombel.
“Kita ingin semuanya komitmen, sekolah negeri dan swasta, dan pemerintah,” harapnya.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.