Oleh: Erick Disy Darmawan
INDEPENDEN- Saban hari sorot matahari terasa membakar kulit saat menginjakkan kaki di wilayah Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Di sebuah warung kopi, terlihat salah seorang petani tengah beristirahat.
Ditemani kopi dengan 'tembakau' di tangannya, petani tersebut tampak menikmati waktu istirahatnya. Petani tersebut bernama Somad. Pria berusia 58 tahun itu merupakan petani dari Dusun Cuyu, Desa/Kecamatan Kertajati, Majalengka.
detikJabar pun mencoba mengakrabkan diri dengan Somad. Bapak dua anak itu tampak ramah dan langsung menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Perbincangan sederhana dengan Somad pun tercipta di warung kopi itu.
Somad bilang dirinya sedang bingung. Pasalnya, di tahun ini sawahnya yang ditanami padi itu hanya bisa digunakan sekali tanam, padahal tahun-tahun sebelumnya dia biasa dua kali panen. Fenomena itu disebabkan karena kekeringan tengah melanda daerahnya.
"Dua kali panen biasanya. Sekarang cuma sekali, baru kali ini kayak gini," kata Somad dalam perbincangan dengan detikJabar beberapa waktu lalu.
Kini Somad terpaksa harus 'gantung cangkul' sementara waktu. Saat ini dia memilih menjadi kuli bangunan demi menghidupi keluarganya.
"Nyawah berhenti dulu. Sekarang ikut jadi kuli, itu pun kalau ada yang ngajak," ujar dia.
Akan tetapi, permasalahan Somad dengan petani lainnya bukan perkara itu saja. Para petani di Kertajati kini dalam bayang-bayang gencar nya alih fungsi lahan demi percepatan pembangunan.

Seperti yang diketahui, semenjak Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati berdiri, Kabupaten Majalengka khususnya wilayah Kertajati tengah dibidik Proyek Strategis Nasional (PSN). Nantinya, wilayah tersebut akan menjadi kota metropolitan baru di Jawa Barat atau Kawasan Rabana.
Gencarnya pembangunan di Majalengka sudah pasti lahan pertanian yang menjadi korban. Sawah yang dulunya membentang luas di wilayah Kertajati juga, sebagian lahannya kini mulai dipatok untuk pembangunan-pembangunan lainnya. Pematokan itu dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah.
Bahkan sejak dibangunnya Bandara Kertajati, areal persawahan di wilayah tersebut sedikit demi sedikit akan beralih fungsi, dari kawasan agraris menjadi kawasan metropolis. Bangunan-bangunan seperti hotel, hingga jalan tol juga kini mulai melalap lahan pertanian.
Hadirnya proyek andalan pemerintah pusat itu memang dicanangkan untuk memajukan daerah tersebut. Akan tetapi berpotensi juga mengancam profesi masyarakat setempat. Pasalnya warga Kertajati yang mayoritas berprofesi petani akan terancam kehilangan lahan garapannya.
"Tahun 2023 udah ada pematokan atau pengukuran gitu. Termasuk sawah saya juga kena. Kalau maksud tujuannya saya kurang tahu, bilangnya sih buat perusahaan taksi, ada juga yang bilang nggak tahu buat kantor apa itu teh. Cuma sampai sekarang belum ada follow up lagi," ucap Somad.
Disinggung apakah sawahnya akan dilepas, Somad hanya bisa berpasrah. Asalkan, kata dia, harganya sesuai dengan keinginannya.
"Kalau nanya nggak, tapi ada yang bilang mau dihargai Rp4,5 juta per bata (per 14 meter). Kalau saya kemungkinan di lepas, soalnya sawah saya di tengah-tengah kalau yang lain dijual otomatis yang punya saya juga pasti harus dijual," jelasnya.
"Asal harga sesuai, ya saya mungkin nyari (beli) sawah lagi. Kalau idealnya sih Rp5 juta per bata. Informasinya kebutuhan lahannya itu sekitar 20 hektar," sambungnya.
Seperti yang diketahui, Kertajati juga dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Majalengka. Dilihat dari data BPS sebelum ada bandara (2012-2014), produksi padi di Kertajati dari tahun ke tahun selalu paling tinggi diantara kecamatan-kecamatan lainnya yang ada di Majalengka.
Pada 2012, produksi padi di Kertajati mencapai 58.064 kuintal. Di 2013, produksi padi terus meningkat signifikan, yakni mencapai 80.106 kuintal. Namun di 2014 atau tepatnya mulai pengerjaan pondasi dan pembersihan lahan bandara, produksi padi di Kertajati kembali menurun menjadi 75.957 kuintal.
Bahkan dari dilihat dari website Open Data Majalengka setelah Bandara Kertajati mulai beroperasi pada 2017, produksi padi kembali menyusut. Pada 2018, produksinya hanya mencapai 72.868 kuintal. Sementara di 2019, menjadi 71.039 kuintal.
Akan tetapi produksi padi di Kertajati tak selamanya merosot, tahun selanjutnya kembali meningkat sebesar 78.492 kuintal (2020) dan 79.972 kuintal (2021). Namun peningkatan produksi padi itu hanya bertahan selama 2 tahun, di 2022 kembali turun menjadi 77.659 kuintal. Dan data terakhir pada 2023, produksi padi di Kertajati juga merosot menjadi 75.816 kuintal.
Demi menjaga produksi padi di sana, petani di Desa Kertasari, Kertajati, Majalengka, memanfaatkan lahan pertanian yang belum terpakai oleh bandara. Sarja (47) adalah salah satu petani yang memanfaatkan lahan pertanian tersebut.
Dia mengelola lahan tersebut sejak pembebasan lahan untuk pembangunan Bandara Kertajati sekitar tahun 2013. Namun dalam mengelola lahan tersebut Sarja tidak menyewanya, dia hanya memanfaatkan lahan yang belum terpakai.
"Lahan ini bukan punya saya, ini udah dibebasin. Di sini itu kami hanya memanfaatkan lahan, nggak ada sewa atau sistem kontrak. Dikasih nggak dikasih sama BIJB ya kita akan memaksa, karena daripada nganggur kita hidup di sini masa cuma jadi penonton, jadi ada nganggur kita manfaatkan," ujar Sarja saat berbincang dengan detikJabar di ladangnya yang tak jauh dari bandara.
"Kalau peruntukan (lahan yang belum terpakai) kita nggak tahu-menahu, nggak ngerti juga masyarakat. Kalau diajak bicara sudah diawal-awal juga, dengan beriming-iming dalihnya kan kerja nggak perlu jauh, bakal menampung yang nggak jauh dulu, diprioritaskan yang terkena dampak dulu katanya. Tapi saya juga kan nggak menyalahkan, cuma faktanya anak saya juga belum masuk (kerja di bandara) gitu loh," sambungnya.
Lahan tersebut saat ini sedang ia manfaatkan untuk menanam palawija. Namun biasanya Sarja menanam di lahan tersebut dengan padi.
"Kurang lebih ada 1 hektar (tanah yang dikelola oleh Sarja saat ini). Kalau buat makan sih kata orang cukup, tapi kalau kurang ada aja. Sekarang saya tanami timun sama terong, tapi biasanya tanam padi cuma sekarang lagi kering," ujarnya.
Kendati mengelola lahan tersebut, kata Sarja, demi memanfaatkan tanah yang produktif di desanya itu. Per hektar lahan pertanian di desanya, jelas dia, bisa menghasilkan sekitar 3 ton gabah kering dalam sekali panen.
"Di sini tanahnya produktif, setahun dua kali panen. Tambah satu kali panen sama palawija. Tapi sekarang (tanam padi) gagal total, gagal panen. Kalau nggak gagal panen, per hektar itu rata-rata bisa 3 ton kering, kalau basah 8 ton," katanya.
Namun, kini produksi padi di desanya itu cukup terganggu. Pasalnya serangan hama tikus semakin menggila semenjak bandara berdiri.
"Produksi sih produksi. Tapi ada maksimal, ada nggak. Ya nggak tahu, kita nggak bisa menyalahkan siapa-siapa bisa jadi alam, soalnya banyak diserang hama tikus. Tapi sejak ada bandara rasanya (hama tikus) lebih banyak. Sebelum ada bandara juga ada cuma nggak banyak," ucap Sarja saat bercerita.
Serikat Petani Majalengka (SPM) juga menyayangkan atas kondisi tersebut. Terancamnya produksi hasil tani di Kertajati perlu adanya peran pemerintah untuk mencarikan solusi jangka panjang. Pembukaan lahan pertanian baru di Kertajati dinilai menjadi solusi paling tepat untuk menjaga status wilayah tersebut sebagai lumbung padi terbesar di Majalengka.
"Yang harus dilakukan oleh pemerintah itu, pertama harus berani melakukan proses penyediaan lahan baru. Artinya harus ada tukar guling (tanah) yang memungkinkan masyarakat untuk mempercepat beradaptasi pada lingkungannya, karena kita ketahui bahwa yang ada di sekitar bandara itu ternyata mayoritasnya adalah petani bukan pedagang, jadi kemampuannya ya hanya bisa bertani," jelas Ilham Lahiyah dari Serikat Petani Majalengka (SPM).
Namun sejauh ini pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk masyarakat Kertajati. Pasalnya pemerintah belum mengambil langkah yang tepat untuk para petani di wilayah tersebut.
"Belum disediakan (lahan pertanian baru), bahkan kami juga yang sebagai penggiat RA (reforma agraria) juga terus berupaya untuk menciptakan pertanian baru walau seringkali dikriminalisasi, padahal kami begini sesuai dengan apa yang diinginkan pemerintah adanya ketahanan pangan," ujar Ilham.
"Ketahanan pangan itu kan tidak bisa dilihatnya secara korporasi, artinya kita tahu lah pemerintah mengadakan food estate tapi kan manfaat dan dampaknya yang ada adalah lingkungan yang rusak serta kegagalan karena urusannya proyek. Tapi kalau ketahanan pangan diurus oleh masyarakat itu sendiri, saya yakin selesai urusannya," sambungnya.
Ilham juga meyakini gencarnya pembangunan di Kertajati dicanangkan untuk kesejahteraan masyarakat. Namun pemerintah juga perlu menggarisbawahi pentingnya mendorong profesi masyarakat terdampak. Redistribusi tanah bisa menjadi solusi tepat untuk mendekonstruksi kembali geliat pertanian di Kertajati.
"Kalau pemerintah kan skemanya banyak ya, bagaimana untuk pola kesejahteraan seharusnya saya yakin itu ada program. Tapi kan kalau sumber daya manusianya juga lebih cenderung (berprofesi) petani ya artinya alat produksi harus disediakan," ucapnya.
Ilham bersama SPM juga pernah berkomunikasi dengan pemerintah dan anggota DPRD setempat. Dalam perbincangannya itu, mereka menitipkan pesan agar para pemangku kebijakan bisa memperhatikan nasib para petani di Kertajati kedepan. Namun titipannya itu masih menggantung hingga saat ini karena belum ada langkah konkret dari para pemangku kebijakan.
"Beberapa kali kita di sini di Serikat Petani Majalengka mengundang para pejabat terutama Bapak Bupati Karna yang sebelumnya, terus juga ada beberapa yang punya kebijakan yaitu anggota legislatif, sudah banyak kita datangkan karena kita nggak mau sebagai masyarakat tidak membangun komunikasi. Kita minta bagaimana gambaran ke depan terkait pembangunan yang ada di sekitar wilayah kami," tuturnya.
"Artinya ada beberapa catatan penting yang kemudian kita titipkan kepada pemerintah tersebut yang mau menjadi pemerintah pun kita titipkan supaya adanya kepastian hukum yang akan datang. Tapi lagi-lagi saya tekankan bahwa masyarakat itu bukan soal harga, artinya harga itu bisa diobrolkan menjadi sesuai dengan aturan yang ada. Tapi idealnya pemerintah juga harus menyediakan sumber daya alam yang baru agar masyarakat mampu melakukan adaptasi," ujar dia menambahkan.
Sementara itu, pengikisan lahan pertanian di wilayah Kertajati ini juga nampak terlihat jelas dari tangkapan citra satelit. Dari tahun ke tahun, alih fungsi lahan di wilayah tersebut terus terjadi. Kawasan yang dulunya hijau kini mulai tampak mencoklat.
Tak hanya itu dilihat dari data BPS 2016-2020 pun, Kertajati mulai kehilangan lahan pertaniannya. Pada 2016, lahan pertanian irigasi ada sebanyak 1.780 hektar dan tadah hujan 3.555 hektar atau jika digabung mencapai 5.335 hektar. Di 2017 dan 2018, lahan pertanian di Kertajati menyusut menjadi 5.308 hektar.
Selanjutnya di 2019 penyusutan semakin signifikan, yakni menjadi 5.279 hektar. Dan di 2020 tersisa 5.258 hektar yang masih menjadi lahan pertanian. Sedangkan di 2021-2024, detikJabar cukup kesulitan mencari datanya. Pasalnya BPS belum meng-update-nya.
Dengan penyusunan lahan pertanian yang terus terjadi dari tahun ke tahun, lantas bagaimana langkah pemerintah untuk mempertahankan lahan pertanian di Kertajati ditengah gempuran PSN?

Upaya Pemerintah Jaga Lahan Pertanian Majalengka
Pj Bupati Majalengka Dedi Supandi mengaku, pemerintah sudah mengupayakan untuk mempertahankan lahan pertanian di Kertajati lewat Perda Tata Ruang. Dia mengatakan, lahan sawah yang dilindungi tidak boleh diganggu untuk alih fungsi lahan.
"Kaitan dengan Perda Tata Ruang. Dari Perda Tata Ruang sudah ngunci kalau semisal itu dipergunakan untuk industri atau itu adalah lahan sawah dilindungi (LSD) itu nggak boleh," ujar Dedi saat diwawancarai detikJabar pada 15 Juli 2024.
Dedi menyampaikan, Perda Tata Ruang ini sejatinya masih berproses revisi. Dedi meyakini, setelah Perda ini ditetapkan lahan pertanian di Majalengka khususnya Kertajati akan tetap terjaga.
"Setelah tata ruang ini ditetapkan, (lahan pertanian) pasti terjaga. Perda Tata Ruang ini justru terakhir (ditetapkan) itu 2011, sampai sekarang ini belum ada lagi (perubahan), seharusnya terjadi perubahan Perda Tata Ruang itu bisa dievaluasi 5 tahun sekali secara aturan," jelas dia.
"2021 juga belum sempat ditetapkan, makanya saya ingin segera tata ruang ini ada kepastian untuk ditetapkan sehingga ada proteksi terhadap lahan sawah dilindungi dan ada kepastian bagi investor untuk bisa melakukan investasi daerah yang memang itu diperbolehkan," tambahnya.
Untuk menjaga ketahanan pangan di Majalengka, pemerintah sudah menyiapkan strategi khusus. Memperluas lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) adalah salah satu strateginya.
"Ada beberapa LP2B yang kita juga perluas di daerah selatan, itu juga sudah dilakukan. Jumlah hektarenya ada di PU (Pekerjaan Umum)," ucapnya.
"Nah lalu yang dilakukan itu menambah intensitas panen. Jadi misalnya begini ada daerah yang hasil panen pangannya hanya setahun sekali. Jadi kita dorong supaya bisa menjadi setahun 2 kali, yang setahun 2 kali bisa menjadi setahun 3 kali. Makanya kemarin kita bagikan 357 pompa untuk meningkatkan produktivitas. Dan hasil pertanian yang tadinya satu tahun sekali (bisa) menjadi 2 kali atau 3 kali," kata Dedi menambahkan.
Kendati demikian, ketahanan pangan di 'Kota Angin' akan difokuskan di wilayah selatan kabupaten Majalengka. Dengan demikian, sektor pertanian di wilayah utara Majalengka (Kertajati dan sekitarnya) berpotensi akan terus menyusut.
"Nah pembukaan lahan barunya tadi saya sampaikan ada beberapa lokasi, lokasi lahannya itu reproduktif bergerak ke daerah di atas (wilayah selatan Majalengka)," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappedalitbang) Majalengka, Yayan Sumantri menyampaikan, pemerintah sejatinya terus berusaha menjaga keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan lahan pertanian. Pemerintah juga, kata dia, tengah berupaya mengajukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) RTRW Nomor 11 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Majalengka 2011-2031.
Proses revisi RTRW ini telah mencapai tahap evaluasi di tingkat Provinsi. Jika sudah selesai, maka masuk ke kementerian ATR/BPN untuk dibahas secara lintas sektor, dan nantinya akan ditetapkan menjadi Peraturan Bupati (Perbup) jika sudah disepakati. "Jadi artinya secara substansi di Kabupaten Majalengka itu sudah dilakukan penyesuaian struktur dan pola ruangnya yang selaras dengan kebijakan provinsi dan kebijakan pemerintah pusat," ujar Yayan.
Namun dalam revisi RTRW, nampak belum ada keberpihakan untuk keberlanjutan menjaga lahan pertanian. Pasalnya dalam revisi itu mencakup penambahan beberapa pola ruang untuk kawasan industri.
Dengan demikian, Majalengka yang sebelumnya fokus pada sektor pertanian, kini mulai mengarahkan proporsi luas lahannya ke sektor industri. "Proporsi lahan untuk pertanian akan sedikit berkurang dan dialihkan menjadi kawasan industri," kata Yayan.
Terlepas hal itu, kata Yayan, perlindungan terhadap lahan sawah tetap menjadi prioritas. Dalam revisi RTRW, terdapat kesepakatan mengenai Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Berdasarkan data sebelumnya, terdapat sekitar 52.000 hektar lahan sawah yang terdaftar. Namun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), jumlah ini sebenarnya tercatat hanya 48.000 hektar.
"Di awal berdasarkan existing katanya ada 52.000, tetapi di RTRW kita itu sebetulnya 48.000. Nah kemarin diambil kesepakatan terakhir menjadi 28.000 untuk lahan sawah dilindungi, nah itu disepakati karena itu menyangkut penyelarasan provinsi dan pusat," jelasnya.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal detik.co, 6 Oktober 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.