Oleh: Eko Setiawan
INDEPENDEN – Di sebuah sudut jalanan Tangerang Selatan, Mardana Casavela (35), seorang pengamen asal Pamulang menjawab "belum tahu" ketika ditanya apa dia tahu soal Pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 pada November mendatang.
“Nggak ada info sih. Mungkin nanti kali ya pas udah mau dekat kali,” ujar Mardana sembari menggendong bayinya saat mengamen di Jalan Surya Kencana, Kecamatan Pamulang baru-baru ini.
Ternyata Marsada kerap tidak ikut Pilkada. Haknya sebagai warga negara untuk memilih pemimpin daerah hanya diberikan pada Pilkada 2015 lalu.
“Kalo buat (pemilihan umum) daerah enggak (nyoblos) aku. Kalo buat presiden iya (nyoblos). Enggak, maksudnya aku-nya yang golput,” kata dia.
Mardana punya alasan mengapa kurang tertarik dengan pelaksanaan Pilkada. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah dia tidak mengenal calon-calon kepala daerah yang ikut serta dalam kontestasi Pilkada Tangerang Selatan (Tangsel) periode-periode sebelumnya.
“Ya kalau presiden kan nyata di depan TV kita bisa lihat, orangnya seperti ini, fisiknya kaya begini. Kalo dari daerah lebih tidak tahu ya, tidak kenal,” kata perempuan itu lagi.
Pada pilkada Tangsel tahun 2015 lalu itu, Mardana mengaku mengenal salah satu kandidat termasuk program-programnya.
Dewa Saputra yang juga berprofesi sebagai pengamen punya pengalaman yang sama soal Pilkada. Pengamen usia awal 30-an itu menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang acuh tak acuh terhadap Pilkada.

“Acuh enggak acuh sih, kalau disuruh milih ya milih, tapi kalau untuk ikut jadi panitia atau yang aktif, saya enggak pernah," ucap Dewa saat dijumpai sedang mengamen di kawasan Serpong Utara ini.
Bagi pengamen yang bemainkan biola ini, minat terhadap Pilkada hanya muncul menjelang hari pencoblosan. Sementara, penyuluhan atau edukasi mengenai pemilihan umum termasuk calon-calon yang akan berlaga tidak banyak ia dapatkan.
"Sekadar pas jelang pencoblosan aja (mengikuti informasi yang beredar), nggak nyari tahu juga sebelumnya," tambah Dewa.
Informasi yang diterima Dewa lebih banyak bersifat sporadis, seperti pembagian sembako atau uang serangan fajar yang sering kali muncul menjelang hari pemilihan.
Ini sangat berbeda dibandingkan sewaktu pemilihan presiden. Dewa justru lebih bersemangat untuk hadir di TPS melakukan pencoblosan. Sementara saat ini dia terkesan tidak begitu antusias.
“Nyoblos, setiap pilpres saya nyoblos berdasarkan pilihan hati. Bahkan saya dikasih serangan fajar juga gak pernah saya terima kalau pilpres, tetap saja saya mau milih (tanpa serangan fajar),” kata Dewa bangga.
Buat lelaki ini, siapa pun yang menang tidak masalah, selama orang tersebut bisa memimpin dan membenahi daerah.
“Jadinya ngikutin (pilihan) orang lain aja,” tambah Dewa.
Dewa, seperti banyak warga lainnya di Tangsel, berharap jalan-jalan bisa diperbaiki. Meski hidupnya sederhana, ia menginginkan masa depan yang lebih baik untuk kota yang telah menjadi saksi perjalanan hidupnya.
“Yang terbaik saja pokoknya, supaya bisa ngebenahi Tangsel biar makin maju,” kata Dewa lagi.
Pengamen Tidak Masuk Hitungan
Andi Sulityono (41), pengamen asal Pamulang mengatakan bahwa selama ini kelompok-kelompok pengamen tidak pernah diperhitungkan dalam isu pemilihan umum. Keterlibatan mereka dalam pemilu juga belum diketahui dengan jelas.
Pasalnya kelompok ini sering dipandang sebelah mata, meskipun punya ambisi yang sama yaitu untuk memiliki negara yang lebih maju. Selama ini jarang sekali para pengamen mendapatkan penyuluhan ataupun edukasi mengenai politik, terutama yang terkait dengan pemilihan umum.
“Kadang kita yang orang-orang biasa yang cari rezeki ngamen ini dipandang hina, sebenarnya kita kan sama tujuannya buat Indonesia lebih maju. Kenapa mereka dipilih untuk mengurangi pengangguran di Tangerang Selatan,” kata Andi saat dijumpai ketika mengamen di alun-alun Pamulang.
Justru pemahaman ataupun pengetahuan mengenai pilkada lebih sering ia dapatkan dari teman-temannya sesama pengamen. Saat mereka berdiskusi maupun bercengkrama biasa.
“Enggak, saya mah (pemahaman soal pilkada) kebanyakan di jalan dapatnya bukan dari pemerintah,” kata dia.
Andi berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan kaum pengamen.
"Ya mudah-mudahan pemerintah itu lebih baik lagi menaungi kita, untuk kita kaum-kaum pengamen itu setidaknya dari pemerintah itu ada pandanganlah," harap Andi.
Andi berharap calon pemimpin Tangerang Selatan mendatang dapat memberikan perhatian lebih kepada kaum marjinal dan membantu mereka dalam memperbaiki masa depan diri dan keluarganya.
Pemilu Masih Belum Inklusif
Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November 2023 di Kota Tangerang Selatan. Namun, partisipasi masyarakat marjinal, khususnya pengamen jalanan, masih menjadi tantangan tersendiri.
Dalam konteks ini, pemahaman mengenai hak pilih, proses pemilihan, dan pengenalan calon-calon kepala daerah masih minim di kalangan mereka, sehingga berpotensi mempengaruhi partisipasi mereka dalam pesta kontestasi lima tahunan.
Meski beberapa pengamen seperti Dewa, Andi dan Mardana mengaku belum mendapatkan sosialisasi dan penyuluhan terkait Pilkada Tangerang Selatan 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tangerang Selatan mengaku sudah melakukan sosialisasi.
Komisioner KPU Tangerang Selatan Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM, Heni Lestari, menjelaskan bahwa pihaknya telah melaksanakan program sosialisasi yang menyasar komunitas marjinal, termasuk pengamen jalanan.
“Program sosialisasi berdasarkan segmentasi sudah dilakukan. Segmentasi marjinal ada. Kami datang ke komunitas pengamen, anak punk untuk melaksanakan sosialisasi tatap muka,” jelas Heni.
Meski upaya telah dilakukan, tantangan tetap ada. Misalnya belum ada survei khusus mengenai jumlah pengamen dan apakah mereka masuk dalam data pemilih.
Sejauh ini, prinsip dasar dalam pendataan pemilih adalah berdasarkan data administrasi kependudukan sehingga pengamen yang memiliki KTP Tangsel tetap berhak memilih.
Heni menyatakan adanya keterbatasan dalam hal melakukan sosialisasi.
“KPU sudah berusaha menyentuh segmentasi terkhusus marjinal. Ini sudah kami laksanakan. Untuk orang-orang yang punya hak memilih pada akhirnya tidak memilih saat hari pemungutan suara, kami tidak berwenang untuk memberikan pidana kecuali kalau ada yang mengajak untuk tidak memilih itu ada pidananya,” jelas Heni.
Pendidikan Politik Sebagai Tanggung Jawab Bersama
Ahmad Syailendra, seorang pengamat politik, menekankan pentingnya pendidikan politik bagi semua elemen masyarakat, termasuk kelompok marjinal seperti pengamen.
"Pendidikan politik ini penting. Seluruh elemen masyarakat harus dilibatkan dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih," kata Syailendra.
Mantan Ketua KPU Kota Tangerang itu menilai bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki potensi masing-masing yang perlu dirangkul.
Selama mereka memenuhi syarat sebagai pemilih, seperti berusia minimal 17 tahun dan memiliki KTP elektronik maka semuanya berhak untuk di data serta diberikan pemahaman yang baik mengenai politik dan pemilihan umum daerah.
Syailendra juga menggarisbawahi bahwa tanggung jawab pendidikan politik tidak hanya berada di tangan KPU.
“Ini tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Namun, ada tugas partai politik, pemerintah daerah, termasuk media untuk kut ambil bagian di dalamnya,” kata Syailendra.
Kebijakan terkait peningkatan partisipasi pemilih sudah diakomodir dalam Peraturan KPU (PKPU), selanjutnya tinggal bagaimana implementasinya di lapangan.
Dia menekankan pentingnya kolaborasi aktif antara KPU dan berbagai pihak dalam melaksanakan pendidikan politik.
"Ormas mesti tampil di depan, berkolaborasi aktif dengan KPUD untuk menyasar pemilih-pemilih marjinal seperti pengamen, dan lainnya," ujar Syailendra lagi.
==
Reportase ini adalah hasil fellowship beasiswa liputan dari Independen.id yang didukung oleh USAID, Aliansi Jurnalis Independen, dan Internews.