Oleh: Rianza Alfandi
INDEPENDEN- Akhir Februari 2024, lima santriwati salah satu dayah di Kabupaten Pidie mendatangi markas Kepolisian Resor. Di kantor beratap coklat, yang berjarak hanya sepelemparan batu dari Jalan Nasional Banda Aceh – Medan itu mereka melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialami.
Terduga AJ, menjadi orang yang dilaporkan. Pria berumur 39 tahun dan juga pimpinan dayah. AJ bukan orang asing, bagi para santrinya ia begitu ditakzimkan dan dianggap bak seorang ayah.
Dalam Bahasa Aceh pimpinan dayah kerap dipanggil teungku atau abi, sebutan lain dari ustad.
Begitu takzimnya, mencuci dan menyetrika baju sang teungku pun ikut menjadi rutinitas santriwati di dayah. Bahkan, tanpa menaruh rasa curiga, sebagian santri perempuan tidak sungkan kala AJ sewaktu-waktu meminta untuk diurut tubuhnya.
Namun, kebaikan para santri perempuan itu bernasib pilu. AJ justru memanfaatkan mereka jadi alat pemuas hasrat. Kegiatan privat membaca kitab hingga rutinitas mengurut tubuh menjadi jurus AJ menggerayangi tubuh korban di ruang kerja.
“Itukan hal yang tidak bisa dibenarkan, di situ dayah...”
“Seperti tinggal di dalam hutan sendiri, enggak ada siapa-siapa,” kenang Siti Farahsyah Addurunnafis, paralegal LBH Banda Aceh kala mendampingi para korban, Senin (29/07/2024).
Aksi bejat AJ sudah berlangsung sejak akhir tahun 2023. Namun, perasaan takut dan malu menahan santriwati mengungkapkan pelecehan yang dialami. Alhasil, ihwal perlakuan asusila AJ pun hanya terdengar sebatas telinga para korban.
Awal tahun 2024, desas-desus perilaku amoral sang teungku baru menguar. Seorang korban yang tak lagi tahan dengan perlakuan AJ membuka semua pengalaman pahit kepada ibunya.
“Karena itu akhirnya pelaku dilaporkan. Namun untuk korban lainnya enggak menceritakan awalnya, karena ada diancam sama pelaku,” ujar Farah.
Jalan untuk menyeret AJ ke meja hijau cukup terjal. Sebagai seorang teungku dia cukup diagungkan dan dilindungi sejumlah warga. Bahkan AJ bahkan diyakini sebagai orang suci.
Kendati demikian, kini kasus AJ bergulir ke Mahkamah Syar’iyah. Ia terancam dikenakan Pasal 46 Jo Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayah, dengan hukuman cambuk 90 kali atau kurungan 90 bulan.
“Menurut mereka (warga) ya tengku ini enggak seperti itu (melakukan pelecehan seksual). Maksudnya masa aulia Tuhan bisa melakukan hal-hal seperti itu. Itu gak mungkin. Itu pasti itu rekayasa,” ujar Farah.
Pelaku Dilindungi Perangkat Desa
Kejadian serupa juga terjadi di Pidie Jaya, kala LBH mendampingi korban kekerasan seksual 2022 silam. Waktu itu korban adalah santri laki-laki berjumlah tujuh orang dan pelakunya pimpinan dayah.
Polanya lagi-lagi sama, dalam kasus ini perangkat desa menjadi tameng. Pelaku begitu diagungkan dan dilindungi agar tidak terjerat hukum.
Mereka juga begitu cekat, saat kasus mulai mencuat perangkat desa dengan sigap langsung mengumpulkan korban. Para penyintas diminta memberi keterangan palsu serentak kepada siapapun yang menanyakan perihal kasus asusila itu.
“Namun dengan berbagai upaya, pada akhirnya kita berhasil membuat laporan dengan membawa korban ke kantor polisi untuk memberikan keterangan,” kata Farah.
Tak cukup sampai di situ, para perangkat desa masih terus berupaya menghalangi agar kasus tidak sampai ke meja hijau. Mereka bahkan mencoba membuat semacam pembatalan surat kuasa dan memaksa korban satu persatu menandatangani surat itu.
“Mereka membuat surat. Kasih lah ke korban-korban, ke orang tuanya, tanda tangan. Tiba-tiba kami dapat salinan mereka cabut kuasa dari pihak LBH. Memang cabut semua tuh. Karena ada intervensi dari aparatur desa sama pihak dari kuasa,” tuturnya.
Kendati adanya upaya pencabutan kuasa, kasus tersebut tetap berhasil diadvokasi LBH Banda Aceh dan pelaku akhirnya diputuskan bersalah di pengadilan dengan vonis 200 bulan.
Lucunya, meski pelaku sudah dinyatakan bersalah masyarakat masih menganggap dia sebagai orang berilmu, dan rela menunggu pelaku dibebaskan untuk kembali mengajar ilmu agama di dayah.
“Mungkin karena masih ada anggapan apa yang dilakukan oleh teungku itu penerusan dari Tuhan, jadi pemahaman yang mereka dapatkan itu masih minim,” ungkapnya.
Butuh Regulasi Khusus di Dayah
Di Tanah Rencong, kasus kekerasan seksual di dayah, pesantren atau balai pengajian saban tahun terus berulang. Anak-anak belum sepenuhnya mendapat perlindungan dan akan terus menjadi korban. Perkara itu menunjukkan sikap pemerintah yang belum serius mengawasi dan membenahi institusi pendidikan berbasis agama, sehingga predator seks berkedok teungku begitu leluasa beraksi di bumi syariat.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) mencatat, dalam tiga tahun terakhir terdapat 1.037 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Aceh.
Sementara khusus tahun 2024, sejak Januari hingga Juni kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah tercatat sebanyak 115 kejadian. Sebagian kasus terjadi di lingkungan dayah atau pesantren.
“Terdapat anak-anak yang mengalami kekerasan di dayah dan pesantren namun untuk jumlah seberapa banyak anak yang mengalami kekerasan di dayah dan pesantren tidak dapat terakomodir,” kata Plt Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak DPPPA Aceh, Faula Mardalya.
Aceh dilanda keprihatinan, kekerasan seksual di bumi berjuluk Serambi Mekkah itu diyakini layaknya fenomena gunung es. Ketatnya syariat Islam belum menjamin warganya terlepas dari jerat perkara yang kontradiktif dengan hukum agama dan negara itu.
Pornografi, penyimpangan seksual, dan lemahnya penguatan karakter dari keluarga dinilai menjadi sebab semakin tingginya kasus kekerasan seksual anak di Aceh.
“Dan ini harus menjadi perhatian bersama untuk menjadi bagian dari pencegahan terjadinya kekerasan seksual oleh setiap lini di Tanah Rencong,” ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menilai perlu adanya regulasi khusus untuk menekan kasus kekerasan seksual di dayah. Contohnya seperti yang dilakukan Menteri Pendidikan terhadap universitas yakni sudah ada Satgas Anti Kekerasan Seksual. Khusus di Aceh, pemerintah bisa memanfaatkan lembaga Dinas Pendidikan Dayah.
Dinas Pendidikan Dayah bisa memasukkan aspek bebas dari kekerasan seksual sebagai salah satu syarat atau kriteria penilaian untuk menentukan suatu dayah dapat terakreditasi. Sehingga hal itu memacu semua dayah di Aceh semakin memperbaiki diri ke depannya.
“Jika belum ada sebaiknya dilakukan, dibuat (aspek bebas dari kekerasan seksual) dulu baru diakreditasi. Itu penting menurut kami, karena itu aspek mitigasi,” kata Aulianda.
Percepatan Pengesahan Revisi Qanun Jinayat

Di samping dibutuhkannya regulasi khusus, pencegahan kasus kekerasan seksual terhadap anak di dayah juga perlu didorong dengan percepatan pengesahan revisi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Selama ini penerapan qanun jinayat yang masih memakai draft versi lama belum menimbulkan efek jera terhadap pelaku, sehingga dianggap sebagai salah satu pemicu tingginya kasus kekerasan seksual di Aceh.
Contohnya pasal pelecehan seksual terhadap anak. Dalam pasal itu hanya mengatur bagaimana hukuman terhadap pelaku, dengan menyebutkan jumlah hukuman cambuk, atau berapa lama hukuman penjara, atau berapa jumlah denda.
Dalam penerapannya, hakim hanya bisa memilih satu dari ketiganya. Jika tuntutan dan putusannya berupa cambuk, maka pelaku tidak lagi mendapat hukuman penjara atau denda.
Mirisnya, selama ini banyak pelaku pelanggaran yang disebutkan dalam qanun jinayat itu hanya berujung pada hukuman cambuk. Setelah dicambuk, pelaku bebas beraktivitas lagi. Bahkan jika pelaku merupakan orang-orang terdekat korban seperti orang tua, saudara atau ustad maka akan berpotensi kembali berjumpa dengan korban yang belum pulih total.
Sementara dalam draft terbaru hasil revisi sudah dimasukkan tentang pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual, serta mengakomodir restitusi dan hak pemulihan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan seksual.
“Pelaku tidak hanya dicambuk saja, tapi juga wajib dipenjara. Dalam draf lama pelaku maksimal dihukum 200 bulan penjara, sekarang jadi 240 bulan penjara, itu setara 20 tahun penjara. Kemudian ada restitusi dan pemulihan bagi korban. Dulu restitusi untuk korban anak itu tidak ada, sekarang kita masukkan,” jelas Aulianda.
Selain itu, perihal pemberian restitusi dalam draft qanun yang lama korban hanya akan menerima haknya apabila pelaku memiliki kemampuan untuk memenuhinya. Sementara dalam draf terbaru korban anak dipastikan bakal mendapat restitusi, pendampingan pemulihan baik psikis dan non psikis karena ada peran negara untuk memenuhinya apabila pelaku tidak sanggup.
Di sisi lain, Aulianda menekankan bahwa setiap butir pasal yang ada di dalam draf terbaru qanun jinayat sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Melainkan justru semakin memperkuat UU TPKS lantaran sama-sama memiliki semangat pemberatan hukuman dan semangat pemulihan bagi korban.
Karena itu, Aulianda mendesak pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera mengesahkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat tersebut. Sebab sejak 2022 lalu Perda ini telah direvisi sesuai permintaan Kemendagri.
Namun sampai Agustus 2024 prosesnya masih menggantung. Sehingga untuk penerapan peraturan terkait dengan pelecehan seksual dan perkosaan di Aceh saat ini masih menggunakan qanun jinayat yang lama.
“Karena malu juga kita kita daerah syariat Islam. Tapi kasus kekerasan seksual tertinggi di Indonesia, mau dibawa ke mana muka kita semua ini. Harusnya kan dengan penerapan syariat Islam ini bisa menjadi sebuah situasi yang aman bagi semua orang,” ungkapnya.
Ulama Dorong Syarat Pendirian Dayah Diperkuat

Senada dengan Direktur LBH Banda Aceh, Majelis Ulama Permusyawaratan (MPU) Aceh juga mendorong adanya pembentukan regulasi khusus di dayah, salah satunya dengan memperketat syarat atau izin pendirian dayah/pesantren.
Selaku daerah pro syariat Islam, Aceh selama ini tidak ada lembaga yang bertugas mendalami sosok pimpinan atau pengajar di lembaga pendidikan agama seperti dayah. Proses pendirian sebuah pesantren dilakukan begitu mudah.
Kondisi itu mendorong masyarakat harus lebih selektif mendalami identitas seorang pimpinan pesantren atau guru ngaji, termasuk mencari tahu rekam jejak di mana pimpinan tersebut menimba ilmu sebelumnya.
“Namun, kadang-kadang masyarakat tidak melakukan itu, terkadang hanya bermodalkan suara bagus langsung dijadikan pimpinan lembaga boarding. Ke depan tidak dibolehkan seperti itu,” kata Ketua MPU Aceh, Tgk Faisal Ali alias Abu Faisal.
Ia juga mendorong pemerintah agar membentuk lembaga atau pihak yang bertindak menyeleksi dan merekomendasi seseorang berniat mendirikan lembaga pengajian, pesantren, atau dayah.
Lembaga tersebut nantinya bertugas mendeteksi calon pengajar atau pimpinan dayah untuk memastikan rekam jejaknya bagus. Sehingga mampu meminimalisir kasus-kasus kekerasan di dayah, baik dalam konteks kekerasan seksual maupun kekerasan fisik lainnya.
Sayangnya, selama ini MPU tidak bisa mengambil sikap terhadap persoalan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama lantaran tidak ada landasan dan qanun yang mengatur, sehingga seseorang dengan mudah membuka balai pengajian atau sekolah boarding.
“MPU itu hanya memberikan pandangan kepada pihak terkait agar ke depan siapapun yang mengurus balai pengajian itu harus salah satunya adalah mendalami identitas rekam jejak dari pimpinan itu sendiri,” jelas Abu Faisal.
Tidak Bisa Mencabut Izin Dayah
Dinas Pendidikan Dayah Aceh mencatat ada 1.488 dayah dan 2.469 balai pengajian di Tanah Rencong. Jumlah itu merupakan data dayah legal yang terakhir diperbarui di tahun 2022, belum termasuk dayah dan balai pengajian ilegal yang terus menjamur di tengah masyarakat.
Lenggangnya syarat pendirian sebuah lembaga pendidikan agama menjadi salah satu penyebab banyaknya lahir dayah-dayah dan balai pengajian di Aceh. Tak ayal, jumlah dayah yang mencapai ribuan membuat lembaga terkait menjadi luput memberikan perhatian.
Sehingga hal itu menjadi pemicu awal hadirnya guru-guru atau pimpinan dayah yang tidak berkompeten dan berujung merusak wajah lembaga pendidikan agama dengan perbuatan jahatnya.
Kepala Bidang (Kabid) Pemberdayaan Santri Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Irwan, menjelaskan belum ada aturan khusus terkait pendirian dayah di Aceh. Selama ini ketentuan pendirian dayah hanya sebatas cukup memenuhi syarat administrasi, serta sarana dan prasarana saja. Sama sekali tidak berfokus pada kompetensi calon pimpinan atau gurunya.
Di samping itu, semua proses perizinan ditentukan dan diputuskan oleh Kementerian Agama. Sementara Dinas Pendidikan Dayah Aceh hanya diberi tugas mengkaji dan memberikan akreditasi terhadap dayah sesuai tipe yang ditentukan.
Kebijakan tergolong minim itu menjadikan Dinas Pendidikan Dayah Aceh tidak memiliki wewenang untuk menindak tegas seperti mencabut izin atau menutup suatu dayah yang di dalamnya terbukti terjadi kasus kekerasan seksual dan kekerasan fisik lainnya.
“Dayah itu kan kebanyakan milik yayasan, milik pemerintah. Jadi kita Dinas Dayah itu tidak bisa serta-merta untuk menutup, mencabut izin. Kalau guru pelakunya guru rata-rata akan dipecat, kalau misalnya santri ya dikeluarkan. Tapi kalau pimpinan, ini kan sanksi sosial yang mereka terima,” jelas Irwan.
Syarat Pendirian Dayah Harus Ada Rekom Ulama
Tahun 2022 silam, Achmad Marzuki yang menjadi Pj Gubernur Aceh kala itu pernah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 451.44/20931. Dalam SE tersebut Marzuki mengimbau kepala daerah dan pimpinan dayah di Aceh membentuk tim pengawasan dayah.
Tim tersebut dimaksudkan menjadi benteng guna mengantisipasi terjadinya kasus kekerasan seksual dan juga kekerasan fisik yang terjadi di lingkungan dayah. Namun, sejatinya sejauh ini tim tersebut belum sepenuhnya mampu membendung kasus kekerasan seksual terjadi di dayah.
Karena itu Dinas Pendidikan Dayah Aceh, kata Irwan, saat ini sedang menggodok aturan baru dengan tujuan lebih memperketat syarat pendirian sebuah dayah, salah satu syaratnya yakni calon pimpinan dayah wajib mengantongi rekomendasi dari ulama atau dari pimpinan dayah tertua di Aceh.
“Belum ada aturan khusus terkait syarat mendirikan dayah selama ini, tapi ke depan kita akan rumuskan izinnya, tidak hanya izin operasional dari Kementerian Agama saja, tapi termasuk ada rekomendasi dari Dinas Dayah, MPU, dan rekom dari gurunya,” kata Irwan.
Ia berharap dengan adanya rekomendasi dari ulama dan sejumlah lembaga terkait maka pimpinan serta guru dayah ke depan akan dipastikan sosok berkompeten. Sehingga kasus kekerasan seksual tidak lagi terjadi di lembaga pendidikan agama tersebut.
“Oleh karena itu untuk mencegah hal itu (kekerasan seksual di dayah) perlu dilakukan mulai di internal dayah, mulai dari seleksi gurunya. Harus di liat di mana dia menuntut ilmu, track record-nya harus diketahui. Jadi ilmunya bisa dijamin dan tidak disalahgunakan,” pungkasnya.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.