INDEPENDEN- Rozik (bukan nama sebenarnya) tampak trauma saat menceritakan peristiwa yang terjadi pada dini hari, Agustus 2024. Sejumlah polisi datang secara beramai ke tempat tinggal Rozik dan menggedor pintu rumahnya di Jakarta. Ia dituduh polisi menjual obat ilegal Tramadol, yang masuk jenis narkoba.
“Dia (baca: polisi) bilang minta kooperatif. Mana barangnya. Saya sampaikan sudah tidak menjual. Barangnya kosong. Sudah dicek-cek tidak ada,” ujar Rozik kepada Koreksi di Jakarta pada 14 September 2024.
Rozik menceritakan berdasarkan penjelasan polisi, kasusnya merupakan pengembangan dari penangkapan polisi terhadap pengguna Tramadol yang diduga beli darinya. Namun, kata dia, polisi tidak menunjukkan surat apapun kepadanya, termasuk surat penangkapan. Rozik lalu dibawa ke kantor polisi, meskipun tidak ditemukan barang bukti di tempat tinggalnya.
“Saya langsung diborgol besi ke belakang (posisi tangan di belakang). Tidak ada surat apa-apa,” tambah Rozik.
Polisi membawa Rozik ke tempat pemeriksaan untuk menggali informasi tentang pemasok Tramadol. Kepada polisi, ia menyampaikan tidak tahu dan sudah seminggu tidak lagi menjual obat tersebut.
Di hadapannya, sudah ada alat setrum. Telinganya dijepit, dan mesinnya mulai diputar. Rozik merasakan tegangan listrik tinggi, tubuhnya lemas tak berdaya, mulutnya kering, dan ia memohon diberi air tetapi tidak diberi.
“Saya ditanya orang yang menjual Tramadol kepada saya dulu. Dia (baca:polisi) ingin bos. Dia minta tahu rumah penjual. Saya tidak tahu, saya tidak pernah dibawa ke sana. Tapi tetap saja saya disetrum-setrum.”
Rozik menceritakan bahwa ia dalam keadaan tangan diborgol sambil memohon ampun kepada polisi. Namun, alat setrum tetap diputar berkali-kali. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, Rozik terus dimaki-maki, sementara kepalanya bergetar akibat sengatan listrik.
Polisi sempat menelanjangi Rozik dan mengancam akan menyetrum bagian vital di bawah tubuhnya jika ia tetap tidak memberikan informasi yang berarti.
“Kalau tidak ngaku, ditaruh di bawah. Udah ditaruh di bawah, tapi tidak sempat disetrum,” imbuh Rozik.
Selama lebih dari satu jam, Rozik terus dihujani pertanyaan yang sama tentang informasi mengenai pemasok obat. Rozik tetap mengaku tidak tahu, maka ia kembali disetrum. Rozik tidak lagi bisa menghitung berapa kali kepalanya dialiri tegangan listrik tinggi. Berapa kali pun dia disiksa, tetap saja ia tidak bisa memberikan informasi yang diinginkan polisi.
Polisi yang menyiksa juga sempat menyelipkan pertanyaan soal pembeli yang memiliki banyak uang. Awalnya Rozik tidak mengerti maksudnya. “Saya (baca: polisi) tidak munafik lah. Saya juga mau duit. Ada tidak orang yang berduit beli, mau ditangkap juga,” ujar Rozik menirukan ucapan polisi.
Menurut Rozik, mereka yang membeli Tramadol adalah orang-orang susah. Rozik selanjutnya dijebloskan ke sel tahanan. Di sana, ia bertemu dengan delapan orang di ruangan tahanan. Mereka semua berada di sana karena urusan narkoba dan obat-obatan terlarang. Rozik hanya menginap satu malam di tahanan karena ada yang mengurus pembebasannya.
Rozik mulanya tidak terlalu tahu bagaimana bisa ada yang membayar tebusannya. Keluarganya tidak tinggal di daerah Jakarta. Namun, ia tahu dirinya tidak sendirian. Ia ditangkap bersama satu orang kawannya. Belakangan ia mengetahui, mereka berdua dimintai uang tebusan sebesar Rp80 juta (masing-masing Rp40 juta). Ia menduga uang tersebut untuk polisi yang permintaannya disampaikan melalui orang yang mengurus pembebasannya.
Rozik juga menuturkan tidak terlalu mengenal kawan yang membayarkan tebusannya. Oleh karena itu, proses pembayaran utangnya dicatat dengan kuitansi dan disaksikan oleh pihak ketiga. Ia mengaku sudah membayar sebesar Rp10 juta ke kawannya dan sisanya belum tahu.
“Ya harus membayar utang orang. Karena kawan sebenarnya pinjam juga ke orang lain. Saya bilang, kasih saya waktu dulu. Lagi jual usaha saya. Mereka mendengar,” ujarnya.
Rozik mengaku tidak terima atas tindakan aparat penegak hukum terhadapnya. Pengalaman buruk berhadapan dengan polisi meninggalkan trauma. Momen penyiksaan dan kekerasan masih terbayang jelas di benaknya. Bahkan setelah kejadian itu, ia masih sering merasa gejala demam, lemas, dan kekurangan darah.
Bukan pertama kali, Rozik berhadapan dengan terduga polisi dan dimintai uang tebusan. Sebelumnya, saudara Rozik sempat ditangkap di wilayah Jabodetabek karena kasus obat ilegal. Saudara Rozik diminta untuk membayar Rp50 juta kepada seseorang yang mengaku dari Mabes Polri dengan janji akan dibebaskan. Dengan terpaksa keluarga Rozik membayar senilai uang tersebut kepada pihak yang mengaku dari Mabes Polri tersebut. Namun, proses hukum adiknya terus berlanjut hingga divonis sekira dua tahun. Sementara uang yang sudah terlanjur diberikan hanya dikembalikan Rp25 juta. Saudaranya kini masih mendekam di penjara dan sudah menjalani hukuman sekitar satu tahun.

Korban-korban Lain
Hal serupa dialami oleh Nusa (bukan nama sebenarnya) dan kawannya. Mereka ditangkap polisi di Jakarta dengan barang bukti sejumlah linting ganja pada dini hari Agustus 2024. Polisi mencecar mereka dengan sejumlah pertanyaan mulai dari pemilik ganja hingga tempat pembelian. Kawan Nusa lalu menjelaskan ganja tersebut dibeli melalui media sosial.
Mereka kemudian dibawa ke Polres di Jakarta. Sampai di Polres, penyidik menanyakan sejumlah pertanyaan yang tidak jauh berbeda saat penangkapan. Termasuk menimbang barang bukti ganja yang di bawah lima gram.
“Setelah itu, saya dibawa ke sel sementara. Saat itu sudah dini hari, saat saya masuk ramai sekali ada sekitar 15 orang. Saya salami satu per satu. Mereka rata-rata kasus ganja, ada juga yang sinte (tembakau sintesis),” ujar Nusa kepada Koreksi di Jakarta pada 21 November 2024.
Nusa mengingat sel sementara tersebut cukup sempit untuk belasan orang. Karena itu, mereka hanya bisa tidur dengan posisi duduk.
Sore hari, Nusa baru bisa keluar dari sel tahanan untuk penulisan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ia diminta menghubungi orang tua. Sempat ragu, Nusa memohon supaya orang tua tidak terlibat dalam urusan ini. Akhirnya Nusa terpikir untuk menghubungi saudaranya. Sialnya belum diangkat pada saat itu.
Setelahnya, Nusa diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada beberapa berkas. Polisi menyuruhnya untuk cepat-cepat menandatangani tanpa perlu membaca dokumen tersebut. Ia hanya sempat sekilas membaca BAP, surat barang bukti, dan surat tanda tangan kuasa untuk pengacara.
Malamnya, saudara Nusa datang menemuinya di ruang penyidik. Penyidik menyuruh Nusa untuk berbincang dengan saudaranya terlebih dulu. Tidak lama kemudian, saudaranya dipanggil penyidik ke sisi lain ruangan. Muncul satu orang lagi, yaitu pengacara. Samar-samar, Nusa mendengar penyidik menjelaskan kronologi ancaman pidana kepada saudaranya dan menyuruh mereka berdiskusi dengan pengacara tersebut.
Penyidik lain menyuruh Nusa masuk kembali ke tahanan, sehingga ia tidak tahu persis pembicaraan antara saudaranya dengan pengacara tersebut. Esok harinya, sekitar pukul tiga sore, Nusa kembali dipanggil, kali ini untuk proses asesmen oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dilakukan melalui telepon video milik penyidik. Nusa diberondong pertanyaan seputar penggunaan ganja, konsumsi alkohol, intensitas pemakaian, dan alasan menggunakan ganja.
Setelah urusan dengan BNN selesai, penyidik menyuruhnya berkemas. “Cepat, jangan lama, tidak usah ngobrol dengan yang lain,” ucap penyidik kepada Nusa.
Setelah dibebaskan, Nusa baru mengetahui jumlah uang yang dikeluarkan saudaranya untuk keluar dari penjara. Permintaan bermula pada malam hari setelah penangkapan, saat saudaranya pertama kali bertemu pengacara di Polres. Menurutnya, pengacara tersebut awalnya meminta uang Rp90 juta untuk satu orang, lalu menjadi Rp90 juta untuk tiga orang. Akhirnya, kesepakatan jatuh pada angka Rp30 juta untuk tiga orang.

Dugaan Jebakan Polisi
Koreksi.org menemukan pola pemerasan serupa terhadap warga yang terkait kasus narkoba yang diduga dilakukan polisi. Umumnya, transaksi dilakukan secara tunai. Hal ini seperti yang diakui oleh Rizal dan Armin (bukan nama sebenarnya).
Dalam kasus Armin, pembelian narkoba dilakukan melalui media sosial pada kuartal tiga 2024. Ia dipandu seseorang melalui titik koordinat lokasi untuk mendapatkan narkoba. Tapi ketika sampai di lokasi, ia hanya bertemu dengan aparat kepolisian.
Menurut Armin, ia langsung dibawa ke kantor polisi. Awalnya ia dicecar beberapa pertanyaan mengenai penggunaan narkoba, asal muasal narkoba, dan orang lain yang menggunakan narkoba. Sesi interogasi itu dilalui Armin dengan menerima kekerasan fisik dari anggota kepolisian.
Ia kemudian dijebloskan ke sel tahanan sempit sekira 2 x 2 meter menjelang Subuh bersama puluhan orang lainnya. Pada hari ketiga, ibunya datang ke kantor polisi. Tapi ia tidak langsung dibebaskan. Baru pada hari ketujuh, Armin dibebaskan.
Belakangan, Armin mengetahui bahwa orang tuanya harus merogoh kocek sebesar Rp10 juta untuk membebaskan dirinya atas permintaan dari orang yang diduga anggota polisi. Itupun setelah bernegosiasi dari orang yang diduga anggota polisi dari Rp50 juta, karena tidak mampu turun menjadi Rp30 juta, hingga akhirnya Rp10 juta.
Bagi keluarga Armin, Rp10 juta bukan nominal yang kecill. Keluarganya harus menjual motor dengan harga Rp8 juta untuk membantu pembebasan. Selama proses ini, orang tua Armin terus dihubungi. “Saya tahunya, polisi menghubungi keluarga terus menerus,” ucap dia.
Rizal juga menuturkan mengalami pemerasan yang diduga dilakukan polisi terkait kasus narkoba pada 2022. Keluarganya harus mengeluarkan uang sejumlah Rp25 juta untuk membebaskan Rizal.
“Pada saat itu, istri saya yang langsung berhadapan. Mereka mengeluarkan nominal,” ucap Rizal kepada Koreksi pada 31 Oktober 2024.
Rizal merasa dirinya seperti ditarget menjadi sasaran pemerasan oleh polisi. Sebab, pemerasan oleh terduga polisi juga dialaminya pada tahun-tahun sebelum 2022. Hal tersebut membuat Rizal trauma ketika harus berurusan dengan polisi.
Berbeda dengan Anna (bukan nama sebenarnya) yang lepas dari kurungan polisi karena kasus narkotika tanpa membayar sepeser pun. Kala itu, ia dan anaknya yang masih balita (2 tahun lebih sedikit), serta temannya ditangkap pada suatu malam pada April 2020. Mereka lalu dibawa ke kantor polisi dengan mobil bersama dua polisi. Dalam perjalanan, Anna dan temannya ditawari polisi sebuah pilihan ‘dibantu’ atau ‘tukar kepala’. Arti dibantu yaitu pengguna narkotika dimintai oleh terduga polisi dengan sejumlah uang agar dibebaskan. Sedangkan tukar kepala adalah pengguna narkotika dimintai informasi pengguna narkotika lain.
“Dari mulai meminta sejumlah uang sampai dengan istilah mau ‘tukar kepala’ atau tidak dengan beberapa orang lain. Mereka minta bukan dari kalangan umum, tapi dari kalangan artis,” jelas Anna kepada Koreksi pada 31 Oktober 2024.
Adapun besaran uang yang diminta terduga polisi dengan alasan sejumlah barang bukti saat penangkapan yaitu sebesar Rp1 miliar atau masing-masing Rp500 juta untuk Anna dan temannya. Namun, Anna mengaku tidak memiliki uang dengan jumlah besar tersebut. Sedangkan informasi artis yang diminta harus spesifik mulai dari nama artis, jenis narkotika yang digunakan, alamat tempat tinggal, dan kapan terakhir menggunakan narkotika. Jika terbukti dalam pengungkapan, maka mereka berdua dijanjikan akan dibebaskan oleh polisi.
Tapi karena tidak bisa dipenuhi, Anna, anaknya, dan temannya dibawa ke Polda Metro Jaya. Usai menjalani tes urine, ia bersama anaknya dan juga temannya ditempatkan di ruangan terbuka dekat musala/tempat salat (bukan di sel) selama delapan hari. Saat ditangkap, Anna tidak diberi kesempatan membawa susu dan popok anaknya, sedangkan akses komunikasi ke pihak keluarga tidak diberikan selama beberapa hari.
“Aku beberapa kali minta diberikan akses komunikasi, supaya keluargaku bisa menjemput anakku,” tambahnya.
Kondisi ini membuat Anna frustrasi. Pada hari pertama, ia berteriak-teriak agar anaknya diberi susu dan popok, meskipun orang menganggapnya gila. Itupun kata dia, uang yang digunakan untuk membeli makanan, susu bayi dan popok dari kantong pribadi, bukan dari polisi. Kata dia, orang suruhan polisi meminta ATM milik temannya dan mengambil uang sekitar Rp4 juta untuk kebutuhan selama penahanan tersebut.
Polisi juga tidak menyerah untuk membujuk Anna dan temannya agar mau memberikan informasi tentang artis yang memakai narkotika. Bahkan, mereka berdua diiming-imingi gaji bulanan dan mendapatkan bonus (persentase) dari kasus yang nantinya akan diungkap.
Baru kemudian, pada hari kelima penahanan, ia diberikan izin menghubungi keluarga. Ia kemudian menjelaskan kepada ibunya bahwa dirinya ditangkap polisi dan meminta tolong anaknya dijemput. Ia juga berpesan kepada ibunya agar tidak memberikan uang sepeser pun kepada polisi.

Pada hari keenam, teman Anna sudah dibebaskan dan keluarganya tidak memperbolehkan teman Anna pulang ke rumah keluarga, melainkan dikirim ke panti rehabilitasi medik di salah satu rumah sakit. Teman Anna bercerita bahwa keluarganya telah memberikan sejumlah uang yang diduga diminta orang dari pihak polisi. Namun, Anna tidak mengetahui besaran uang yang diberikan. Teman Anna sempat diintimidasi oleh polisi agar membantu membebaskan Anna, dengan besaran uang sejumlah Rp10 juta. Namun, temannya dan orang suruhan polisi tidak bisa menarik uang di ATM pada hari itu. Akibatnya Anna urung dibebaskan pada hari keenam.
Akhirnya pada hari kedelapan, ibu Anna datang ke Polda Metro Jaya, yang dalam pikiran Anna akan menjemput anaknya. Anna sempat dipanggil kembali orang yang diduga polisi dan membujuknya agar mau memberikan informasi pengguna narkotika yang lain.
“Ternyata aku masih dinego lagi ada tidak, mau tidak kerja menjadi cepu/mata-mata Polda). Salah satu upaya terakhir mereka terduga polisi yang ucapnya untuk membantu aku. Aku bilang, tidak bisa karena aku tidak punya musuh. Kalau saya harus lanjut, lanjut saja pak.”
Setelah itu, polisi masuk ke ruangannya dan tak lama keluar lagi dengan membawa berkas pencabutan perkara berwarna kuning. Anna akhirnya bebas, bersama anak balita-nya tanpa mengeluarkan uang sepeser pun setelah delapan hari ditahan polisi.
Kendati demikian, penahananan tersebut bukan yang pertama dialami Anna. Sebelumnya, Anna beberapa kali ditangkap dan terpaksa harus membayar uang yang bervariasi mulai dari Rp6 juta, Rp15 juta, hingga Rp25 juta.
Ia mengaku trauma karena kerap mengalami kekerasan verbal dalam kasus-kasus tersebut. Mulai dari pelecehan verbal, ancaman akan diperkosa, hingga hinaan karena dianggap perempuan/ibu yang tidak baik karena kedapatan membawa anak saat dilakukan penahanan.
Anna mengatakan masih dalam tahap pemulihan dari trauma, akibat dari kasus-kasus tersebut. Namun, yang tidak bisa ia bayangkan adalah trauma yang dialami anak balitanya dan keluarganya. Menurutnya, keluarganya terpaksa menjual rumah, yang salah satunya untuk melunasi hutang akibat pemerasan yang dilakukan oleh terduga polisi yang terkait kasus narkotika ini.
Koreksi telah berupaya menghubungi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi dan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Sandi Nugraha. Namun belum ada tanggapan dari Polri terkait dugaan pemerasan yang dilakukan polisi dalam kasus narkoba, hingga berita ini diturunkan.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Gufron Mabruri sempat merespons isu ini. Menurutnya, isu ini berkaitan dengan profesionalisme, akuntabilitas, dan masalah pelayanan publik kepolisian.
“Sebagai sebuah isu persoalan tetap perlu direspons secara publik untuk memastikan persoalan ini butuh penanganan serius,” ucap Gufron kepada Koreksi di Jakarta, pada Senin (09/12/2024).
Gufron juga menyebut bahwa indikasi tindak pemerasan dapat disampaikan ke Kompolnas agar dapat ditindaklanjuti.
“Sehingga clear kira-kira siapa yang melakukan, levelnya di mana, dan bukti pendukung yang bisa kita tindak lanjuti dugaan tadi.”
Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Koreksi.org pada 23 Desember 2024.