Sampah Menumpuk, Kala Industri Tambang Masif Mengeruk Nikel

Oleh:  Siti Annisa Ode Minggu

INDEPENDEN- Ririn terlihat biasa saja saat melemparkan sebuah kantong plastik berukuran sedang di rawa samping kiri indekos tempat ia menginap di Desa Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Perempuan berusia 24 tahun itu paham, rawa bukanlah tampungan sampah, namun ia tak punya pilihan lain.

“Cuma itu yang dekat (rawa). Tempat pembuangan sementara talalu jao (terlalu jauh)," kata Ririn seorang pekerja tambang.

Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang Ririn maksud itu berada di ujung kampung. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari tempat ia menginap. Dalam seminggu, ia bisa membuang sampah empat sampai lima kali di rawa itu. Masalahnya, indekos tidak menyediakan tempat sampah.

“Jadi mau bagaimana lagi. Di sekitar sini tarada tempat sampah yang layak," ungkapnya. 

Rawa kecil yang dijadikan tampungan sampah itu dikelilingi anak pohon sagu. Genangan airnya ditutupi lumut, bekas kayu, tumpukan sampah plastik, sisa makanan, hingga tisu dan popok bekas. Tak hanya Ririn teman-teman di kos-nya juga ikut menjadikan rawa kecil itu sebagai tampungan bekas-bekas sampah sekali pakai.

Sebagian sampah
Sampah yang berserakan di depan rumah kos warga. (Foto: Sitti Anisa Ode Minggu)

Sebagian besar kos-kosan di Desa Lelilef Sawai dan Lelilef Woebulen memang di bangun di atas tanah rawa. Bila musim hujan, badan jalan utama hingga menuju kos becek, kalau musim panas berdebu tebal. Kalau tak hati-hati kendarai motor saat hujan, bisa terpeleset.

Sudah enam bulan Ririn bekerja di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), perusahaan tambang dan pengolahan bijih nikel di Halmahera Tengah. Selama itu pula, ia sudah terbiasa melihat teman-teman dan tetangga kosan lain membuang sampah sembarangan.

PT IWIP membangun kawasan industri di Halmahera Tengah sejak 30 Agustus 2018 lalu.  Kawasan ini dibangun dari patungan tiga investor, diantaranya, Tsingshan, Huayou, dan Zenshi. Ada tiga tenan (perusahaan afiliasi), terdiri dari PT.Weda Bay Nickel (WBN) perusahaan asal Perancis, dengan dua perusahaan asal China, yaitu PT.Yashi Indonesia Investment dan PT.Youshan Nickel Indonesia.

Presiden Joko Widodo kemudian menetapkan kawasan industri yang mengolah nikel dari hulu ke hilir ini sebagai proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Industri nikel ini juga ditetapkan masuk proyek prioritas nasional berdasarkan Perpres Nomor 18 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Juga berstatus sebagai objek vital nasional berdasarkan Keppres Nomor 63 Tahun 2004.

Penetapan proyek strategis nasional ini untuk mendukung pemerintah menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Nikel adalah komponen utama dalam baterai EV yang sedang diproduksi PT.IWIP.

Sebagian besar area kawasan industri PT.IWIP telah mengepung hampir seluruh wilayah pesisir Desa Lelilef Sawai dan Sawai di Weda Tengah dan dampaknya meluas hingga di kampung-kampung setempat seperti Gemaf dan Sagea di Weda Utara.

Lingkungan Makin Kotor

TPS di ujung Desa Lelilef Sawai. Foto: Sitti Anisa Ode Minggu
TPS yang berada di ujung Desa Lelilef Sawai. (Foto: Sitti Anisa Ode Minggu)

Raut wajah Marsyiah tampak kesal. Setiap hari dia mesti membersihkan sampah di pekarangan rumah. Sejak industri pengolahan nikel ini beroperasi, lingkungan di kampungnya makin kotor. Mulai dari debu aktivitas pertambangan, lalu-lalang alat berat dan hilir-mudik para pekerja di jalanan, hingga sampah yang berserakan dimana-mana.

“Sebelum ada perusahaan, sampah tong (kami) kumpul baru bakar (sampah), setelah ada perusahaan tong bakar me su tra poha-poha (sudah tidak sanggup)," katanya.

Marsyiah adalah warga asli Lelilef Woebulen. Dia telah berusia 50 tahun. Kulitnya sudah keriput. Perempuan empat anak ini menyaksikan langsung bagaimana kehadiran industri tambang nikel mengubah wajah wilayah adat leluhur dan melenyapkan sumber-sumber kehidupan warga setempat.

Dia cerita, di belakang pemukiman yang dahulu dipenuhi pepohonan dan udara sejuk kini berubah drastis. Tidak lagi terlihat perkebunan dan pohon-pohon rindang. Bukit-bukit tampak gundul. Alat-alat berat lalu-lalang mengeruk dan menggali tanah merah. Menerobos hutan dan sungai-sungai di kawasan hutan, hingga menyebabkan beberapa sumber air rusak.

Tong pe anak-anak nanti hanya akan dengar dia pe carita," kenang Marsyiah.

Kadang, Marsiyah keluar berkeliling di pemukiman, mengenang tempat-tempat dahulu mereka mengambil air, mandi, dan mencuci pakaian. Kini sumber-sumber penting kehidupan orang Lelilef itu telah rusak.

Sungai Ake Doma, misalnya, yang berada di tengah-tengah pemukiman kondisinya tak pernah lagi jernih seperti dahulu saat Marsyiah remaja belasan tahun lalu.Limpasan ore nikel telah menutupi sebagian besar badan sungai hingga mengalirkan ke laut.

Beberapa sungai penting lain seperti Ake Wosia, Ake Sake, hingga Kobe dan Sagea juga mengalami perubahan signifikan. Sebagian besar hulu sungai berada dalam kawasan industri nikel. Laporan investigasi Jaring.id menemukan sejumlah sumber air warga ini telah terkontaminasi kandungan beracun berupa tembaga (Cu), nikel (Ni) pada sungai.

Selain tercemar bahan beracun, beberapa sungai besar ini juga sering sekali banjir jika hujan deras. Pada September lalu, banjir bandang terjang kawasan industri hingga salah satu pekerja disebutkan meninggal dunia. Rumah Marsiah juga kena imbas berulang dari banjir bandang. Padahal, jauh sebelum perusahaan mengeruk nikel di belakang pemukiman dan daerah-daerah setempat, tidak pernah terjadi banjir besar.

“Kalo ujang tu tong di sini tenggelam samua. Itu hari sebelum perusahaan tarada di sini biar ujang basar lagi tra apa-apa. Sekarang kalo ujang, lemari-lemari tatono  (terendam)," ujar Marsyiah.

Mengenai lingkungan makin kotor, lingkungan rumah Marsyiah pun bertebaran sampah yang tidak lagi diketahui dari mana sumbernya. Sekeliling rumahnya terdapat genangan air limpasan rawa-rawa kecil yang ditimbun lalu dibangun tempat penginapan dan indekos.

Sampah berserakan di rawa Desa Lelilef Woebulan.Foto: Sitti Anisa Ode Minggu
Sampah berserakan di rawa Desa Lelilef Woebulan. (Foto: Sitti Anisa Ode Minggu)

Dia menduga, sampah yang berserakan dimana-dimana karena ada banyak pendatang dari luar yang bekerja di perusahaan maupun para pedagang yang berjualan di pemukiman. Perempuan paruh baya itu tak lagi mengenali siapapun yang datangi kampungnya.

Riset Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) berjudul “Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel” menyebutkan kehadiran perusahaan memang telah membuka peluang ekonomi baru, tidak hanya bagi penduduk setempat, tapi juga pendatang dari pulau-pulau lain di Indonesia, seperti Sulawesi dan Jawa, bahkan dari Tiongkok.

Tim AEER menyatakan sebagian penduduk setempat dan pendatang bekerja di PT. IWIP, membuka indekos, atau menjalankan usaha pertokoan di sekitar kawasan industri. Namun, perubahan demografi tersebut melahirkan permasalahan lingkungan, seperti tumpukan sampah, jalanan berdebu, dan air tanah keruh.

Perubahan lingkungan ini disebut turut berdampak pada kualitas air dan sanitasi di desa-desa sekitar perusahaan tambang. Kondisi itu diperburuk dengan peningkatan sampah plastik di sekitar pemukiman yang tidak terkelola dengan baik.

Sampah domestik seperti plastik masih meningkat di pemukiman Desa Lelilef Sawai dan Lelilef Woebulen. Kajian AEER menemukan sekitar pemukiman, pinggir-pinggir jalan, hingga di aliran sungai dapat selalu ditemukan tumpukan sampah.

Mulai dari kantong plastik, botol bekas, hingga kemasan makanan menjadi pemandangan yang selalu dijumpai di dua desa ini. Meningkatnya jumlah penduduk, disebut, berkontribusi pada peningkatan sampah plastik di pemukiman warga.

Dari hasil wawancara menyatakan warga sudah menghubungi pihak perusahaan agar mengangkut dan mengelola sampah di area perusahaan karena tidak ada tempat pembuangan akhir (TPA) untuk menampung limbah domestik.

Studi itu menilai permasalahan sampah domestik terutama plastik yang berhamburan di pemukiman merupakan dampak tidak langsung dari keberadaan atau aktivitas perusahaan tambang di desa-desa terdampak.

Marsyiah hanyalah sekelompok kecil dari warga yang resah. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Kondisi pemukiman yang berubah total membuat Marsyiah mau tak mau mesti bertahan.

Mo bagaimana lagi. Sekarang tinggal torang batahang saja," ucapnya lirih

Tak Serius Tangani Sampah

TPS Desa Lelilef Woebulan. Foto: Sitti Anisa Ode Minggu
TPS Desa Lelilef Woebulan. (Foto: Sitti Anisa Ode Minggu)

 

Ada dua TPS yang tersedia di desa lingkar tambang. TPS pertama terdapat dua kontainer sampah yang berada di ujung Desa Lelilef Woebulen, tepat di bahu jalan dekat tambang PT. Tekindo Energi. Dua kontainer ini tampak saban hari selalu penuh.

TPS kedua berada di ujung Desa Lelilef Sawai. Ada satu kontainer yang letaknya hanya sekira sepuluh langkah kaki dari indekos setempat. Namun, tampak sampah penuhi kontainer hingga bertebaran di sekitarnya.

Bau busuk menyengat saat melintas di area-area itu. Kontainer-kontainer sampah yang disebut TPS terlihat tidak cukup menampung ratusan kantong plastik. Gundukan sampah itu dikelilingi lalat yang tak terhitung. Bau busuknya menyengat tajam.

Rivani Abdurrajak, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah mengatakan dua titik TPS itu menjadi sarana orang buang sampah dan selanjutnya setiap minggu pihaknya mengangkut ke tempat penampungan akhir (TPA) yang terletak di Fidi Jaya, Kecamatan Weda menggunakan dump truck (DT).

“Jadi masyarakat buang ke TPS dan torang angkut ke TPA di Vidi Jaya. Kalau kapasitasnya melebihi setiap pengangkutan itu kami dibantu oleh IWIP maupun oleh Tekindo," sambung Rivani.

Di tingkat desa sendiri, kata Faisal Mohammad Jamil, Kepala Desa Lelilef Woebulen, mereka telah menyediakan kendaraan angkut sampah untuk menangani sampah setiap hari di pemukiman. Mereka menerapkan iuran Rp30.000 tiap rumah saban bulan.

Faisal mengatakan pihaknya telah meminta warga yang bermukim agar sampah dikantongi dan letakkan di emperan jalan biar kendaraan angkut yang tangani. Namun, arahan itu dia sebut tak digubris.

“Selama masyarakat di situ belum sadar tentang sampah, pihak desa mau angkat tiap minggu pun pasti sama saja,” kata Faisal melalui pesan singkat.

Jika merujuk pada beberapa laporan, menyatakan pasca masuknya PT. IWIP penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare meningkat. Laporan AEER menduga penyakit itu meningkat dari dampak perubahan kualitas lingkungan. Penyakit ISPA disebabkan penurunan kualitas udara dan diare disebabkan penurunan kualitas air dan sanitasi.

Bachsyuan Zami Hasan, Kepala Puskesmas Lelilef, Weda Tengah, membenarkan meningkatnya penyakit ISPA di sana disebabkan sampah dan debu. Pihaknya, kata dia selalu melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar areal tambang.

“Pastinya kita selalu memberikan edukasi pentingnya memakai masker, ketika batuk menutup mulut," kata Bachsyuan Zami Hasan saat dihubungi via whatsapp.

Dia bilang ada lima program prioritas pemerintah daerah, salah satu yang difokuskan terkait isu lingkungan dan kesehatan.

Mubaligh Tomagola, Manager Advokasi Tambang  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara mengatakan pengelolaan sampah di wilayah lingkar tambang tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur pengelolaan sampah.

Menurutnya, meski sudah ada sosialisasi terkait dengan penanganan sampah, namun pengawasan dan ketersediaan infrastruktur menangani masalah ini masih sangat lemah. Padahal, kata Mubaligh, penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah akan mempermudah masyarakat berpartisipasi mencegahnya.

“Jangan heran jika masyarakat masih memilih membuang sampah di sungai dan badan-badan  jalan. Soal sampah ini tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat tapi juga menambah laju populasi tikus di desa lingkar tambang, sekarang warga hilang akal untuk membasmi tikus," terang Mubaligh.

Masri Anwar, pegiat lingkungan Maluku Utara, melihat kehadiran korporasi tambang nikel di Halmahera Tengah membawa dampak yang  besar terutama terhadap masyarakat yang mendiami wilayah kawasan industri, baik dari segi ekonomi, sosial dan dampak ekologi.

Setiap hari, katanya, masyarakat setempat harus menanggung risiko dampak buruk akibat aktivitas pertambangaan, salah satunya pertambahan penduduk dan meningkatnya sampah di permukiman.

Bagi Masri, yang dilakukan pemerintah daerah seperti pemungutan sampah itu bukan solusi. Dia menilai, yang dilakukan pemerintah sekadar menjalankan program-program, bukan kesadaran atas lingkungan yang bersih sehingga masalah tumpukan sampah saja tidak bisa diatasi.

“Jadi kalau pemda tetap memiliki strategi yang lama, yang klasik ini, dan mereka tidak merubah perspektif mereka atau kebijakan mereka terkait [penanganan] sampah, maka di daerah-daerah lingkar tambang, khususnya Halmahera Tengah, daerah-daerah itu akan menjadi contoh daerah yang paling kotor di Maluku Utara," katanya dengan kesal.

Pemerintah katanya mesti juga tegas terutama mendesak perusahaan agar terlibat aktif memastikan sampah tidak lagi berserakan dan ditangani dahulu hulu hilir. Dari tempat penampungan sementara ke tempat pembuangan akhir hingga di daur ulang.

“Karena sampah-sampah yang dihasilkan warga, juga akibat dari aktivitas perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kawasan tambang nikel," tandas Masri.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kalesang, 24 Februari 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

kali dilihat