Terusir dari Kampung Sendiri: Nasib Warga Pemaluan di IKN

Oleh : Fitriwahyuningsih

Independen-  IKN digambarkan sebagai "Kota Hutan Berkelanjutan”, perpaduan modernitas dan kecerdasan. Katanya, bakal ada mobil terbang. Ada juga taksi terbang tanpa awak.  Sebuah gambaran kota masa depan, yang belum dimiliki negara mana pun saat ini. 

Namun di balik beragam klaim tersebut, ada cerita lain soal bagaimana kota itu dibangun. IKN bukanlah ruang hampa tak berpenghuni. Ada ribuan warga yang sudah mendiami kawasan tersebut. Jauh sebelum pemerintah menetapkan wilayah itu sebagai ibu kota negara baru. Jauh sebelum nama IKN digagas Presiden Joko Widodo pada 2022.

Ini adalah kisah warga Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), yang hidup dalam ketakutan bakal terusir dari tanahnya, kampung halamannya sendiri. Warga yang berharap suara mereka didengar dan keberadaan mereka dianggap penting oleh negara. 

Medio September 2023, kala itu malam hari, Elisnawati (37) dikagetkan oleh sebuah pesan instan yang dikirim istri Ketua RT 04 Pemaluan, Iche Trinawati dalam grup WhatsApp. Saat itu, Ice mengirim sebuah dokumen berbentuk excel dengan 2.318 daftar nama warga di dalamnya. 

Usai mengirim pesan, dalam Grup Warga RT 04 itu Iche menyampaikan agar nama-nama yang ada di daftar untuk menghadiri sosialisasi lanjutan terkait pengurusan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) untuk sertifikat tanah. 

Daftar nama di dokumen itu rupanya mereka yang pernah mengajukan diri pengurusan PTSL secara serentak pada 2021 lalu. Kelanjutan PTSL itu baru dilakukan pemerintah pada September 2023. 

Elis– sapaan akrabnya– menyisir setiap nama di dokumen. Mencari namanya sendiri sebab dia merupakan satu dari ribuan warga yang ikut mendaftar program PTSL 2021. Meski sudah berusaha keras mencari, namun namanya tetap tak ada. Bukan namanya saja hilang dari daftar itu, pun sejumlah kenalan lain yang juga bermukim di Pemaluan. 

Ibu empat anak ini heran, mengapa nama sejumlah warga– termasuk dirinya– tak ada di daftar. Keheranannya makin menjadi lantaran nama warga juga seperti “dikodifikasi"”  dalam tiga jenis putih, hijau, dan merah. Jadi, di daftar nama itu, nama-nama warga dibedakan berdasarkan warna-warna yang tidak dipahami apa maksudnya. 

"Saya bertanya ke RT, kok nama saya tidak ada. Tapi RT tidak kasih jawaban," kata Elis ketika mengingat kembali isi percakapan di grup WhatsApp itu. 

Tak lama usai pengumuman "sosialisasi" dan dikirimnya daftar nama itu, grup seketika ramai. Warga menuntut penjelasan soal daftar nama dan apa perbedaan dari pewarnaan itu. Namun mereka tak mendapat jawaban dari RT. Keributan ini makin menjadi ketika Iche juga mengatakan bahwa kawasan rumah mereka, termasuk di RT 04 dan RT 06 sudah masuk delineasi IKN. Namun lagi-lagi, tak ada penjelasan soal apa itu kawasan delineasi. 

“Apa itu kawasan delineasi IKN?”

“Sejak kapan ditetapkan?”

“Mengapa warga tidak dilibatkan?”

“Rumah kami mau dijadikan apa?”

Beragam pertanyaan seketika berkelebat di kepala Elis ketika kali pertama mendengar delineasi.

Warga terus menuntut penjelasan. Namun Iche tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab ia berdalih bukan kapasitasnya menjawab itu. Dia meminta warga yang ingin tahu kelanjutan PTSL dan kawasan delineasi untuk datang dan bertanya sendiri ke Kelurahan Pemaluan. 

"Kami kan bingung, kok tidak disosialisasikan, kok warga dikasih tahu belakangan (setelah penetapan,red). Karena khawatir, akhirnya kami  (sebagian besar ibu-ibu, red) ke kelurahan untuk minta penjelasan," kata Elisnawati ketika disambangi Kaltimtoday.co di rumahnya di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), awal Februari 2024. 

Keesokan harinya, warga yang didominasi ibu-ibu menggeruduk Kantor Kelurahan Pemaluan. Di sana warga diterima Lurah Pemaluan, Ari Rahayu Purwati dan sejumlah stafnya. 

Sama seperti Ice, pihak kelurahan pun enggan menjelaskan soal kawasan delineasi. Lagi-lagi dengan alasan bukan kewenangan mereka, tapi Otorita. 

Namun jawaban "bukan kewenangan" itu tak bisa diterima. Warga terus mendesak untuk diberikan pencerahan. Walhasil, kelurahan meminta warga bersabar, sembari menunggu kehadiran staf Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN) PPU. 

Sejumlah staf ATR-BPN tiba di kelurahan sore harinya. Tanpa ba-bi-bu, warga yang telah menunggu sejak pagi segera memberondong mereka dengan berbagai pertanyaan soal delineasi. 

Seorang staf BPN-ATR, menurut penuturan Elis, berusaha “menenangkan" warga.  Dia bilang, kendati rumah atau lahan warga masuk delineasi, itu bukan berarti akan terjadi penggusuran. Dia minta warga tak perlu panik atau khawatir berlebihan.  Juga meminta warga "berdoa saja" agar ketakutan soal penggusuran tak terbukti.  “Gak bakal hilang, gak akan tergusur,” kata salah satu staf ATR kepada warga, menurut penuturan Elis.

Jawaban itu tak membuat warga puas. Nyatanya, kala itu ATR-BPN juga tak mampu menjelaskan lebih detail soal delineasi. Padahal pertanyaan yang diajukan warga sangat mendasar.

Misalnya, kapan kawasan delineasi itu ditetapkan, siapa yang menetapkan, apa itu kawasan delineasi, apa yang ingin dilakukan di kawasan itu, mengapa ada warga yang tak bisa mengurus legalitasnya di lahan itu, dan apakah warga setempat bakal digusur. 

Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. ATR-BPN beralibi, mereka tak punya kapasitas menjawab. Hanya Otorita IKN. Jawaban ini senada mulai RT, lurah, dan terakhir, mereka. 

"Kami minta penjelasan, tapi tidak dapat. Lagi-lagi katanya itu wewenang Otorita (IKN). Ini seandainya kami tidak mendesak datang dan bertanya sendiri di kelurahan, mungkin sampai sekarang (September 2023,red) tidak tahu kalau rumah kami masuk kawasan delineasi," terang Elis, dia menambahkan "Kok bisa ditetapkan tapi kami tidak diberitahu. Kok ujug-ujug sosialisasi ketika kawasannya sudah ditetapkan."

Sebulan usai pertemuan yang kurang memuaskan itu, November 2023 warga kembali diminta datang ke kelurahan untuk menindaklanjuti pertemuan pertama. Informasi ini dibagikan melalui grup WhatsApp RT. 

Elisnawati, warga Pemaluan

Di pertemuan kedua ini, warga yang sebelumnya tak bisa mengurus PTSL akhirnya bisa bernafas lega. ATR-BPN pastikan lahan warga bisa diurus legalitasnya. 

Namun ini tak berlaku bagi semua. Sejumlah warga masih tak bisa mengurus legalitas lahan, kembali, tanpa penjelasan mengapa tak bisa. Dalam bahasa ATR-BPN, lahan mereka sudah penlok pengadaan alias tak bisa mengurus legalitas lahan. 

Untuk diketahui, penlok pengadaan ialah sejumlah wilayah yang telah ditetapkan sebagai lokasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Misalnya untuk jalan tol, bendungan, pengendali banjir, atau kepentingan pembangunan IKN lainnya. 

Sehingga warga yang di-penlok ini rata-rata mereka yang sebelumnya masuk daftar merah dokumen yang dibagikan September 2023 lalu. 

Nama Elis, tetap tak ada. Juga nama sejumlah warga lainnya. Dia terus menuntut kepastian, mengapa tak bisa mengurus PTSL. Elis mengakui bahwa lahan tempat rumahnya berdiri masih masuk dalam sertifikat seorang kerabat tempat dia membeli tanah. Ini bukan terjadi pada dia saja, tapi terhadap 5 keluarga lain yang membeli tanah dari orang yang sama. Dahulu, kata Elis, warga di kampung memang tak terlalu memikirkan perkara legalitas lahan. 

“Kami dulu tidak mikir sampai sana (urus legalitas,red). Kami pikir tidak masalah, apalagi lahan dibeli bukan sama orang lain. Masih ada hubungan kekeluargaan juga,” terangnya.

Warga di Penajam Paser Utara (PPU) umumnya mulai paham pentingnya legalitas lahan ketika hadirnya IKN. Salah satu upaya pemerintah mendorong pengurusan legalitas lahan warga ialah melalui program PTSL 2021. Elis satu dari banyak warga yang ikut program ini. Kala itu berkas permohonannya lengkap dan diproses kelurahan setempat. Lahannya pun sudah sempat diukur. Namun belakangan, setelah 2 tahun tanpa kabar, September 2023 itu pemerintah mengatakan lahannya tak bisa diurus PTSL. 

"Sebelumnya katanya bisa (diurus legalitas,red), sekarang malah tidak bisa. Kalau begini, tidak tahu sudah bagaimana nasib rumah kami," sesalnya. 

Jauh sebelum penetapan IKN, tepatnya pada 2012, dia membeli sepetak lahan seluas 7,5 x 15 meter dari seorang kenalannya. Lahan ini dibeli lantaran Elis ingin mandiri dan memiliki rumah sendiri. Lahan ini, yang kemudian didirikan rumah, berjarak sekitar 19 kilometer dari Titik Nol Nusantara– yang merupakan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP)-- sekitar 19 kilometer.

Di lahan terletak di Jalan Negara itu, dibangun rumah dua lantai seluas 5 x 12 meter. Rumah itu baru ditempati pada 2014 lantaran pembangunan dilakukan secara bertahap. Sejak mulai menempati, Elis dan anak-anaknya merasa nyaman tinggal di rumah itu. 

Rumah itu, kata Elis, kendati tak mewah, namun cukup menyenangkan untuk ditempati. Setiap anak bisa memiliki kamar masing-masing. Ruang tamunya cukup luas buat menyambut tamu, keluarga, atau untuk menopang kegiatan masyarakat adat. Kebetulan Elis juga membina sanggar tari ronggeng khas Suku Paser. 

Posisi rumah yang berada di pinggir jalan juga strategis untuk berbagai kegiatan usaha. Sekitar 2 x 3 meter bagian depan rumahnya dijadikan toko. Di sana, Elis pernah membuka warung makan sederhana, menjual makanan dan jajanan anak. Dan terakhir, membuka toko pakaian. Dari berbagai usaha kecil-kecilan itu, cukup membantu kebutuhan sehari-hari keluarga. "Kalau pun saya mau istirahat  (dari usaha, red) toko kan bisa disewakan," sebut perempuan asli suku Paser ini. 

Penetapan kawasan delineasi yang dinilai sepihak itu sangat mengagetkan warga. Terlebih bagi mereka yang hingga detik ini belum mengantongi legalitas lahan.

Hingga saat ini, pemerintah belum menjelaskan kepada warga setempat, bagaimana rencana pengembangan kawasan delineasi di masa mendatang. Namun, berkaca dari sejumlah kejadian yang terjadi di sekitar proyek IKN, seperti bagaimana proses penetapan dan pengembangan KIPP atau Bandara Very Very Important Person (VVIP), sempat diwarnai penyerobotan dan intimidasi warga, Elis mengaku tidak bisa berpikir tenang melihat nasibnya sendiri di masa depan. Bayangan tanah diambil sepihak, diintimidasi, atau dipaksa angkat kaki dari rumah sendiri, belakangan cukup sering memenuhi pikiran.

Elis bilang, sejatinya dia bukan seorang yang mentah-mentah menolak IKN. Di awal dia cukup antusias menyambut kehadiran ibu kota negara di kampungnya. Dengan harapan, IKN membawa kebaikan, khususnya bagi masyarakat lokal. Melibatkan mereka dalam proses pembangunan IKN. Tidak merampas lahan warga. Tidak mengganggu kebudayaan yang secara turun temurun mereka hidupi. Namun melihat realitas yang belakangan ini terjadi, sepertinya harapan hanya tinggal harapan. 

Bagi ibu empat anak ini, pemerintah tidak bisa seenaknya menetapkan sebuah wilayah kendati alasannya demi mendukung pembangunan IKN. Pemerintah tetap harus melakukan konsultasi dan dialog bersama warga. Pemerintah seharusnya menghormati warga yang sudah lebih dulu hidup di sana, memahami bahwa identitas masyarakat lokal itu melekat dengan kampung atau ruang hidupnya. Bila itu dirampas, bukan cuma warga yang terusir, identitas suku lokal pun bisa ikut hilang.

"Sebenarnya ini bukan persoalan dukung atau tidak dukung (pembangunan IKN, red). Tapi kami berharap masyarakat asli sini tidak diganggu dari keberadaan IKN ini," tegasnya. 

Elis mengaku masih terus memperjuangkan hak atas tanah dan keadilan pada negara. Semua ini dilakukan demi masa depan anak-anaknya. Bila kelak pemerintah meminta warga di kawasan delineasi pindah, ia mengaku tak tahu harus ke mana. 

Tanah dan rumah di Jalan Negara itu satu-satunya aset yang dimiliki. Pun bila diberi kompensasi, ini artinya dia dan keluarga harus beradaptasi ulang di lingkungan baru. Tentu ini bukan perkara mudah, dan tak ada jaminan lingkungan baru itu akan senyaman Pemaluan. 

Namun sebagai warga sipil biasa, Elis mengaku semangatnya dalam berjuang tak selalu berkobar, ada momen ketika dia merasa perjuangan ini terlalu berat. Terlebih yang dihadapi adalah kekuatan besar,  negara sendiri. 

“Tidak tahu sudah mau kemana. Tanah kami ini saja, rumah kami ini saja. Kami cuma berusaha mempertahan yang menjadi milik kami. Tapi kalau mau dihadapkan dengan negara, kami warga kecil ini bisa apa?" ada nada lirih dalam suaranya. 

Warga Pemaluan lain, Mia Amiyanti, ikut menyayangkan sikap Otorita IKN yang menetapkan kawasan delineasi sepihak. Tanpa pemberitahuan kepada warga terlebih dahulu. Menurutnya, sebelum penentuan kawasan delineasi, mestinya pemerintah berkonsultasi atau mengajak warga berdialog terlebih dahulu. Ini penting sebab menyangkut lahan dan rumah yang sudah lama ditempati warga. Bukannya mengambil keputusan secara sepihak. Bukannya melakukan “sosialisasi” ketika kawasan itu sudah ditetapkan.

“Mulanya dari grup WhatsApp RT. Disampaikan kawasan rumah kami masuk delineasi. Saya sebagai orang awam kan bingung, delineasi ini maksudnya apa,” kata Mia ketika berbincang dengan Kaltim Today.

Mia Amiyanti atau biasa disapa Mia adalah warga Pemaluan. Perempuan berusia 34 tahun itu mengaku lahir dan besar di Pemaluan. Seperti Elis, dia pun merupakan bagian dari komunitas adat lokal, suku Paser Grogot. Pada 2012, dia membeli sepetak lahan seluas 25 x 36 meter yang terletak di Jalan Negara, Pemaluan. Tepat setahun setelahnya, 2013, rumah sederhana miliknya seluas 7 x 7 meter berhasil didirikan.

Cerita soal bagaimana Mia tahu lingkungan rumahnya di RT 04 Pemaluan serupa dengan Elis. Semua bermula dari sebuah pesan yang dikirim RT ke grup WhatsApp. Ada dokumen berupa daftar nama warga yang mengajukan permohonan PTSL ke pemerintah pada 2021 lalu. Usai dokumen dikirim ke grup WA, RT setempat menyampaikan lingkungan rumah mereka sudah masuk kawasan delineasi.

Warga yang bingung dan tak paham soal “kawasan delineasi” tentu menuntut penjelasan. RT tak bisa memberi jawaban memuaskan. Keesokan harinya warga datang sendiri ke kelurahan minta penjelasan. 

Yang Mia ingat, mereka baru bisa bertemu staf ATR-BPN PPU usai seharian menunggu. Di hadapan warga, pejabat yang mengurus perkara lahan warga itu pun tak bisa memberi jawaban pasti dan detail soal delineasi dengan alasan “itu bukan kewenangan mereka, tapi Otorita IKN.” 

“Kami datang ramai-ramai, kami desak kan mereka untuk jelaskan, delineasi ini maksudnya apa,” sebutnya.

Kendati tak bisa menjelaskan detail, pejabat ATR-BPN itu hanya bilang, wilayah yang sudah masuk kawasan delineasi sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan pemerintah untuk keperluan pembangunan atau pengembangan IKN. Tapi mereka tak bisa memastikan “sewaktu-waktu” itu kapan, bagaimana bentuk pengembangannya, dan bagaimana nasib masyarakat setempat.

“Mereka juga tidak bisa pastikan. Mereka bilang bukan kapasitasnya menjelaskan,” ungkapnya.

Nasib Mia sebenarnya sedikit lebih beruntung. Sejak awal, pengurusan PTSL yang Mia dan  warga di RT 04 ajukan terbilang lancar. ATR-BPN memastikan mereka bisa diuruskan sertifikat.

Namun kala itu dia dan warga lain kaget karena informasi soal pengurusan PTSL juga dibarengi dengan pengumuman tentang kawasan delineasi. Istilah itu, kawasan delineasi, benar-benar asing di telinga mereka.

Ibu tiga anak ini menambahkan, ATR-BPN memastikan lahannya bisa diurus sertifikat, namun kekhawatiran tak berhenti. Sebab hingga kini belum ada kejelasan soal bentuk sertifikat itu, apakah hak milik atau hak pakai. Sebagai pemilik lahan, tentu Mia berharap sertifikat terbit dalam bentuk hak milik. 

“Bisa urus sertifikat tapi belum tahu ini, bentuknya hak milik atau pakai. Kami masih menunggu juga ini,” bebernya. Perkembangan yang terjadi, seperti ultimatum pembongkaran rumah seperti yang terjadi di Pemaluan awal Maret 2024 ini, sedikit banyak membuat dia was-was juga. 

Mia mengatakan, pada prinsipnya ia pun tak menolak kehadiran IKN. Dia adalah seorang yang berbahagia dan dengan terbuka menyambut ibu kota di kampungnya. Namun dia berharap, keberadaan IKN tidak menggerus identitas komunitas adat lokal atau masyarakat yang sudah lama tinggal di sana. Tidak mengusir warga dari rumah dan lahannya sendiri.

Kebudayaan yang mereka hidupi, rumah, lingkungan dan perkampungan yang bertahun-tahun ditempati, bagi Mia tidak bisa digantikan dengan nominal rupiah. Banyak pula kenangan hadir di sana. Dia berharap pemerintah mempertimbangkan aspek historis kultural ini dalam proses pembangunan IKN. Bukannya menganggap itu semua tak penting.

“Warga lokal sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kami berharap IKN tidak mengganggu keberadaan warga lokal,” tandasnya.

ATR-BPN PPU Tolak Bahas Kawasan delineasi

Penata Pertahanan Kantor Pertanahan (ATR-BPN) PPU, Benadikta, ketika dikonfirmasi membenarkan bila akhir 2023 lalu, pihaknya pernah beberapa kali melakukan sosialisasi tindak lanjut pengukuran PTSL ke warga Pemaluan. Sosialisasi ini menyasar mereka yang pernah mengikuti program ini pada 2021 lalu. 

Dalam proses pengurusan PTSL, yang muaranya adalah kepemilikan sertifikat lahan, terdapat sejumlah warga sudah tak bisa diurus atau dilayani membuat legalitas. Alasannya, kata Benadikta, karena lahan yang diusulkan masuk penlok pengadaan. 

“Bidang-bidang yang masuk penlok (pengadaan, red) akan mengikuti prosedur pengadaan tanah sampai proses ganti rugi. Penetapan lokasi bukan menjadi kewenangan BPN PPU," sebut Benadikta melalui keterangan tertulis kepada Kaltim Today, Jumat (21/3/2024) siang. 

ATR-BPN PPU memang telah mendaftar ribuan nama warga pemaluan yang mengikuti program PTSL pada 2021. Dari sekitar 2.318 nama terdaftar, warga dikodifikasi dalam 3 jenis: putih, hijau, dan merah. Kodifikasi itu untuk menandai status pengurusan PTSL. Putih artinya masih dalam proses; hijau artinya sedang diproses; dan merah menandakan bidang tanah didaftarkan sudah masuk penetapan lokasi pengadaan tanah atau penlok pengadaan. 

Beberapa warga, seperti dialami warga RT 04 Pemaluan, Idayanti (50) sudah tak bisa mengurus legalitas karena masuk penlok pengadaan. Padahal menurutnya, ketika mengikuti program PTSL pada 2021 lalu, seluruh berkasnya sudah lengkap. Lahannya telah diukur petugas. Dia pun menunjukkan surat segel tanah guna membuktikan lahan itu adalah miliknya secara sah. 

September 2023, ketika warga Pemaluan dikumpulkan di kantor lurah untuk sosialisasi kelanjutan PTSL, ibu lima anak ini baru tahu lahannya tak bisa diurus sertifikat karena di-penlok pemerintah. Tapi tak ada alasan mengapa lahan itu di-penlok. 

Belakangan, tepatnya akhir 2023 lalu, ketika ada sejumlah orang tiba-tiba memasang patok di samping kediamannya, barulah Idayanti tahu ternyata lahannya sudah masuk kawasan pelebaran Sungai Pemaluan demi kepentingan pembangunan IKN. Kala itu, dia juga diminta membubuhkan tandatangan di sebuah surat yang disodorkan Ketua RT 04. Kendati tidak tahu substansi surat, Idayanti mengaku terpaksa menandatangani karena diminta RT dan melihat tetangganya melakukan hal serupa. 

"Katanya kalau mau protes atau tidak terima (dengan keputusan pemerintah,red), bisa dibawah ke pengadilan. Kami warga kecil gini ya mana berani sudah kalau bicara soal hukum," kata Idayanti ketika ditemui di rumahnya awal Februari 2024.

Benadikta mengklaim proses penetapan kawasan delineasi atau menetapkan daerah mana saja yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum, itu bukan kewenangan ATR-BPN PPU. Menurutnya, ATR-BPN hanya bertugas sebagai pengguna. Dalam artian, mereka menggunakan peta delineasi dari Otorita IKN yang di dalamnya sudah memuat peruntukan wilayah-wilayah di dalam deliniasi IKN.

"Ada baiknya informasi didapatkan dari OIKN selaku wali data di IKN," sebutnya.

Secara ringkas, perempuan yang akrab disapa Bena itu menjelaskan, berdasarkan revisi UU Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, kawasan darat delineasi IKN ditetapkan seluas 252.660 hektar dan wilayah perairan sekitar 68.189 ha. Itu tersebar di 5 kecamatan di Kutai Kartanegara (Kukar) dan 1 kecamatan di Penajam Paser Utara (PPU). Kawasan ini mencakup wilayah hutan dan tanah masyarakat. 

Berdasarkan ketentuan dan RUU Perubahan UU IKN, Otorita IKN disebut dapat memperoleh tanah melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan mekanisme pengadaan tanah.  

Masih berdasarkan regulasi yang sama, di pasal 6 ayat 3 disebutkan, kawasan Ibu Kota Nusantara memiliki luas sekitar 56.180 ha dan kawasan pengembangannya seluas 199.962 ha.

Sementara di pasal 6 ayat 2 disebutkan, sebelah selatan IKN akan berbatasan dengan Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara, Teluk Balikpapan, Kecamatan Balikpapan Barat, Kecamatan Balikpapan Utara, dan Kecamatan Balikpapan Timur Kota Balikpapan.

Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara; sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Loa Kulu, Kecamatan Loa Janan, dan Kecamatan Sanga-sanga Kabupaten Kutai Kartanegara; Dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar. 

Dalam memperoleh tanah berasal dari milik masyarakat, kata Bena, pembebasan tanah dapat dilakukan melalui mekanisme pengadaan tanah dengan pemberian ganti rugi. Namun ini hanya berlaku kepada pihak yang dapat menunjukkan penguasaan dan bukti perolehan atas tanahnya sesuai dengan ketentuan dengan ketentuan PP No. 19 Tahun 2021 juncto PP 39 Tahun 2023 Pasal 76. 

Sementara untuk lebih detail terkait kawasan delineasi. Semisal berapa jumlah kepala keluarga (KK) yang bermukim di kawasan delineasi, kawasan tersebut ingin dibangun atau dikembangkan seperti apa, bagaimana nasib warga yang bermukim di dalamnya, Bena mengaku pihaknya tak bisa menjawab. Menurutnya segala hal terkait kawasan delineasi, secara kewenangan hanya bisa dijawab Otorita IKN. 

"Tapi mengenai peruntukan kawasan deliniasi untuk apa saja, itu menjadi kewenangan dari OIKN," sebutnya, dia menambahkan "Barangkali spesifik ke bagian pertanahan OIKN untuk informasi komprehensif tentang kawasan delineasi dan sebagainya. Jika dari BPN khawatir ada misinformasi."

Pemerintah Irit Bicara

Kendati telah ditetapkan sejak jauh hari, nyatanya masih banyak warga Pemaluan tak paham mengenai kawasan delineasi. Alih-alih memberikan penjelasan detail kepada warganya, pemerintah, mulai dari Otorita IKN hingga lurah Pemaluan, justru kompak irit bicara terkait kawasan delineasi. 

Lurah Pemaluan, Ari Rahayu Purwati enggan berkomentar ketika dimintai keterangan terkait kawasan delineasi. Dia justru mengarahkan kami buat menghubungi Humas Otorita IKN, Adi Kustaman, yang juga mantan Sekretaris Camat Sepaku. Ari Rahayu Purwati mengklaim bahwa seluruh informasi atau kebutuhan klarifikasi soal delineasi diarahkan satu pintu ke Adi Kustaman. 

"Kalau mau jelas, karena kami akan selalu konfirmasi dengan Pak Adi Kustaman dari Otorita. Beliau mantan Sekcam juga. Jadi satu pintu, langsung ke Pak Adi. Beliau juga bilang kalau ada apa-apa, mau konfirmasi, monggo ke beliau," ujarnya sebelum buru-buru menutup telepon, Minggu (17/3/2024) siang. 

Sementara itu, ketika dikonfirmasi Adi mengklaim selama ini Otorita IKN telah bekerja sesuai prosedur. Dia mengatakan, demi kepentingan negara, termasuk dalam penentuan kawasan delineasi, Otorita IKN telah melalui berbagai kajian dan meminta pertimbangan pakar. 

"Saya kira ini (penetapan kawasan delineasi) sudah objektif, kajian, sosialisasi dan sebagainya," sebut Adi, Rabu (19/3/2024) siang. 

Mantan Plt Camat Sepaku ini bilang, hal biasa bila tak semua pihak puas dengan kebijakan yang diambil Otorita IKN terkait delineasi. Terpenting, klaimnya, kebijakan sudah diambil secara objektif, Otorita IKN pun tak bosan melakukan sosialisasi, mengundang masyarakat dalam kegiatan yang bersinggungan dengan harkat hidup mereka. 

Terkait kekhawatiran bakal digusur seperti yang disampaikan sejumlah warga, Adi meyakinkan tak akan ada penggusuran. Menurutnya yang ada adalah "penataan" sesuai dengan tata ruang IKN. Kendati begitu, dia tak bisa memberi jawaban, penataan sesuai tata ruang itu seperti apa, dan bagaimana bentuk pengembangan kawasan delineasi kelak. Dengan alasan itu bukan kewenangannya menjawab. 

"Tidak ada penggusuran, yang ada penataaan. Penataan ini selaras tata ruang (IKN)," sebutnya. 

Setali tiga uang, Deputi Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin pun tak mau berkomentar banyak soal delineasi. Hanya secara ringkas ia menjelaskan, delineasi adalah batas yang masuk dalam kawasan IKN baik di darat maupun laut. Batas tersebut melingkupi 6 kecamatan yang tersebar di Kutai Kartanegara (Kukar) dan Penajam Paser Utara (PPU). 

Dia mengklaim penataan ini cukup penting. Ini untuk memastikan tata kelola IKN daerah sekitarnya rapi, tidak semrawut, dan tidak ada pembangunan yang dilakukan secara serampangan. Selain itu, penetapan delineasi untuk memastikan batas wilayah, kewenangan, dan tata kelola pemerintahan yang akan dilayani IKN. 

"Jangan mentang-mentang punya tanah di sini (kawasan delineasi, red) trus mau bangun stadion, ya jangan," kata Alimuddin ketika usai mengisi kegiatan bertajuk Dialog Nasional Peningkatan Sumber Daya Manusia dan Pemajuan Kebudayaan Kalimantan Timur dalam Rangka Penunjang Ibu Kota Nusantara di Big Mall Samarinda, Rabu (6/3/2024) lalu. 

Alimuddin bilang, penetapan kawasan delineasi ini terkait dengan Wilayah Pengembangan (WP) IKN. Diketahui, berdasarkan dokumen Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) IKN, terdapat sembilan WP IKN. Sembilan WP IKN tersebut memiliki fungsi yang berbeda. 

Pertama, WP IKN KIPP 6.671 hektar, ia diperuntukkan untuk pusat pemerintahan nasional. Kedua, WP IKN Utara 12.067 hektar, diperuntukkan untuk pusat penelitian dan inovasi pelayanan pendidikan tinggi. 

Ketiga, WP IKN Barat 17.206 hektar. Ini diperuntukkan untuk pusat ekonomi, bisnis dan keuangan, pariwisata alam, fasilitas pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan tinggi, hingga pertahanan dan keamanan. Keempat, WP IKN Selatan 6.753 hektar. Diperuntukkan untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT), organisasi perdesaan, perlindungan, dan keamanan. 

Kelima, WP IKN Timur I 9.671 hektar. Diperuntukkan untuk pusat hiburan, pusat olahraga, pariwisata, perdagangan dan jasa, pelayanan pendidikan tinggi, hingga perlindungan dan keamanan. Keenam, WP IKN Timur II 3.720 hektar. Diperuntukkan untuk pusat pendidikan tinggi, pusat penelitian dan inovasi, perdagangan dan jasa, perkantoran, hingga pelayanan kesehatan.

Ketujuh, WP Simpang Samboja 4.299 hektar. Diperuntukkan untuk menjadi pusat distribusi dan perdagangan kawasan komoditas, serta perumahan dan organisasi. Delapan, WP Kuala Samboja 2.986 hektar. Diperuntukkan sebagai pusat agro industri dan industri pangan, serta perumahan dan organisasi. Dan sembilan, WP Muara Jawa 9.084 hektar. Diperuntukkan untuk pusat pelayanan publik, pusat kegiatan berbasis pertanian dan perikanan, serta perumahan dan organisasi.

Menanggapi keluhan sejumlah warga di Pemaluan yang merasa penetapan kawasan delineasi tidak partisipatif, Alimuddin tegas membantah itu. Dia mengklaim, jauh sebelum diketok, proses penetapan delineasi sudah sesuai undang-undang, melalui konsultasi publik dan sosialisasi.

"Sudah dari jauh dikasih tahu. Kan tidak mungkin [diberitahu] person per person (orang per orang, red)," sebutnya. 

Kemudian terkait aduan sejumlah warga yang mengaku lahannya tak bisa diurus legalitas. Amiluddin menegaskan, sekarang warga sudah bisa mengurus sertifikat. Sebelumnya ada kendala dalam pengurusan legalitas karena terbentur Pergub Kaltim Nomor 6 Tahun 2020 tentang pengendalian peralihan, penggunaan tanah, dan perizinan pada kawasan calon ibu kota negara dan kawasan penyangga. 

Namun aturan itu sudah ditarik, kata Alimuddin. "Kemarin ada edaran gubernur, sekarang boleh semua. Sepanjang tanah itu masuk dalam kawasan yang bisa diurus PTSL.” Adapun mereka yang tak bisa mengurus, menurutnya bisa jadi karena lahan tersebut masuk kawasan hutan. 

"Jangan-jangan masuk kawasan hutan yang tidak boleh. Kalau masuk kawasan hutan ya tidak boleh (urus legalitas, red)," ujarnya.

Saat wawancara berlangsung, saya buru-buru mengatakan "Daftar pertanyaan masih banyak, Pak." Ini dilakukan lantaran Alimuddin mulai menunjukkan ciri-ciri hendak bergegas ke mobilnya. Daftar pertanyaan mestinya tuntas terjawab di hari itu juga, lantaran saya datang ke kegiatan Alimuddin di Big Mall Samarinda usai mengatur janji temu dengan dia beberapa hari sebelumnya. Saya harus naik bus dan tempuh perjalanan 3 jam perjalanan dari Bontang ke Samarinda, menunggu nyaris dua jam hingga sesi Alimuddin tuntas, namun wawancara hanya dilayani 2 menit 56 detik.

"...." pertanyaan lain tak sempat diajukan, Amiluddin sudah meninggalkan Big Mall Samarinda menggunakan mobil Pajero hitam bersama sejumlah stafnya. 

Kami coba menghubungi Alimuddin melalui sambungan telepon dan pesan singkat untuk bertanya lebih jauh terkait kawasan delineasi. Pesan permintaan wawancara dikirim Kamis (14/3/2024) pukul 14.28 siang. Pesan dibaca namun tak mendapat jawaban. Pukul 14.32 kami menelpon via WhatsApp, panggilan masuk tapi tak diangkat. 

Kami masih coba menghubungi kembali, Minggu (17/3/2024) pukul 11.47 siang tapi telepon tak masuk. Sambungan kami alihkan ke telepon reguler sebanyak dua kali di hari yang sama, pukul 11.52 dan 11.54 siang, masih tidak terhubung. 

Pukul 11.53 kami mengirim pesan singkat di WhatsApp untuk permintaan wawancara. Saat itu pesan masih centang satu. Namun keesokan harinya ketika kami cek di WhatsApp Senin (18/3/2024), pesan dibaca saja, tidak ada jawaban. 

Aktivis Sebut Otorita IKN Otoriter

Akademisi dan sejumlah aktivis menilai tindakan Otorita IKN yang menetapkan kawasan delineasi secara sepihak, tidak melibatkan partisipasi publik sebagai bentuk kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya sendiri. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqien Fen mengatakan, terkait penetapan kawasan delineasi ini, sejak awal pemerintah memang sudah melakukan penyesatan informasi. Pemerintah selalu mengklaim telah melakukan sosialisasi, sementara sosialisasi tentang rencana pembangunan dan sosialisasi atau konsultasi  publik tentang tata ruang IKN adalah dua hal yang berbeda. Keduanya pun memiliki implikasi yang berbeda. 

Selama ini Otorita IKN dinilai tidak pernah melakukan konsultasi publik atau bahkan sosialisasi tentang RTRW IKN, apalagi melibatkan masyarakat terdampak, khususnya masyarakat di Pemaluan. Yang kerap kali Otorita IKN lakukan ialah, mensosialisasikan kebijakan atau keputusan ketika ia sudah ditetapkan, bukan sebelumnya, ketika ia dalam proses penggodokan. Hal ini membuktikan proses yang dilakukan oleh Otorita IKN tidak pernah melakukan partisipasi bermakna dalam merancang kebijakan yang berisiko dan berdampak bagi masyarakat.

"Tindakan pemerintah menetapkan kawasan delineasi IKN secara serampangan adalah wajah sesungguhnya pemerintahan yang anti kritik, tidak terbuka dan mengorbankan warga negaranya," sebutnya. Dia pun menilai, ini adalah potensi pelanggaran HAM yang dilakukan secara terbuka dan berpotensi meluas, utamanya pada aspek hak ekonomi sosial budaya (Ekosob), sebagaimana yang dilindungi oleh konstitusi.

Pria yang akrab disapa Iqin ini menegaskan, dalam penentuan regulasi atau kebijakan, pemerintah mestinya melibatkan partisipasi publik, terlebih warga terdampak. Sebab bila merujuk putusan MK  82/PUU-XXI/2023 pada UU 13/2022 diperluas menjadi pada semua tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan perundangan. Tahapan terpenting untuk mendapatkan masukan masyarakat adalah tahapan perencanaan, pembahasan, dan penyusunan. Hak tersebut diberikan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 13/2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). 

"Dengan demikian, sesungguhnya pemerintah sendirilah yang telah mengingkari amanat UU," tegasnya. 

Penetapan kawasan delineasi yang sepihak, tidak partisipatif, dinilai berpotensi membuka berbagai peluang intimidasi terhadap warga, khususnya mereka yang menolak "keinginan" pemerintah. Ini bisa terlihat dari sejumlah kejadian di sekitar IKN belakangan. Misalnya, kriminalisasi terhadap 9 petani Saloloang yang menolak pembangunan Bandara Very Very Important Person (VVIP) di Pantai Lango,  dan teranyar, ultimatum pembongkaran rumah dalam tempo 7 harı terhadap warga Pemaluan yang berada di jalan Negara atau Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. 

Iqin menegaskan, ini sekaligus jadi peringatan bagi seluruh masyarakat yang terdampak dari kebijakan pembangunan yang tidak berpihak terhadap warga negara. "Peristiwa di sejumlah kawasan tersebut menunjukkan watak negara yang mengarah ke otoritarianisme, sebuah ciri yang mengarah pada bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau kepentingan kekuasaan," sebutnya. 

Selain itu, penetapan delineasi juga berimplikasi terhadap kawasan di luarnya, sebagai contoh meluasnya konflik tenurial di wilayah Kutai Kartanegara. Walhi Kaltim menemukan intimidasi ini melalui somasi PT ICTI Hutani Manunggal terhadap sejumlah desa yang selama ini berkonflik wilayahnya dengan kawasan konsesi ‘kebun kayu’ eukaliptus. Hingga 2024, Walhi mencatat setidaknya ada 20 konflik meluas hingga kriminalisasi dan menambah daftar konflik tenurial hingga ke kawasan pesisir ekosistem teluk Balikpapan. 

"Terdapat 5 tipologi konflik. Baik yang berada di kawasan daratan hingga perairan. Tidak hanya masyarakat adat, petani dan nelayan," bebernya.

Hingga kini, kata Iqin, pihaknya juga masih belum tahu ingin dibangun atau akan dikembangkan untuk apa kawasan delineasi itu secara keseluruhan. Sebab hingga kini belum ada informasi terkait itu, selain yang tertuang pada UU IKN hasil revisi. 

"Ketiadaan ini didasari oleh tertutupnya proses penyusunan RTRW IKN," tandasnya. 

Kritik juga dilontarkan Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan Konsorsium Pembahruan Agraria (KPA) Nasional, Roni Septian Maulana. Roni mengatakan, apapun kebijakan Otorita IKN mengenai pengaturan tanah mestinya melibatkan masyarakat, terlebih mereka yang terdampak. 

Terlebih jika IKN sudah masuk ke dalam tahapan pengadaan tanah. Kata Roni, pasal 61 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2023 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan, panitia pengadaan tanah wajib mendata penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat.

Ini artinya, masyarakat adat di sekitar atau mereka terdampak IKN mesti diajak berdialog, sebab bagaimanapun mereka adalah pemilik tanah. Meski ada penetapan izin, HGU atau Kawasan inti pemerintahan IKN itu semua muncul kemudian tanpa persetujuan masyarakat adat.

"Jika Pemerintah memang berniat membangun IKN, lakukanlah dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan keterbukaan. Sebab hanya dengan itu pemerintah bisa memastikan tidak ada hak masyarakat adat yang dilanggar. Sayangnya sejauh ini tidak demikian," kata Roni kepada Kaltim Today, Rabu (20/3/2024). 

Selain minimnya partisipasi masyarakat, pemerintah juga kerap menggunakan tameng "legalitas" dalam mempertanyakan keabsahan lahan milik warga. Kondisi ini semakin membuat keadaan warga makin terdesak. Mengingat banyak warga sudah lama tinggal di sekitar IKN, telah berladang di sana, seperti masyarakat adat, namun belum memiliki legalitas. 

Roni menegaskan bahwa keabsahan lahan milik warga tak bisa sekadar dilihat dari sisi legalitas, dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan negara macam sertifikat. Dalam aturan hukum di Indonesia, sebutnya, negara tak bisa memiliki tanah. Ia mengacu UU Pokok Agraria (UUPA), seperti termaktub di Pasal 2 disebutkan, negara sebagai representasi bangsa diberikan kewenangan untuk mengatur peruntukkan tanah yang disebut hak menguasai dari negara. "Tapi bukan memiliki dan dapat melakukan apapun, termasuk mengusir orang atas tanah," tegasnya. 

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Kaltim Today pada 17 April 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.

kali dilihat