Independen- “Survei PR2Media terhadap 1.500 pengguna media sosial di 38 provinsi di Indonesia menemukan, ujaran kebencian dan hoaks sebagai konten ilegal yang paling sering dijumpai masyarakat,” kata Masduki.
Hal tersebut disampaikan Ketua PR2Media, Masduki, dalam diskusi publik yang diadakan di Cikini, Rabu (23/08/2023).
Temuan lain, lanjutnya, misinformasi/kabar bohong/hoaks sebanyak 66,4 persen. Menyusul penipuan sebanyak 57,9 persen. Pencemaran nama baik, 43,5 persen, Pornografi dan prostitusi 40,9 persen, Pelanggaran Hak Cipta 40,7 persen.
Kemudian, penyebaran data pribadi/doksing, 34,4 persen, perjudian 33,9 persen, terorisme 12,9 persen dan perdagangan manusia 8,8 persen.
Atas temuan tersebut, tim peneliti PR2Media meminta Revisi UU ITE yang sedang dibahas oleh DPR RI dan pemerintah perlu mengatur tanggung jawab platform media sosial secara detail dalam mengatasi penyebaran konten ilegal.
Pasalnya, saat ini, disampaikan peneliti PR2Media, Wendratama UU ITE belum merinci kewajiban platform media sosial dalam mengatasi konten ilegal. Platform hanya harus menghapus konten ilegal yang ada di sistemnya, berdasarkan pantauannya sendiri maupun aduan dari pemerintah dan pengguna.
"Jika misalnya penyelenggara media sosial tidak mengabulkan aduan dari pemerintah, hanya ada satu pilihan ekstrem yang bisa diambil pemerintah, yaitu memblokir akses warga negara Indonesia ke platform tersebut secara total. Langkah ini kontraproduktif dan otoriter karena masih banyak konten yang legal dan bermanfaat bagi warga di platform tersebut,” kata Wendratama.
PR2Media mengusulkan revisi Pasal 15 UU ITE, yang mengatur tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik, khususnya penyelenggara media sosial, seperti YouTube, Facebook, TikTok, Instagram, dan Twitter.
Revisi itu berupa tambahan pasal yang mewajibkan penyelenggara media sosial untuk menyampaikan secara terbuka tentang cara penyelenggara media sosial mengenali dan menentukan suatu konten sebagai konten yang melanggar hukum. Kemudian, menyediakan informasi bagi pengguna yang mengalami penghapusan konten atau penangguhan akun, yang memuat penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan, cara penyelenggara media sosial mendeteksi pelanggaran, dan langkah banding yang dapat ditempuh oleh pengguna.
Selain itu, penyelenggara media juga harus menanggapi dan menindaklanjuti aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten yang
melanggar hukum berupa penilaian dan tindakan terhadap objek aduan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keadilan. Termasuk mempublikasikan laporan tahunan tentang aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten yang melanggar hukum serta tindakan penyelenggara media sosial dalam menindaklanjutinya.
Serta melaksanakan audit yang diselenggarakan oleh auditor independen setidaknya satu tahun sekali terkait kepatuhan penyelenggara media sosial terhadap regulasi ini.
"Penyelenggara media sosial di sini dimaknai sebagai “pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik berbasis internet yang memungkinkan para penggunanya saling mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka, dengan jumlah pengguna aktif bulanan di Indonesia di atas 20 juta orang dan/atau media sosial lain yang diusulkan oleh masyarakat karena dianggap penting dan disetujui oleh lembaga berwenang," kata Masduki, menambahkan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto Damar mengapreasiasi temuan survei PR2Media yang menunjukkan secara bernas melalui data survei apa yang selama ini disuarakan SAFEnet bahwa belum ada tindakan memadai dari platform untuk mengatasi penyebaran konten ilegal di media sosial.
“Tantangan ini diprediksi akan semakin pelik mendekati Pemilu 2024 dan kondisi ini terjadi karena dua hal utama, yaitu platform tidak memahami konteks lokal dan persoalan regulasi di Indonesia. Karena itu, SAFEnet sepakat harus ada perbaikan regulasi, yaitu revisi UU ITE. Idealnya, revisi total UU ITE,” kata Damar Juniarto.
Sementara itu, Parasurama dari ELSAM menyoroti problem kategorisasi konten di Indonesia, yaitu semua konten berbahaya dianggap konten ilegal, alias bisa dipidanakan. Menurutnya, revisi UU ITE perlu mendefinisikan konten ilegal secara lebih detail dan terukur.
“Selama ini kewenangan pengaturan konten hanya berada di pemerintah. Revisi UU ITE juga perlu memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada platform, sebagai bagian dari prinsip self-regulation," kata Parasurama.
Senada dengan itu, Ketua Bidang Data dan Informasi AJI Indonesia, Bayu Wardhana dan Pengacara LBH Pers, Mustafa mengatakan, usulan revisi PR2Media ini perlu dibarengi dengan revisi pendefinisian “mengganggu ketertiban umum, menyebabkan keresahan, dan pencemaran nama baik”, supaya tercipta kepastian hukum dan menghindari multitafsir dari aparat penegak hukum.
Saat ini, revisi kedua UU ITE sedang memasuki tahap akhir dan Komisi I DPR RI menargetkan revisi ini selesai pada masa sidang saat ini. Seperti disampaikan oleh sejumlah anggota Komisi I DPR, revisi kali ini bersifat terbatas alias hanya menarget pasal-pasal yang selama ini menimbulkan ketidakpastian, seperti Pasal 27 Ayat (3) tentang penghinaan dan atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) terkait ujaran kebencian. (**)