INDEPENDEN- Proyek penambahan Komando Distrik Militer (Kodam) TNI Angkatan Darat (AD) di sejumlah wilayah bukan saja bakal memperberat beban anggaran dan sangat melemahkan sistem pertahanan Indonesia, melainkan juga mengembalikan Indonesia ke Orde Baru. Bahkan diperkirakan bisa lebih buruk.
Sejumlah peneliti, aktivis dan purnawirawan TNI yang diwawancara Koreksi.org senada meyakini perluasan organisasi militer menjadi salah satu proyek yang berkeras terus digarap pemerintah. Ini terlihat setidaknya dalam 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sekalipun sejak awal rencana ini banjir kritik, sekalipun di tengah kebijakan efisiensi anggaran.
“Dalam hitung-hitungan saya, kalau semua mereka laksanakan, ketika kekuasaan Prabowo berakhir pada periode pertama ini, jumlah militer Indonesia akan double. Dari 441 ribu sekarang ini akan menjadi paling tidak mendekati 1 juta personel,” kata peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute, Made Supriatma kepada Koreksi.org, Selasa (4/3/2025).
“Itu perennial, abadi. Dalam artian, sekali orang masuk menjadi prajurit, kita harus mengongkosi dia, sampai dia pensiun. Mengongkosi dia dan keluarga,” imbuhnya lagi.
Beban Berat Anggaran
Pemerintah memastikan bakal menambah lima Kodam pada 2025 antara lain Papua Selatan, Riau dan Kepulauan Riau, Lampung dan Bengkulu, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah. Rencananya, hingga lima tahun pemerintahan era Presiden Prabowo total bakal ada penambahan 22 Kodam baru.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana enggan merinci besar anggaran untuk proyek ini. Tapi dia mengklaim langkah lembaganya tersebut dilakukan demi efektifitas dan efisiensi.
“Lima [Kodam baru] itu berkaitan dengan gelar satuan pengendalian pemerintah. Untuk memudahkan fungsi komando pengendalian, ditambah juga dengan program prioritas pemerintah. Dari kajian yang sudah dibuat, itu yang menjadi prioritas,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Wahyu Yudhayana ketika dihubungi Koreksi.org, Selasa (25/2/2025).
Jika semuanya berjalan, maka kelak Indonesia akan memiliki 37 Kodam. Sebanyak 15 Kodam yang kini telah ada, ditambah 22 Kodam bentukan baru.

Namun klaim efektifitas kerja dan anggaran tersebut tak masuk akal bila disandingkan dengan realitas di lapangan.
Dari segi anggaran misalnya, penambahan Kodam–atau yang disebut TNI sebagai peningkatan status Korem menjadi Kodam–bakal menyedot anggaran yang tak sedikit.
Pengamat militer sekaligus peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis mengungkapkan perubahan status tersebut terang melibatkan pembentukan struktur komando baru, pengadaan fasilitas, penambahan personel serta operasional dan logistik yang lebih besar.
“Kodam memiliki organisasi yang lebih kompleks dibanding Korem. Termasuk Markas Kodam, satuan tempur dan dukungan administrasi yang lebih luas,” kata Beni kepada Koreksi.org saat diwawancara pada pengujung Februari 2025.
Direktur PARA Syndicate–lembaga kajian kebijakan independen–Virdika Rizky Utama memperkirakan paling tidak diperlukan dana triliunan Rupiah untuk sejumlah komponen biaya; mulai dari anggaran pembangunan markas, perumahan prajurit, kendaraan, alutsista, logistik hingga proses rekrutmen. Ini baru satu Kodam.
“Kalau lihat pola pengadaan alutsista dan operasional kodam lain, perkiraan kasar mungkin sekitar Rp1-1,5 triliun per Kodam. Tapi ini hitungan asumsi, karena angka pastinya bisa beda tergantung lokasi, kondisi wilayah dan kebutuhan spesifik lainnya,” kata Virdika Rizky Utama saat dihubungi Koreksi.org, Senin (3/3/2025).
Angka tersebut bisa setara dengan anggaran untuk membangun sekitar 500 sekolah dasar di Indonesia atau menyediakan layanan kesehatan dasar yang mampu menyasar jutaan warga.
Virdika menggugat, bukannya menjawab kebutuhan dasar rakyat dengan memangkas anggaran militer, pemerintah justru menggelontorkan duit dan memprioritaskan sumber daya untuk ekspansi Kodam. Tapi dia tak heran. Sebab menurutnya pemerintah saat ini memang punya kecenderungan memprioritaskan agenda militer.
“Kebijakan [penambahan Kodam] ini problematis karena terjadi bersamaan dengan pemotongan anggaran kementerian/lembaga sipil yang vital seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial,” tutur Virdika.
“Ini bukan hanya kontradiktif, tetapi juga mengindikasikan pembajakan agenda pembangunan oleh kepentingan militer,” ucapnya lagi menggambarkan ironi kebijakan menambah Kodam di tengah pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga sipil.
Arah prioritas–yang condong ke militerisme–juga ditunjukkan melalui tingginya alokasi anggaran untuk Kementerian Pertahanan–yang di dalamnya termasuk anggaran untuk Mabes TNI dan tiga matra lain seperti TNI AD, TNI AU serta TNI AL.
Sejak 2019 hingga 2024, Kementerian Pertahanan bergantian dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat langganan masuk daftar kementerian/lembaga penerima anggaran terbesar.
Kecuali pada 2021 saat Kementerian Kesehatan mendapatkan anggaran tertinggi lantaran pemerintah tengah memprioritaskan kebijakan penanganan Covid-19.

Menambah Kodam maka berarti akan lebih banyak alokasi anggaran negara untuk sektor pertahanan. Padahal dengan jumlah Kodam yang kini ada, telah terjadi ketimpangan alokasi anggaran TNI untuk masing-masing matra.
Bila berdasarkan kajian Edy Prasetyono yang dipublikasikan The Ridep Institute pada 2002, sistem pertahanan Indonesia yang didasarkan atas doktrin sistem pertahanan semesta yang diwarnai pemikiran matra darat mengandung beberapa masalah. Dominasi angkatan darat mengakibatkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan–sebagaimana analisis beberapa pakar dan peneliti yang diwawancara Koreksi.org.
Dalam studi tersebut, komando teritorial menghisap 45% total belanja pertahanan, kemudian 69,8% anggaran seluruh pasukan TNI AD atau 51,7% dari seluruh pasukan TNI.
Bagaimana Tanggapan Kemenhan dan TNI AD?
Bila berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025, Kemenhan adalah salah satu institusi yang tidak terdampak efisiensi anggaran.
Anggaran kementerian di bawah Sjafrie Sjamsoeddin ini menjadi yang tertinggi yakni Rp166,26 triliun. Meski belakangan dalam rapat kerja Komisi I DPR RI dengan Kemenhan dan TNI pada 13 Februari 2025, Kemenhan mengusulkan pengetatan hingga Rp26,99 triliun.
Sehingga total pagu anggaran yang disepakati untuk Kemenhan sebesar Rp139,2 triliun meliputi anggaran untuk Mabes TNI dan tiga matra yakni TNI AD, TNI AU serta TNI AL.


Juru Bicara Kementerian Pertahanan Frega Ferdinand Wenas menolak permintaan wawancara jurnalis Koreksi.org mengenai proyek ini seraya mengarahkan ke TNI AD. Meski begitu rencana penambahan Kodam ini sempat dibahas dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR pada pertengahan Februari 2025. Dalam rapat tersebut Wamenhan Donny Ermawan mengisyaratkan kemungkinan untuk menunda, jika ternyata anggaran TNI AD tak mencukupi lantaran efisiensi.
“Terkait dengan peningkatan Korem menjadi Kodam itu juga sedang, nanti akan diteliti di Angkatan Darat. Tentunya sangat terdampak [efisiensi anggaran]. Apakah memungkinkan? Kalau tidak mungkin, ya mungkin juga harus ditunda peningkatan korem menjadi Kodam ini,” tutur Donny di hadapan Komisi I DPR RI, Kamis (13/2/2025).
Berbeda dengan Wamenhan Donny, kalangan Mabes TNI dan TNI AD memastikan rencana penambahan Kodam termasuk prioritas lembaganya. Kendati mereka tak merinci ihwal kebutuhan anggaran.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Hariyanto hanya menerangkan bahwa rencana tersebut memiliki urgensi tinggi demi memperkuat postur pertahanan nasional. Khususnya, dia melanjutkan, di wilayah dengan dinamika keamanan tinggi atau aksesibilitas yang menantang.
“Anggaran untuk program ini masih dalam tahap pembahasan bersama pemangku kepentingan terkait, termasuk Kemenhan dan Kementerian Keuangan. Besaran anggaran akan mempertimbangkan kebutuhan SDM, pembangunan infrastruktur, pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista), serta dukungan logistik,” jelas Hariyanto kepada Koreksi.org melalui pesan tertulis pada Rabu (26/2/2025).
Setiap Kodam, menurut Hariyanto, memiliki kebutuhan berbeda tergantung pada karakteristik wilayah. Tapi dengan adanya Kodam baru, kata dia, TNI mampu meningkatkan kesiapsiagaan operasional, mempercepat respons terhadap potensi ancaman dan, memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah.
Adapun Kepala Dinas Pusat Penerangan TNI AD, Wahyu Yudhayana mengatakan lembaganya telah melakukan kajian hingga kemudian menetapkan lima Kodam yang bakal diprioritaskan untuk 2025 ini. Sehingga menurutnya, proyek ini telah melalui pertimbangan matang.
“Kajiannya sudah dilaksanakan untuk 22 Kodam itu. Dari kajian itu, maka ada yang prioritas. Lima itulah, berkaitan dengan gelar satuan pengendalian, untuk memudahkan fungsi komando pengendalian,” tutur Wahyu menjelaskan kepada Koreksi pada Jumat (21/2/2025).
“Ditambah juga dengan program prioritas pemerintah. Dari kajian yang sudah dibuat, [lima Kodam] ini yang menjadi prioritas,” dia melanjutkan.
Wahyu menerangkan, Korem di beberapa wilayah harus terlebih dulu melalui Jakarta jika hendak menjalankan fungsi komando pengendalian dengan Kodamnya. Karena itu bagi TNI AD, penambahan kodam ini justru bakal membuat komando pengendalian lebih efektif.
“Jadi lebih memudahkan, tidak menyusahkan satuan bawah, apabila akan ada kegiatan yang berkaitan dengan briefing atau penyampaian perencanaan suatu kegiatan program di wilayah.”
Tidak Mendesak dan Berpotensi Melanggar UU TNI
Berbanding terbalik dengan Mabes TNI dan TNI AD, kelompok sipil sangsi akan urgensi penambahan Kodam.
Ketimbang harus memperluas struktur organisasi secara berlebihan, pengamat militer Beni Sukadis menyarankan agar TNI AD memperkuat satuan yang sudah ada atau meningkatkan koordinasi antar-komando. Langkah ini bisa menjadi alternatif yang lebih efisien.
“Penambahan Kodam tidak dapat dikatakan sebagai kebutuhan mendesak, karena tidak memenuhi syarat strategis yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 34/2004 tentang TNI,” kata Beni Sukadis kepada Koreksi pada Rabu (26/2/2025)..
Pendiri MARAPI–lembaga konsultasi politik, sosio-ekonomi, pertahanan dan keamanan–ini melanjutkan, Undang-Undang TNI mengatur bahwa gelaran pasukan harus memperhatikan empat faktor utama yakni wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan, pulau terpencil.
“Dengan kata lain, pembentukan Kodam baru hanya dapat dibenarkan jika ada ancaman nyata yang membutuhkan kehadiran komando militer di suatu wilayah,” imbuhnya.
UU TNI juga menekankan bahwa pergelaran kekuatan harus mempertimbangkan kondisi dan strategi pertahanan, bukan semata mengikuti pembagian administratif pemerintahan sipil.
Pertanyaan ihwal urgensi juga diutarakan purnawirawan TNI yang juga eks Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo. Sesuai amanat konstitusi, menurut Agus, fungsi pertahanan yang diemban TNI adalah menghadapi ancaman militer dari luar negeri. Sebab setiap ancaman dalam negeri merupakan tindakan kriminal pelanggaran hukum yang penegakan hukumnya ditangani Polri.
Sedangkan fungsi pertahanan selalu berlaku secara nasional dan langsung atas perintah presiden. Itu mengapa, berdasarkan peran dan kewenangan tersebut akan mubazir jika satuan TNI ada di setiap daerah mengikuti otoritas sipil.
“Jadi tidak didasarkan untuk mengikuti struktur administrasi pemerintah dalam negeri, Karena kalau mengikuti administrasi pemerintah dalam negeri, itu akan sangat boros,” ungkap Letjen (Purnawirawan) Agus Widjojo yang kini menjadi Duta Besar RI untuk Filipina saat dihubungi Koreksi.org pada Rabu (19/2/2025).

Selain buang-buang anggaran, Agus menambahkan, kebijakan yang dinilai berpotensi menyimpang dari ketentuan peran dan kewenangan TNI ini akan mengakibatkan lemahnya sistem pertahanan. Ia pun mengingatkan, peran TNI berbeda dengan Polri–yang memang mengikuti otoritas pemerintah daerah.
“Jadi kurang tepat kalau TNI itu dibangun mengikuti struktur administrasi pemerintah daerah. Itu akan menyebabkan pemborosan penggunaan anggaran, yang tidak akan menambah efektifitas fungsi pertahanan nasional.”
Kritik terhadap wacana penambahan Kodam ini telah disampaikan Agus sejak 2023. Mengutip opini di laman Kompas.id, Agus menjelaskan bahwa efektivitas gelar pertahanan bukan sebatas bergantung pada jumlah personel melainkan juga kemampuan alutsista.
Itu sebab, penyusunan postur dan struktur pertahanan yang efisien dan efektif akan lebih mempertimbangkan kebutuhan operasional, tanpa dikaitkan dengan wilayah administratif pemerintahan.
Kebutuhan operasional, menurut Agus, akan memerlukan komando gabungan dan sebaran efektivitas alutsista beserta satuan manuver yang mampu meliputi beberapa wilayah administratif pemerintah daerah. Artinya, komando operasi tak perlu dibentuk di setiap provinsi.
Alih-alih berkeras membangun komando operasi di setiap provinsi, menurut Agus, TNI AD lebih baik fokus menyusun postur dan struktur pertahanan dengan menganalisis kapasitas cakupan wilayah sistem senjata, jangkauan rentang komando, dan pengendalian.
Melacak Mula Wacana Penambahan Kodam Baru
Tawaran kebijakan ini mengemuka sejak 2023–ketika Dudung Abdurachman menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan Prabowo Subianto menjabat Menteri Pertahanan. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo selaku Menhan berulang kali menyatakan bahwa komando teritorial adalah ujung tombak sistem pertahanan dan keamanan rakyat Indonesia (Sishankamrata).
Prabowo berkali-kali menyampaikan komitmennya untuk memperbaiki komando teritorial di seluruh Indonesia mulai dari Babinsa, Korem, Koramil, Kodim, Korem, Kodam hingga, Komando Gabungan Wilayah Pertahanan TNI.
“[Komando] Teritorial adalah tulang punggung pertahanan negara,” kata Prabowo dalam kunjungannya ke Koramil Tandes pada Desember 2022.
Kodam adalah perwujudan komando teritorial. Berbagai pakar berpendapat, tentara di negara-negara modern tidak lagi mengenal konsep teritorial. Konsep ini diadopsi Indonesia sebagai kelanjutan strategi perang gerilya pada masa revolusi yang bermuara pada konsep pertahanan semesta.
Dengan kata lain, konsep teritorial militer berlaku saat terjadi darurat militer–situasi ketika pemerintah sipil dianggap tidak dapat berfungsi sehingga digantikan pemerintahan sementara yang dipimpin militer.
Direktur Imparsial, Ardi Manto berpendapat sebaran komando teritorial mestinya direstrukturisasi berdasarkan ancaman dan potensi ancaman di setiap wilayah di Indonesia. Tidak bisa keberadaan komando teritorial serta merta mengikuti struktur pemerintahan.
“Dulu pemerintahan Orde Baru, kenapa TNI AD membentuk komando teritorial itu mengikuti pemerintahan sipil? Ya karena militer memang punya fungsi politik atau dwifungsi. Jadi mereka bekerja atau bertanggung jawab untuk persoalan keamanan, sosial, dan politik di tengah masyarakat,” ucap Ardi yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan saat dihubungi Koreksi.org pada Senin (17/2/2025).
“Sekarang itu sudah dihapus, dwifungsi [TNI] sudah dicabut. Jadi tidak relevan lagi,” tambahnya.

Kepala Dinas Penerangan TNI AD Wahyu menyebut fungsi utama lembaganya berupa pertempuran dan teritorial. Teritorial menurutnya berarti, mengatasi kesusahan rakyat di wilayah-wilayah melalui program pemerintah.
“Kami mendukung pemerintah melaksanakan fungsi utama. Jadi tidak ada yang ilegal, semuanya legal, sesuai Undang-Undang TNI, sesuai fungsi utama TNI,” kata Wahyu seraya mengklaim bahwa keberadaan militer justru dibutuhkan masyarakat.
Apa Dampaknya Jika Proyek Penambahan Kodam Dilanjutkan?
Sejak mencuat wacana penambahan Kodam baru, Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan telah melontarkan pelbagai kritik.
Mulai dari pemborosan anggaran pertahanan, kekhawatiran bahwa kebijakan ini hanya akan menambah sengkarut pengelolaan keamanan dalam negeri hingga berdampak buruk bagi demokrasi. Berkerasnya meloloskan penambahan Kodam menurut koalisi juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya visi reformis di bidang pertahanan.
Peneliti ISEAS Yusof Ishak Institute, Made Supriatma mengingatkan perluasan organisasi militer akan mendatangkan konsekuensi berupa penambahan prajurit. Dan ini artinya, pemerintah harus mengalokasikan anggaran negara untuk membiayai mereka hingga masa pensiun.
“Itu perennial, dalam artian itu abadi. Sekali orang masuk menjadi prajurit, kita harus mengongkosi dia sampai pensiun. Mengongkosi dia dan keluarganya,” tutur Made saat dihubungi Koreksi.org, Selasa (4/3/25).
Ia memperkirakan, jika rencana penambahan 22 Kodam dijalankan hingga 2029 maka jumlah prajurit bakal bertambah hingga lebih dari dua kali lipat. Data International Institute for Strategic Studies (IISS) dalam The Military Balance 2024, ada 404.500 personel aktif TNI pada 2023.

“Jadi ini perluasan luas biasa tentara Indonesia. Dan dalam hitung-hitungan saya, kalau semua mereka laksanakan, ketika kekuasaan Prabowo berakhir pada periode pertama ini, jumlah militer dari Indonesia akan double,” jelas dia.
“Dari 441 ribu sekarang ini, akan menjadi paling tidak mendekati 1 juta personel. Dua kali lipat lebih kalau BTP dan Komcad ini dimasukkan ke dalamnya. Lebih dari satu juta,” kata Made lagi menggambarkan.
Menurut analisisnya, situasi ini bukan lagi mengarah pada kembalinya dwifungsi TNI–yang dulu dikenal dengan dwifungsi ABRI–tapi mengarah ke gejala multifungsi TNI. Sebagaimana yang pernah diutarakan Panglima TNI Agus Subiyanto.
“Tidak hanya dwifungsi. Mereka mungkin tidak akan masuk ke politik, tetapi mereka akan menggantikan birokrasi-birokrasi sipil, untuk masuk ke desa-desa. Benar-benar masuk ke masyarakat,” tutur Made.
Kekhawatiran itu senada dengan yang diutarakan Direktur Imparsial, Ardi Manto. Dengan arah kebijakan dan politik pertahanan saat ini, pemerintah cenderung melihat ancaman secara internal, bukan lagi ancaman eksternal.
Sebab bila strategi pertahanan untuk menghadapi ancaman luar maka prioritas yang diperkuat di antaranya alutsista, modernisasi alutsista, pesawat diperbarui, kapal diperbarui, dan seterusnya.
“Tapi dengan politik pertahanan atau kebijakan pertahanan hari ini, pemerintah akan melihat ancaman dari dalam yaitu masyarakat sipil, gangguan keamanan, demonstrasi terhadap pemerintah dan seterusnya,” Ardi memprediksi.
“Akhirnya, segala aktivitas masyarakat itu akan dipantau, akan diawasi oleh militer. Kerja-kerja militer ngapain lagi? Misalnya, mau mengawasi Laut Cina Selatan, kan kapalnya nggak ada. Ingin jaga perbatasan, senjatanya nggak ada,” kata dia lagi retorik.
Analisis peneliti dan aktivis menengarai, yang terjadi saat ini bukan sebatas ekspansi militer. Penambahan Kodam bukan sekadar kebijakan teknis. Militer menyelinap dengan cepat dan sudah masuk ke jantung aktivitas masyarakat sipil di tingkat terbawah.
Miniatur multifungsi TNI tersebut menurut Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar kini dapat dilihat di Papua Selatan. Jumlah pasukan non-organik di sana melonjak hingga 16.000 personel pada 2024. Di Tanah Papua, TNI benar-benar menjalankan bermacam-macam fungsi.
*)Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Koreksi.org pada 14 Maret 2025.