960 Orang Ditangkap, YLBHI: Anak Jadi Korban Pelanggaran HAM

INDEPENDEN-  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama jaringan LBH di berbagai daerah mengungkap pola pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang sistematis dalam penangkapan pasca demonstrasi Agustus 2025. Korban berasal dari kalangan aktivis hingga masyarakat sipil, termasuk anak-anak.

Dalam konferensi pers pada 29 September 2025, YLBHI memaparkan berbagai temuan lapangan, mulai dari kriminalisasi, penyiksaan, penutupan akses bantuan hukum, hingga manipulasi proses peradilan. Direktur LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, menegaskan pihaknya kesulitan mendampingi korban sejak awal penangkapan karena akses informasi yang terbatas. Polisi kerap menunjuk advokat sepihak, bukan kuasa hukum pilihan keluarga atau korban. Anak-anak yang ditangkap juga tidak didampingi orang tua atau wali sebagaimana diatur undang-undang. Dalam pemeriksaan, mereka bahkan mengalami kekerasan untuk memaksa pengakuan keterlibatan dalam aksi anarkis.

Julian menambahkan, aparat kerap melakukan tes urine terhadap massa aksi dengan dalih mencari kaitan dengan narkoba atau alkohol. Ia juga mengungkap adanya upaya menutup kasus kekerasan, misalnya dengan memberikan iming-iming “tali asih” kepada keluarga korban meninggal agar tidak menuntut pidana maupun perdata. Aparat pun sering bersikap pasif dan menunggu laporan dari keluarga, padahal kasus kekerasan seharusnya bisa ditindak langsung tanpa perlu delik aduan.

Arif Maulana dari YLBHI menegaskan praktik serupa tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di Jawa Timur, Makassar, dan berbagai daerah lain. Menurutnya, penangkapan besar-besaran atas nama penegakan hukum justru melanggar prosedur dan berpotensi menjadi pelanggaran HAM. Modus yang muncul antara lain penangkapan sewenang-wenang di malam hari oleh aparat berpakaian preman, interogasi hingga dini hari tanpa memperhatikan kondisi korban, penyitaan barang pribadi tanpa prosedur, hingga intervensi dalam bantuan hukum agar korban mencabut kuasa dari LBH. YLBHI juga mencatat banyak kasus salah tangkap yang tidak ditindaklanjuti secara proporsional serta dugaan pemerasan dengan memaksa korban bungkam melalui kompensasi dan tekanan agar tidak membawa kasus ke ranah hukum.

Data YLBHI hingga 27 September 2025 menunjukkan 960 orang ditangkap, dengan 160 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dari jumlah tersebut, 265 merupakan anak. Penangkapan terbesar terjadi di Polda Jawa Timur dengan 325 orang, termasuk 140 anak; Polda Metro Jaya dengan 232 orang, termasuk 32 anak; dan Polda Jawa Tengah dengan 136 orang, termasuk 56 anak. Pasal yang digunakan pun beragam, mulai dari Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 187 KUHP tentang pembakaran, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama-sama, Pasal 28 UU ITE, hingga pasal darurat yang dinilai terlalu dipaksakan.

Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, menilai pola ini merupakan bentuk kriminalisasi yang sengaja diarahkan untuk mencari kambing hitam. Menurutnya, aparat justru menuduh aktivis prodemokrasi dan jurnalis sebagai provokator, alih-alih mengusut pelaku kekerasan sebenarnya. Ia menegaskan YLBHI akan terus konsisten mendampingi masyarakat yang dikriminalisasi, sekaligus menyerukan solidaritas publik agar tetap bersuara. YLBHI mendesak pembentukan Tim Pencari Fakta Independen untuk mengungkap kebenaran, membebaskan massa aksi yang tidak bersalah, menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis, memastikan hak anak serta korban terpenuhi, dan memproses hukum aparat pelaku kekerasan.

“Jangan takut. Demokrasi hanya bisa tegak jika warga tetap kritis, tetap berekspresi, dan menolak bungkam,” pungkas Isnur. 

kali dilihat