Oleh: Ais Fahira
INDEPENDEN- Menteri Pertanian Amran Sulaiman melayangkan gugatan perdata dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap PT Tempo Inti Media, Tbk. Gugatan ini berkaitan dengan pemberitaan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk”yang diunggah melalui akun media sosial X dan Instagram Tempo.co pada 16 Mei 2025 lalu.
Melansir HukumOnline, Amran melalui kuasa hukumnya, Chandra Muliawan, menilai pemberitaan itu tidak berimbang. Ia menuduh Tempo menampilkan judul yang menghakimi dan tidak sesuai dengan isi artikel utama yang berjudul “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Sepanjang Sejarah.”
Menurut Chandra, tidak ada narasi dalam artikel yang relevan dengan kata “beras busuk” dalam judul poster. “Berita Tempo sangat menghakimi dan mencederai rasa keadilan karena tidak didukung data dan fakta yang jelas,” ujarnya. Ia menilai pemberitaan itu dilakukan dengan “itikad tidak baik” karena menyudutkan Kementerian Pertanian dan Bulog, terutama dalam kalimat yang menyebut cadangan beras pemerintah berlimpah namun kualitasnya buruk.
Masalah ini telah dibawa ke Dewan Pers, yang kemudian mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Dewan Pers menyatakan pemberitaan itu memang melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 1(tidak akurat dan melebih-lebihkan) dan Pasal 3 (mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi).
Namun, pihak penggugat tetap menganggap langkah tersebut belum cukup. Amran kemudian mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Juli 2025, dengan dalil Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dalam gugatannya, ia menuntut ganti rugi materiil Rp19 juta dan immateriil Rp200 miliar, serta mewajibkan Tempo meminta maaf secara terbuka di sepuluh media nasional selama 30 hari berturut-turut.
Tempo Sudah Menjalankan Rekomendasi Dewan Pers
Padahal Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong, yang mewakili Tempo, menjelaskan bahwa sengketa ini seharusnya telah selesai di Dewan Pers. Menurutnya, Tempo sudah memenuhi tiga dari lima rekomendasi, antara lain mengganti judul poster di media sosial, menyampaikan permintaan maaf, dan memoderasi konten sesuai arahan Dewan Pers.
“Tempo menerima dokumen PPR pada 18 Juni 2025 dan melaksanakan seluruh rekomendasi pada 19 Juni 2025,” kata Mustafa seperti dikutip dari situs AJI. Ia juga menyebut Tempo telah mengirimkan pemberitahuan resmi mengenai perubahan judul poster menjadi ‘Main Serap Gabah Rusak’.
Namun, alih-alih menempuh hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diatur dalam UU Pers, Amran tetap menggugat ke pengadilan. Ironisnya, Amran tidak pernah hadir dalam lima kali mediasi, baik di Dewan Pers maupun di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara Tempo selalu hadir dan mengirimkan direksi untuk mencari jalan damai.
Mustafa menilai gugatan ini aneh dan mengada-ada karena pokok tuduhan—bahwa Tempo tidak melaksanakan rekomendasi Dewan Pers tidak sesuai fakta. “Gugatan ini cenderung bertujuan membungkam kebebasan pers,” katanya.
ULAP dan Upaya Membungkam Media
LBH Pers menilai gugatan ini sebagai bentuk Unjustified Lawsuit Against Press (ULAP), yaitu gugatan terhadap karya jurnalistik yang tidak didahului mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana diatur dalam UU. Gugatan semacam ini, meski secara formal sah di mata hukum, pada praktiknya bisa menjadi alat untuk mengintimidasi media dan membungkam kritik terhadap pejabat publik.
Dalam konteks demokrasi, gugatan bernilai besar seperti ini bisa dibaca sebagai usaha memiskinkan media. Industri pers di Indonesia sedang berada dalam kondisi ekonomi yang rapuh—tertekan oleh iklan digital dan menurunnya pendapatan langganan. Bila setiap berita kritis bisa diganjar gugatan ratusan miliar, tak ada jaminan media lain berani bersuara.
Fenomena ini dikenal dalam kajian kebebasan berekspresi sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Dalam kasus SLAPP, pihak berkuasa menggunakan instrumen hukum untuk menekan pihak yang mengkritik kebijakan publik. Bedanya, dalam konteks media, bentuknya adalah ULAP—gugatan tak berdasar yang diarahkan pada jurnalis atau perusahaan pers agar mereka berhenti melakukan kerja jurnalistik kritis
Upaya Memiskinkan Media, Bukan Mencari Keadilan
Kasus ini bukan hanya tentang Tempo, tetapi juga tentang masa depan kebebasan pers di Indonesia. Jika media besar seperti Tempo saja bisa digugat dengan nilai fantastis, bagaimana nasib media kecil di daerah yang tidak punya tim hukum kuat? Gugatan seperti ini bisa menciptakan efek jera. Banyak redaksi mungkin akan memilih diam daripada berisiko menghadapi biaya hukum besar dan tekanan politik.
Tempo sudah menempuh jalur etik, mengikuti rekomendasi Dewan Pers, bahkan meminta maaf dan memperbaiki konten. Namun, langkah hukum yang tetap dilanjutkan dengan tuntutan fantastis Rp200 miliar justru menimbulkan pertanyaan: apakah ini soal keadilan, atau upaya membungkam media?
Ironisnya, berdasarkan catatan AJI, pihak Menteri Pertanian maupun kuasa hukumnya tidak pernah hadir dalam lima kali proses mediasi di Dewan Pers. Artinya, ruang penyelesaian etik yang disediakan oleh mekanisme pers diabaikan begitu saja.
Dengan nominal ganti rugi sebesar itu, pesan yang sampai ke publik adalah: siapa pun yang mengkritik kekuasaan bisa dibuat bangkrut. Ini bukan sekadar gugatan terhadap Tempo, tapi sinyal ancaman terhadap seluruh jurnalis di Indonesia.
Kebebasan pers yang selama ini dijaga dengan susah payah bisa runtuh bukan karena pelarangan atau pembredelan, tapi lewat cara baru yaitu memiskinkan media lewat jalur hukum. Jika gugatan seperti ini dibiarkan, media akan berhitung sebelum menulis, dan publik kehilangan hak untuk tahu.