Penangkapan Aktivis Pasca-Aksi Protes Dinilai Cacat Hukum

Tim Independen

INDEPENDEN --Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menilai penangkapan para aktivis pasca-aksi protes yang berujung ricuh cacat hukum karena melewati sejumlah prosedur penting.

Keempat aktivis itu adalah  Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen (DMR) yang juga admin akun Instagram @lokataru_foundation, Staf Lokataru Muzaffar Salim (MS), admin akun @blokpolitikpelajar, Syahdan Husein (SH), admin @gejayanmemanggil dan Khariq Anhar (KA), admin @AliansiMahasiswaPenggugat

Tim TAUD, Nena Hutahaean, menyebut kejanggalan terlihat jelas saat para aktivis langsung dibawa ke kantor polisi dengan status tersangka.

“Keempat aktivis ini tidak pernah sekalipun dipanggil sebagai terlapor untuk memberikan klarifikasi. Padahal dalam KUHP disebutkan, harus ada bukti permulaan sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Nena di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (6/9) yang juga disiarkan secara daring melalui akun Youtube :YLBHI.

Menurutnya, penetapan tersangka secara formil sudah cacat prosedur.

“Ini penting diperhatikan. Bayangkan, hanya karena berpendapat di media sosial, tanpa proses yang jelas, kita bisa tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka dan dijemput,” tegas Nena.

Pada kesempatan yang sama, anggota TAUD lainnya, Fadhil Alfatan, menyoroti proses penggeledahan di kantor Lokataru dan kediaman Delpedro yang dinilai serampangan.

“Seharusnya aparat tahu dulu barang apa yang ingin diambil. Tapi saat penggeledahan, penyidik justru terlihat asal mengambil barang untuk dijadikan bukti,” katanya.

Fadhil menambahkan, polisi mengambil barang-barang pribadi milik Delpedro, mulai dari celana dalam hingga deodorant. Setelah didesak, penyidik akhirnya menyita buku, spanduk peluncuran riset, kartu BPJS, hingga kartu e-money.

Di rumah Delpedro, sejumlah buku juga ikut disita.

“Proses ini seolah ada upaya mencari-cari, karena sejak awal memang terasa dipaksakan tanpa bukti permulaan yang cukup,” kata Tim advokat Lokataru Foundation, Fian Alaydrus.

Kronologi Penangkapan Aktivis Lokataru

Tim advokat Lokataru Foundation, Fian Alaydrus, memaparkan kronologi penangkapan Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen, dan stafnya, Muzaffar Salim, oleh Polda Metro Jaya.

Dalam konferensi pers daring dan luring pada Sabtu (1/9), Fian menjelaskan bahwa penangkapan Delpedro terjadi Senin malam sekitar pukul 22.30 di kantor Lokataru Foundation.

Menurut Fian, sejumlah orang berpakaian biasa datang bersama RW setempat dan sekuriti, langsung menyatakan mencari Delpedro tanpa menunjukkan prosedur resmi. Ketika ditanya asal-usul, mereka mengaku berasal dari Polda Metro Jaya.

Sempat terjadi perdebatan dengan penjaga kantor, namun RW akhirnya bersikap kooperatif dan mengizinkan mereka masuk. Awalnya hanya tiga orang yang tampak di depan, namun begitu pagar dibuka, enam hingga tujuh orang lainnya turun dari mobil dan ikut masuk.

Delpedro, kata Fian, tetap bersikap kooperatif.

“Ditanya, ‘Mana Delpedro?’ Ia menjawab dengan gentleman, mengangkat tangan dan berkata, ‘Saya Delpedro,’” ujar Fian.

Meski begitu, Delpedro meminta penjelasan resmi dan menunjukkan haknya untuk menghubungi kuasa hukum. Polisi hanya menjawab, “Nanti saja ke kantor penjelasannya,” sehingga hak komunikasi Delpedro tertunda.

Fian juga menyinggung adanya nada intimidatif saat Delpedro diminta berganti pakaian. “Teman-teman Lokataru mendengar ancaman agar tidak menelepon siapa pun, disuruh ganti cepat-cepat,” jelasnya.

Selain itu, menurut Fian, aparat bertindak sewenang-wenang ketika masuk ke lantai dua kantor Lokataru tanpa sopan santun. Ia menduga ada kemungkinan dokumen penting menghilang, meski hal ini masih perlu konfirmasi lebih lanjut.

Setelah itu, Delpedro langsung dibawa ke Polda Metro Jaya.

Kejadian serupa juga dialami staf Lokataru, Muzaffar Salim. Fian mengatakan, pola penangkapannya mirip dengan yang dialami Delpedro. “Di depan kantin Kamneg, sekitar pukul 02.00, tiba-tiba muncul tujuh hingga delapan orang. Kami sedang berkumpul, dan mereka langsung mendekati Muzaffar,” ungkapnya.

Fian menduga pihak tersebut membawa alat deteksi sinyal dengan target Muzaffar. Ia menilai prosedur hukum kembali diabaikan. “Baik Delpedro maupun Muzaffar ditangkap sekaligus ditetapkan sebagai tersangka tanpa ada proses pemanggilan awal dan tanpa cross check silang,” tegasnya.

Sebelumnya, Polda Metro Jaya mengumumkan penetapan 43 tersangka terkait kerusuhan dalam aksi demonstrasi pada 25 dan 28 Agustus 2025 di Jakarta. Enam nama mencuat, antara lain Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, stafnya Muzaffar Salim, aktivis Gejayan Memanggil Syahdan Husein, mahasiswa Universitas Riau Khariq Anhar, serta RAP dan FL.

Mereka dituding menghasut pelajar dan anak di bawah umur untuk ikut dalam aksi hingga memicu kerusuhan. Atas dasar itu, polisi menetapkan mereka sebagai tersangka resmi.

Namun, langkah tersebut memicu gelombang protes luas. Aktivis dan masyarakat sipil menilai penangkapan ini sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi. Di media sosial, tagar solidaritas bermunculan, dengan desakan agar aparat segera membebaskan Delpedro, Muzaffar, Syahdan, dan Khariq yang dianggap sebagai korban ketidakadilan hukum.

Tidak Memprovokasi Anak

TAUD juga mengkritik penggunaan Pasal 76H UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak untuk menjerat para aktivis.

“Yang dilakukan klien kami bukan memprovokasi anak-anak,” tegas Sekar Banjaran Aji.

Menurut Sekar, justru para aktivis seperti Delpedro berusaha melindungi anak-anak dengan memberi pengetahuan agar mereka bisa berpikir kritis.

“Anak-anak punya hak untuk berkembang, untuk aktif, dan untuk berpikir kritis. Demokrasi adalah syarat agar perlindungan anak bisa berjalan. Tanpa demokrasi, perlindungan anak mustahil dilakukan,” katanya.

Sekar menambahkan, anak-anak seharusnya didengar, bukan dibungkam. “Apa yang dilakukan klien kami adalah memberikan informasi, pengetahuan tentang bagaimana bernegara, bagaimana menggunakan hak bersuara. Itu bagian dari pendidikan demokrasi, bukan provokasi,” pungkasnya.

kali dilihat