Independen.id --- Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyatakan angka pengangguran turun tahun ini. Pernyataan ini menanggapi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memproyeksi tingkat pengangguran Indonesia mencapai 5 persen pada 2025, meningkat dari 4,9 persen pada 2024.
“Kalau menurut data dari BPS terbaru, angka pengangguran terbuka turun ya bulan ini. Sampai bulan ini justru angka pengangguran terbuka itu turun. Dari 4,8 (persen) ke 4,7 (persen). Dari 4,82 ke 4,76. Itu artinya angka pengangguran, orang benar-benar nganggur nih turun”, kata Hasan Nasbi pada Selasa 3 Juni 2025 di Kantor Presidential Communication Office, Jakarta Pusat.
Apakah pernyataan Hasan Nasbi yang menyitir data tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari Badan Pusat Statistik (BPS) itu benar-benar menggambarkan penurunan angka pengangguran di Indonesia saat ini?
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut BPS adalah indikator untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Para ahli yang diwawancara Independen.id mengatakan turunnya TPT tidak berarti menurunnya angka pengangguran. Faktanya, jumlah pengangguran justru bertambah.
Pengangguran di Indonesia naik menjadi 7,28 juta orang
Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Esther Sri Astuti mengatakan harusnya yang dilihat adalah jumlah pengangguran absolutnya, bukan TPT. Berdasarkan data BPS per Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia naik 83.000 dari 7,2 juta menjadi 7,28 juta.
Pengangguran menurut BPS adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bekerja namun sedang mencari pekerjaan; mempersiapkan usaha baru; sudah diterima bekerja/sudah siap berusaha tetapi belum mulai bekerja/berusaha; atau merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (putus asa).
Esther mengingatkan tugas Hasan Nasbi sebagai juru bicara pemerintah memang mengemas sesuatu agar jadi kelihatan baik dan tidak dramatis. Namun Doktor lulusan Maastricht University, Belanda ini mengingatkan bila pemerintah mau mengakui kenaikan jumlah pengangguran bisa jadi momentum untuk memperbaiki situasi.
Ia juga mengatakan definisi bekerja menurut BPS juga tidak mencerminkan realita sehingga berdampak terhadap perhitungan jumlah pengangguran. BPS mendefinisikan bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu terakhir.
“By definition bekerja menurut BPS itu bermasalah. Seharusnya mengacu World Bank saja. Ada minimum batasan yang disebut bekerja,” ujar Esther yang juga merupakan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Bagi Esther, kalau dalam seminggu, seseorang hanya bekerja satu jam, itu masuk kategori pengangguran. “Ya….ya itu pinter-pinternya pemerintah saja untuk menurunkan angka pengangguran,” kata Esther saat diwawancara Senin (9/6/2025).
Bekerja menurut Bank Dunia diartikan sebagai orang-orang dalam usia kerja yang terlibat dalam kegiatan apa pun untuk menghasilkan barang atau menyediakan layanan untuk mendapatkan bayaran atau keuntungan, baik sedang bekerja, selama periode menunggu maupun tidak bekerja karena tidak masuk kerja sementara, atau karena pengaturan waktu kerja. Definisi ini menurut Esther, lebih mendekati realita.
Senada dengan Esther, Ekonom Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Qisha Quarina mengatakan TPT hanya salah satu bagian dari gambar besar soal pengangguran. Memahami isu ketenagakerjaan di Indonesia tidak bisa parsial dan masalah ketenagakerjaan tidak hanya soal TPT.
“Pengangguran atau TPT itu hanya satu picture. Kita mau lihatnya apa? TPT-nya atau nominalnya. Kan jelas, nominalnya naik, jumlah orang menganggur naik,” tegas Qisha yang meraih gelar PhD dari Lancaster University, UK.
Bila ada yang mengatakan jumlah pekerja naik, Qisha mengingatkan agar melihatnya dengan kritis. Kerja bisa dilihat dari berbagai aspek, salah satunya dari struktur kerja misalnya bekerja secara formal atau informal. Lantas kalau bekerja secara formal, bagaimana pula kontrak kerjanya?
“Di Indonesia, sebagian besar kontraknya PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Apa konsekuensinya? Konsekuensinya ke jaminan ketenagakerjaan,” ujar Qisha yang tengah meneliti sistem kontrak pekerja di Indonesia ini.
Apalagi, menurut perempuan yang menamatkan S2 bidang Economics of Development di University of Sussex ini, di Indonesia banyak penyelewengan aturan ketenagakerjaan. Bekerja di sektor formal saja masih banyak masalah, apalagi di sektor informal.
“Informal itu sudah jelas beda jauh. Boro-boro mau punya BPJS. Gitu ya, income aja itu irregular. Informal itu pasti vulnerable,” tutur Qisha.
Di negara maju, pekerja formal lebih banyak dari pekerja informal. Sedangkan di Indonesia pekerja informal lebih banyak dari pekerja formal. Ini termasuk pekerja yang bekerja tanpa bayaran pada usaha keluarga. Pada Februari 2025, jumlah pekerja informal sebanyak 86,58 juta orang atau hampir 60 persen. Sedangkan jumlah pekerja formal sebanyak 59,19 juta orang.
Bank Dunia menyebut, pekerja informal tidak memiliki keamanan kerja, perlindungan sosial dan kerap menerima kondisi kerja yang tidak diinginkan.

TPT: Persentase jumlah pengangguran dibanding angkatan kerja
Lalu bagaimana menghitung tingkat pengangguran terbuka?
Sederhananya, TPT berarti persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja. Nah, angkatan kerja ini merupakan gabungan jumlah pengangguran ditambah mereka yang bekerja.
Dari publikasi Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025 yang dirilis BPS Mei lalu, tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,76 persen. Bila dibandingkan dengan TPT Februari 2024 yang sebesar 4,82 persen, angka ini turun 0,06 persen.

“TPT itu adalah rasio jumlah orang yang menganggur dibagi jumlah orang menganggur ditambah jumlah orang yang bekerja. Artinya, kalau TPT-nya turun either yang di atas, pembilangnya turun, atau yang di bawah penyebutnya naik,” jelas Qisha Quarina pada Independen.id, Minggu (8/6).
Jumlah penduduk bekerja memang naik 3,59 juta atau mencapai 145,77 juta orang. Bila dijumlah dengan angka pengangguran 7,28 juta maka akan didapat data angkatan kerja. Jumlah angkatan Kerja berdasarkan Sakernas Februari 2025 yaitu 153,05 juta orang. Atau naik 3,67 juta orang dibanding Februari 2024.
Koordinator Bidang Kajian Mikro Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi FEB UGM ini menambahkan jika jumlah pengangguran naik dan jumlah pekerja juga bertambah, maka kita harus melihat rate atau tingkat kenaikannya.
“Antara rate kenaikan jumlah pengangguran dengan rate kenaikan jumlah yang bekerja. Kan 2024 itu TPT-nya 4,8, 2025 itu 4,7. Antara 2024 ke 2025, terjadi kenaikan jumlah pengangguran secara persentase itu sekitar 1,16. Persentase ya. Dan jumlah orang yang bekerja, juga mengalami kenaikan, dengan persentase 2,526 atau 2,53. Artinya, memang rate kenaikan orang bekerja itu lebih tinggi dibanding kenaikan orang yang menganggur,” jelasnya.
Ini yang menjelaskan mengapa tingkat pengangguran terbuka dari Februari 2024 hingga Februari 2025, angkanya turun.
Kajian Perlindungan Sosial dan Tenaga Kerja yang dimuat dalam Labor Market Brief Volume 6, Nomor 5, Tahun 2025 juga menyatakan turunnya tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada awal 2025, belum sepenuhnya mencerminkan perbaikan struktural di pasar kerja. Turunnya TPT lebih banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan angkatan kerja bukan sekedar lantaran turunnya angka pengangguran.
Studi yang disusun Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI) ini juga menyatakan di balik membaiknya angka makro, masih terlihat tekanan yang kuat terutama pada kelompok lulusan pendidikan menengah dan kejuruan yang sulit mengakses pekerjaan layak.
Saat angka TPT yang menurun, sementara gelombang PHK terus berlangsung, banyak pekerja justru terdorong masuk ke sektor informal atau gig economy dengan kondisi kerja yang panjang dan tanpa perlindungan yang memadai. Dan mereka, kerap tidak tercatat dalam statistik ketenagakerjaan formal.
Hati-hati membaca data statistik. Data tingkat pengangguran dapat menyesatkan jika dipakai sebagai indikator kesehatan pasar tenaga kerja.