Oleh: Ais Fahira
INDEPENDEN- Pernahkah kamu berpikir, seberapa besar dampak dari hal-hal kecil yang kamu lakukan setiap hari — seperti menyalakan lampu, naik motor, atau bahkan scrolling media sosial? Semua itu meninggalkan “jejak” yang tak kasat mata di atmosfer bumi. Konsep inilah yang dikenal sebagai jejak karbon.
Secara sederhana, jejak karbon (carbon footprint) adalah total gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia, biasanya diukur dalam satuan ton karbon dioksida (CO₂) ekuivalen. Gas-gas ini (seperti CO₂, metana, dan dinitrogen oksida) berkontribusi pada pemanasan global dengan menahan panas di atmosfer.
Seberapa Besar Jejak Karbon Indonesia?
Menurut Global Carbon Budget 2022, total emisi karbon Indonesia mencapai sekitar 729 juta ton CO₂. Angka ini menyumbang sekitar 1,8% dari total emisi global, menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar penghasil emisi karbon dunia.
Laporan International Energy Agency (IEA) juga menunjukkan data serupa: emisi dari pembakaran bahan bakar di Indonesia mencapai 652 juta ton pada 2022.
Kalau dilihat dari sisi individu, emisi per kapita di Indonesia mencapai 2,48 ton CO₂ per orang, naik dari 2,21 ton pada 2021 — peningkatan sekitar 12,3% hanya dalam setahun. Angka ini memang masih lebih rendah dibanding negara-negara industri besar seperti AS (lebih dari 14 ton per kapita), tapi tetap mengkhawatirkan mengingat populasi Indonesia yang sangat besar
Dari Mana Asalnya?
Menurut laporan Tirto.id, peningkatan emisi karbon di Indonesia sudah berlangsung sejak 1990 dan mencapai puncaknya pada 2019. Data yang dikutip dari berbagai sumber, termasuk Climate Accountability Institute, Climate Watch, dan BPS, menunjukkan bahwa sebagian besar emisi berasal dari sektor industri, energi, transportasi, dan alih fungsi lahan.
Pada 2019, sektor industri tercatat sebagai penyumbang emisi terbesar dengan porsi sekitar 37 persen, disusul transportasi dan pembangkit listrik masing-masing 27 persen.
Data Global Carbon Budget (2022) juga menyoroti peran besar penggunaan energi fosil—terutama batu bara, minyak, dan gas—sebagai pemicu utama kenaikan emisi di Indonesia.
Sementara itu, alih fungsi lahan dan deforestasi membuat Indonesia menempati posisi kedua tertinggi di dunia dalam kategori emisi karbon dari perubahan penggunaan lahan, yaitu sekitar 930 juta ton CO₂ atau 19,9 persen dari total global.
Secara lebih rinci, laporan Climate Watch (2023) mencatat empat sektor utama penyumbang emisi karbon Indonesia pada 2020:
- Alih fungsi lahan dan kehutanan: 490,53 juta ton CO₂
- Listrik dan panas: 246,12 juta ton CO₂
- Manufaktur dan konstruksi: 131,05 juta ton CO₂
- Transportasi: 126,42 juta ton CO₂
Bagaimana Komitmen Pemerintah?
Secara resmi, Indonesia sudah berjanji untuk ikut menekan laju krisis iklim lewat Perjanjian Paris (Paris Agreement). Janji itu tertulis dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022. Di situ, pemerintah menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan usaha sendiri, atau bisa naik jadi 43,2% kalau ada dukungan internasional misalnya pendanaan, transfer teknologi, atau kerja sama global.
Target itu kemudian dijabarkan lebih jauh dalam Strategi Jangka Panjang untuk Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR). Dokumen ini menegaskan ambisi Indonesia untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Artinya, jumlah emisi yang dilepaskan diharapkan seimbang dengan jumlah yang diserap kembali melalui hutan, teknologi penyerapan karbon, atau energi bersih.
Untuk menuju ke sana, pemerintah meluncurkan beberapa kebijakan turunan. Salah satunya lewat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang jadi payung hukum bagi mekanisme perdagangan karbon dan pajak karbon. Mekanisme ini memungkinkan perusahaan yang berhasil menekan emisi menjual “jatah emisinya” ke pihak lain yang melebihi batas. Uji coba skemanya sudah dimulai di sektor pembangkit listrik sejak 2023.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025. Artinya, hampir seperempat sumber energi di Indonesia seharusnya sudah berasal dari tenaga surya, angin, air, atau panas bumi.
Tapi realitanya masih jauh. Hingga 2023, kontribusi energi terbarukan baru sekitar 14%. Karena itu, Dewan Energi Nasional (DEN) pada 18 Januari 2024 mengumumkan rencana menurunkan target bauran energi primer jadi 17–19%.
Lembaga riset independen seperti Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menilai target 2060 terlalu lama dan berisiko. Menurut mereka, tanpa langkah nyata seperti penghentian PLTU baru dan percepatan investasi energi bersih, target “nol emisi” itu bisa jadi sekadar jargon tanpa hasil konkret.
Dengan kata lain, komitmen memang ada di atas kertas. Tapi untuk mewujudkannya, Indonesia masih punya pekerjaan rumah besar mulai dari transisi energi, penegakan hukum lingkungan, sampai perubahan pola konsumsi masyarakat. Karena di dunia yang makin panas ini, janji tanpa aksi hanya menambah emisi—bukan menguranginya.
Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Krisis iklim bukan cuma urusan pemerintah atau perusahaan besar. Kita semua ikut punya andil, sekecil apa pun. Setiap kali kita menyalakan lampu, pakai kendaraan pribadi, atau beli barang sekali pakai, ada emisi yang ikut tercatat di atmosfer.
Mulai dari hal sederhana seperti matikan listrik saat nggak dipakai, kurangi sampah plastik, pilih transportasi umum kalau bisa, atau dukung produk lokal yang ramah lingkungan.