Oleh: Ais Fahira
INDEPENDEN- Banjir bukan lagi sekadar peristiwa musiman yang datang dan pergi. Menurut Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI), bencana banjir dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan tren yang kian mengkhawatirkan. Pada 2015 jumlah banjir masih sekitar 525 kali, lalu melonjak tajam hingga hampir 1.800 kali pada 2021, dan p Artinya, dalam rentang enam tahun saja, frekuensi banjir meningkat lebih dari tiga kali lipat.
Fenomena ini bukan sekadar fluktuasi alami, melainkan cermin dari rapuhnya tata kelola ruang, kerusakan lingkungan yang terus menumpuk, serta dampak nyata dari krisis iklim yang semakin tak terbantahkan. Dan memasuki 2025, tanda-tanda bahwa tren buruk ini akan berlanjut makin jelas terlihat.
Dari Stabil ke Ledakan
Awalnya, data terlihat fluktuatif. Pada tahun 2015 tercatat 525 kejadian, kemudian naik menjadi 824 pada 2016 dan 979 pada 2017. Tahun 2018 dan 2019 justru memperlihatkan penurunan menjadi 872 dan 784. Sekilas, angka itu memberi harapan bahwa banjir bisa ditekan.
Namun, 2020 menjadi titik balik. Jumlah kejadian banjir melonjak ekstrem hingga 1.520, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Tren ini berlanjut pada 2021, dengan catatan tertinggi sepanjang dekade yaitu sebanyak 1.795 kejadian banjir. Ledakan banjir di dua tahun ini menimbulkan kerugian material besar dan trauma sosial bagi ribuan keluarga yang kehilangan rumah dan mata pencaharian.
Turun Sesaat, Naik Lagi
Setelah rekor buruk 2021, jumlah banjir memang sempat menurun menjadi 1.532 pada 2022 dan 1.251 pada 2023. Namun penurunan itu ternyata hanya bersifat sementara. Pada 2024, angkanya kembali naik menjadi 1.457. Lalu, per Juni 2025 saja jumlah banjir sudah mencapai 1.675 kejadian.
Itu artinya dalam setengah tahun pertama 2025, jumlah kejadian banjir sudah melampaui total jumlah kejadian banjir 2024. Tren ini mengisyaratkan tahun 2025 berpotensi menjadi salah satu tahun terburuk dalam satu dekade terakhir. Jika tren ini terus berlanjut, siapa yang paling menanggung akibatnya?
Siapa Paling Terdampak?
Banjir memang bisa melanda siapa saja tanpa pandang bulu, tetapi dampaknya tidak pernah sama bagi semua orang. BNPB mencatat bahwa 60–70% korban bencana adalah perempuan, anak-anak, serta orang lanjut usia. Data ini sejalan dengan BNPB, bahwa kelompok tersebut berisiko lebih tinggi, bahkan hingga 14 kali lebih mungkin meninggal dunia dalam situasi bencana.
Kerentanan perempuan dan anak-anak bukan muncul begitu saja, melainkan hasil dari struktur sosial yang membatasi akses mereka terhadap informasi, sumber daya, dan mobilitas. Misalnya, dalam banyak kasus banjir, perempuan masih harus memikirkan keselamatan anak-anak dan anggota keluarga lain sebelum menyelamatkan diri sendiri. Anak-anak dan lansia lebih sulit mengevakuasi diri, sehingga peluang selamat mereka lebih kecil.
Selain itu, penelitian “Flood Disasters and Health Among the Urban Poor” menyoroti bahwa banjir berdampak paling buruk bagi kelompok miskin di perkotaan, terutama anak-anak. Tidak hanya soal kehilangan tempat tinggal, tapi juga meningkatnya risiko penyakit, malnutrisi, hingga trauma psikologis.
Kasus banjir besar Jakarta 2020 misalnya, memperlihatkan bagaimana kelompok miskin yang tinggal di bantaran kali harus menanggung dampak paling berat. Rumah mereka rusak, akses air bersih dan sanitasi terputus, sementara perempuan harus mengurus anak-anak di pengungsian dengan fasilitas yang minim.
Dengan kata lain, banjir bukan hanya urusan genangan air dan statistik saja, tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan sosial. Mereka yang paling rentan adalah perempuan, anak-anak, lansia, dan masyarakat miskin.
Banjir dan Krisis Iklim
Jika kita tarik ke level global, tren banjir di Indonesia sejalan dengan laporan IPCC (Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim) yang menegaskan bahwa curah hujan ekstrem akan semakin sering terjadi akibat pemanasan global. Suhu rata-rata bumi yang terus meningkat membuat siklus air terganggu: hujan lebih deras, musim lebih tidak menentu, dan bencana hidrometeorologi seperti banjir semakin sering terjadi.
Dengan kata lain, banjir bukan lagi peristiwa lokal, tapi bagian dari pola krisis iklim dunia. Indonesia, dengan posisi geografisnya yang tropis dan padat penduduk, termasuk salah satu negara paling rentan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menghadapi tren ini, pemerintah harus membenahi tata kelola ruang. Moratorium alih fungsi lahan, reforestasi, dan perlindungan daerah resapan air tidak bisa ditunda. Kemudian, memperkuat infrastruktur kota, mulai dari memperlebar drainase, mengelola sungai, hingga membangun sistem peringatan dini yang efektif.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat perlu dibangun. Edukasi tentang menjaga lingkungan, pengelolaan sampah, hingga keterlibatan aktif dalam mitigasi bencana harus menjadi agenda bersama.
Banjir tidak bisa lagi dipandang sebagai “bencana rutin” yang datang lalu berlalu. Tetapi merupakan krisis yang mengancam keberlanjutan hidup, dan hanya bisa dihadapi dengan upaya sistematis, lintas sektor, dan jangka panjang.