Dailami, Kapten Ambulans Laut Pulo Aceh

 

Oleh Habil Razali

Dailami menaklukkan ombak saat mengantar pasien dari Pulo Aceh ke rumah sakit. Jalan hidupnya sebagai kapten ambulans laut berawal dari keikhlasan menolong warga.

INDEPENDEN --Angin timur terdengar ganas di kalangan warga kepulauan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Namun, bagi Dailami, apa pun musimnya, ia tetap menyalakan mesin perahu dan mengarahkan kemudinya ke Kota Banda Aceh.

“Bagaimana pun keadaan laut, tetap tancap gas,” kata Dailami.

Dailami (Foto Habil Razali)
Dailami (Foto Habil Razali)

Laki-laki berusia 51 tahun ini kapten ambulans laut di Puskesmas Pulo Aceh. Ia harus selalu siaga jika ada pasien yang mendadak perlu dirujuk ke rumah sakit di Kota Banda Aceh. Sebagai kepulauan terluar, satu-satunya akses Pulo Aceh ke daratan Aceh melalui transportasi laut.

Angin yang berembus dari timur menjadi salah satu tantangan yang memperumit akses ini. Saat angin tersebut bertiup, perairan lintasan perahu menjadi area tanpa halangan sehingga ombak besar terdorong dari celah antara Pulau Weh dan ujung Sumatra. Kondisi ini makin sulit bila turun hujan.

Namun, tantangan tersebut justru membuktikan bahwa Dailami adalah seorang penakluk ombak. Salah satu kisahnya terjadi pada suatu malam 2022. Ketika jarum jam sudah bertengger di angka sebelas, tapi ia harus segera menghidupkan mesin ambulans laut.

“Ada dua pasien kecelakaan, kepalanya terbentur sehingga harus segera dirujuk,” katanya.

Selain Dailami dan pasien, di ambulans juga ada pendamping dan keluarga pasien. Kala itu laut sedang tidak bersahabat, ombak sangat tinggi. Tapi ambulans tetap harus berangkat. Kondisi pasien tak memungkinkan untuk menunggu hingga laut tenang.

Di tengah perjalanan antara Pulo Aceh dan Banda Aceh, ombak makin meninggi. Ayah seorang pasien yang ikut dalam ambulans meminta Dailami balik arah, kembali ke Pulo Aceh. 

Permintaan ini ditolak Dailami, mengingat kondisi pasien yang mendesak. Namun, ia tetap berusaha menenangkan keluarga pasien. “Orang tua pasien yang minta balik ini padahal nelayan,” kata Dailami.

Dailami lantas berusaha mencari celah untuk melawan ombak, dan akhirnya berhasil. Ambulans itu berhasil merapat ke daratan Banda Aceh dengan selamat setelah memakan waktu 1,5 jam. “Padahal kalau pakai ambulans laut biasanya 25 menit sudah sampai,” katanya.

Waktu tempuh yang jauh lebih lama ini membuat orang-orang di darat khawatir. Petugas di Puskesmas Pulo Aceh telah menghubungi rumah sakit menjelaskan bahwa pasien rujukan sudah berangkat, tapi rumah sakit mengabarkan pasien belum tiba.

Dailami tidak dapat dihubungi. Sinyal telepon selulernya hilang di tengah laut.

***

Dailami, bertahun-tahun lalu, semula pawang perahu milik Puskesmas. Ketika perahu itu rusak, ia kehilangan pekerjaannya dan akhirnya pada 2012 ia beralih jadi petugas kebersihan di sana. Sesekali, ia juga menjadi sopir mobil ambulans.

Karena itu, setiap ada pasien yang perlu dirujuk dari Puskesmas, ia kerap menolong untuk membawanya ke rumah sakit menggunakan perahu. Bukan perahu miliknya, melainkan meminjam dari nelayan setempat.

Mengapa Dailami repot-repot membantu?

“Karena jika kita menyewa perahu secara khusus biayanya bisa sampai Rp 1 juta,” katanya. Ia merasa kasihan karena biaya itu memberatkan keluarga pasien. Alhasil, ia berinisiatif meminjam perahu dan sekaligus menjadi pawangnya.

Ambulan laut
Ambulan laut yang yang kemudikan Dailami (Foto Habil Razali)

“Paling hanya butuh Rp 400 ribu untuk minyak, dan Rp 100 ribu untuk pemilik perahu,” kata Dailami. “Setidaknya ini bisa meringankan beban keluarga pasien. Saya tak mengambil ongkos.”

Dailami harus menanggung risiko besar untuk niat baiknya itu. Sebab, jika terjadi sesuatu yang buruk pada perahu pinjaman, ia harus menggantinya. Untungnya, kekhawatiran itu tidak pernah menjadi nyata.

Begitulah awal mula perjalanan Dailami, hingga akhirnya setiap kali ada pasien yang harus dirujuk dari Puskesmas, orang-orang akan mencari Dailami. 

Penggunaan perahu nelayan yang berbahaya untuk membawa pasien ini kelak mendapat sorotan publik. Beberapa kali rekaman yang memperlihatkan situasi tersebut menimbulkan reaksi di media sosial dan diberitakan media massa.

Alhasil, pada akhir 2021, pemerintah menyediakan kapal ambulans untuk Puskesmas Pulo Aceh. Dailami pun melanjutkan perannya membantu merujuk pasien. Bedanya, kali ini ia tak perlu lagi meminjam perahu milik orang lain.

“Kontrak saya berubah dari petugas kebersihan jadi kapten ambulans laut,” katanya.

Perubahan kontrak ini juga bikin gajinya naik: dari Rp 1,2 juta per bulan, kini menjadi Rp 4 juta per bulan.

Kepala Puskesmas Pulo Aceh Misriadi menilai keberadaan ambulans laut sangat membantu masyarakat yang membutuhkan layanan rujukan ke rumah sakit. Jika dulu warga harus merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah, kini mereka tidak perlu membayar lagi. 

Baginya, kapal ambulans ini adalah salah satu bentuk perhatian khusus pemerintah terhadap Pulo Aceh.

“Semua biaya ditanggung Pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan BPJS,” katanya. “Masyarakat tidak perlu bayar untuk minyak ambulans.”[]

==

*) Tulisan ini  merupakan bagian dari program Fellowship Independen yang didukung USAID, Internews dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 

kali dilihat