Selamat Jalan Pejuang Kemerdekaan Pers Dua Bangsa

Oleh Ati Nurbaiti*

INDEPENDEN -- Siapa gerangan orang Indonesia, yang peti jenazahnya ditutup dua bendera Timor Leste oleh Mari Alkatiri, tokoh sekaligus mantan perdana menteri Timor Leste?

Video itu dikirim Sabtu siang, 5 Oktober 2024 dari Dili, hasil kamera Tristania Ximenes yang menghadiri penghormatan terakhir untuk Titi Irawati Supardi, seorang pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Titi Irawati Supardi (Foto Ist)
Titi Irawati Supardi (Foto  IST)

Titi wafat di Dili setelah sakit.  Tepat pada 4 Oktober sekitar pukul 20.40 WIB, perempuan pemberani ini berpulang ke Yang Kuasa.  Kepergian Titi menjelang ulang tahunnya yang ke 69.

Saya sendiri tidak yakin apakah ia sempat menjadi anggota awal AJI. Yang jelas dia  termasuk ikut runtang runtung dalam persiapan dan awal berdirinya AJI, menurut istilah kawan kita Ignatius “Kumkum” Haryanto.

Dan setelah itu, Titi juga langsung runtang runtung mendampingi rakyat Timor Leste jelang referendum tanggal 30 Agustus 1999.

Saya sempat bertemu dengan Titi pada perayaan 25 tahun referendum di Timor Leste. Saya sama sekali tidak menyangka pertemuan itu untuk terakhir kalinya.

Setelah referendum di Timor Leste, ia dan suaminya kelak, Nug Katjasungkana, memutuskan menetap di Dili.

Hingga akhir hayatnya Titi tetap menjadi warga Indonesia. 

Pada tahun 2016, Titi termasuk orang yang mendapat salah satu anugerah tertinggi negara Insignia of the Order of Timor Leste atas jasanya dalam perjuangan pers, pendampingan tahanan politik, serta dukungannya pada rakyat Timor Leste sejak 1999, menurut kantor berita Lusa.

Anehnya di Indonesia dia seolah bukan siapa-siapa hanya karena menjadi aktivis “belakang layar”. Padahal jasanya cukup besar.

Santoso, salah satu pendiri AJI lain, pernah bercerita bahwa di awal berdirinya AJI, Titi mendapat tugas mengurus “tiga saudara” selama di dalam penjara. Tiga saudara itu adalah  Ketua AJI pertama Ahmad Taufik, Eko “Item” Maryadi dan Danang Wardoyo, remaja yang sempat jadi office boy di kantor AJI namun apes ditangkap juga.

Titi juga mengurus Tri Agus Susanto Siswowiharjo, aktivis Pijar, yang juga dalam tahanan.

Titi menengok “tiga saudara” sampai ke penjara Cirebon, bersama istri Taufik dan putranya, Ali Anzi. Yang saya ingat Ali Anzi baru lahir ketika Taufik ditahan. AJI menjadi menjadi inspirasi nama anak sulung Taufik.

Di penjara Cipinang, Titi sempat banyak berbincang dengan Xanana Gusmao, pemimpin gerilya Fretilin yang sekarang menjabat perdana menteri Timor Leste.

Titi dulu wartawan majalah Sarinah dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Di akhir 1990-an ia  dengan beberapa aktivis Indonesia lainnya bergabung dalam Forum Solidaritas Timor Timur, Fortilos. Bersama peneliti Nug Katjasungkana, mereka membantu Yayasan Hak di Dili, dan akhirnya menikah.

Mereka sedih sekali sewaktu diselamatkan keluar Dili, setelah ikut bertahan di kantor Hak yang ditembaki terus menerus oleh milisi pro-Indonesia tanggal 5-6 September 1999, sedangkan warga lokal terpaksa ditinggal.

“Selama diserang  itu aku tambah sadar bagaimana teror yang dirasakan penduduk Timtim selama pendudukan Indonesia,” kata Titi, seperti dikutip Kerry Brogan, seorang peneliti,  dalam tulisannya berjudul “Meet Titi Irawati”, dalam Inside Indonesia, 29 Juli 2007.

Beberapa bulan kemudian Titi dan Nug pun kembali ke Timor Leste.

Mantan Perdana Menteri Timor Leste Mari Alkatiri (kiri) menyerahkan bendera Republik Demokratik Timor Leste dan bendera Fretilin ke Nug Katjasungkana, lalu mereka menutup peti dengan kedua bendera tersebut.  (Foto Ist)
Mantan Perdana Menteri Timor Leste Mari Alkatiri (kiri) menyerahkan bendera Republik Demokratik Timor Leste dan bendera Fretilin ke Nug Katjasungkana, lalu mereka menutup peti dengan kedua bendera tersebut.  (Foto: diambil dari video Tristania Ximenes)

Seorang anggota awal AJI yang juga  sempat kerja lama di Dili di lembaga media, Ezki Suyanto menulis di akun media sosial Facebook -nya bahwa Titi “pasang badan” untuk sosialisasi rencana referendum yang diputuskan presiden BJ Habibie, yang diawasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, beberapa bulan sebelum Agustus 1999.  

Sosialisasi saja rupanya berisiko tinggi. Banyak rumah penduduk yang dianggap pro-kemerdekaan dibakar jelang hari H, banyak orang yang bersembunyi dan makin dekat ke tanggal referendum, bertambah pula yang terbunuh.

Meskipun dibawah teror, tetap saja  98 persen dari sekitar satu juta penduduk berani menuju bilik suara, dan hasilnya, 78,5 persen menolak pilihan otonomi khusus dalam NKRI -- walau ada tuduhan kecurangan.

Ezki termasuk  anggota AJI yang sibuk mendirikan rumah aman untuk pers, dengan sedikit modal pengalaman AJI  di masa awal “perang” Maluku.

“Terima kasih Mana [kakak perempuan, bahasa Tetun], sudah memilih tinggal di tanah Maubere [Timor Leste] sampai akhir hayat,” begitu bunyi satu dari ucapan duka yang teus mengalir di akun FB Titi dan Nug.

Pasangan ini memang sudah “menyatu” dengan Timor Lorosa’e, begitu sebutan lainnya untuk Timor Leste, dan tampaknya cukup cepat lancar berbahasa Tetun. Belakangan mereka belajar bahasa Portugis.  

Pusing juga kata Titi di awal merdeka, untuk mengedit isi media yang mendadak memakai bahasa Tetun, sebagai simbol menolak warisan bahasa Indonesia dari bekas penjajah.  Sedangkan Tetun biasanya hanya dipakai sebagai bahasa lisan.

Seringkali tulisan wartawan  “gak ada titik komanya!” katanya dengan agak geli. Mungkin begitu juga kondisi awal pers Indonesia, karena bahasa Indonesia pun  awalnya tergolong bahasa pasar

Pasangan ini membangun rumah mungil di Dili yang dihuni banyak “anak bulu”, kebanyakan kucing.

“Rindu Rumah Marconi…rindu anak-anak berbulu, rindu tanaman bak hutan belantara,” demikian posting terakhir Titi di media sosial saat dia dirawat di RS Nasional Guido Valadares. Dari rumah sakit, ambulans yang membawa jenazah Titi sempat mampir di rumah agar Titi dapat “pamit” pada anak bulu.

Peti yang ditutup bendera Timor Leste (Foto Ist)
Peti yang ditutup bendera Timor Leste (Foto: diambil dari video Tristania Ximenes)

Disaksikan banyak sahabat Titi dan Nug, mantan perdana menteri Mari Alkatiri melepas jenazah sebelum pemakaman di Yogyakarta. (Keberangkatan ke Denpasar tertunda karena soal administrasi sampai Minggu, sehingga pemakaman diundur ke Senin pagi di Yogyakarta, red)

Alkatiri menyerahkan bendera Republik Demokratik Timor Leste dan bendera Fretilin ke Nug, lalu mereka menutup peti dengan kedua bendera tersebut.

Dari sejumlah pengantar terlihat tokoh gerakan perempuan dan HAM, seperti Aniceto Guterres, mantan bos di Hak, dan direktur Centro Nacional Chega! Hugo Fernandes. CNC adalah lembaga negara yang mengawasi dan meneruskan (sebisanya) rekomendasi laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang berjudul Chega! (Cukup!).

Hugo termasuk pendiri majalah Talitakum yang ikut diedit Titi.

Dari Indonesia, ucapan duka dan karangan bunga pun mengalir dari gerakan perempuan, selain dari AJI.  

Beberapa jam setelah berpulangnya Titi,  Indonesia juga kehilangan Romo Benny Susetyo, yang juga punya andil dalam perdamaian. 

Dulu Titi dan Nug sempat menjadi anggota Kalyanamitra, yang termasuk LSM perempuan pertama masa Soeharto.

“Duka mendalam, kehilangan sekali dan terima kasih banyak sekali memberikan yang terbaik untuk dua negara,” demikian pesan Missiyah, salah seorang pendiri Kapal Perempuan.

Di antara wartawan yang sibuk meliput acara duka itu tampak ketua Asosiasi Jurnalis Timor Lorosa’e (AJTL),  Zevonia Vieira.  Rupanya ia mendapat pesan dari Titi, untuk mengatur pertemuan Titi dengan para pendiri AJTL.

Kawan-kawan AJI termasuk ketua Didik Supriyanto ikut memfasilitasi pendirian AJTL bulan Desember 1999.  Menurut Vonia, demikian panggilannya, Titi berniat menulis tentang AJTL untuk ulang tahunnya ke 25 pada Desember 2024.

Titi juga berjanji untuk terus membantu pelatihan wartawan.

“Keluarga besar AJTL kehilangan salah satu pendiri AJTL”, demikian ucapan dari AJTL untuk “kak Titi”.  “Jasa-jasamu akan selalu dikenang dan menjadi suatu nilai tersendiri untuk kami semua.”

Semoga cita-cita Titi untuk penulisan tentang AJTL terwujud, agar perjuangan pers Timor Leste dapat terdokumentasi untuk generasi penerus.  Terus berpikir dan meliput secara independen adalah tuntutan Titi.

Seperti aktivis perempuan lainnya, ia geram dengan diamnya “tokoh-tokoh gerakan” terhadap para pemimpin yang merendahkan perempuan.

Sebelum berpulang Titi tetap menyampaikan pesan-pesan positif.

Jangan lupa sehat, begitu kira-kira pesannya melalui pose-pose gembira yoga dan resep-resep rumahan.

Selamat jalan duluan, sahabatku sayang. Terima kasih atas segala teladan dan semangat. Semoga Nug Katjasungkana diberi segala kekuatan.

*Penulis termasuk pendiri dan ketua umum AJI periode 2001-2003

*Tulisan sudah mengalami perubahan namun tidak mengubah isi

kali dilihat