Kampung Linggang Melapeh Pilih Ekowisata Dibanding Sawit

Saat itu, walaupun kesejaheraan warga meningkat. Tetapi, itu hanya hitungan beberapa tahun. Saat kayu habis, kawasan hutan hilang, air bersih sulit, dan warga tidak punya mata pengcaharian karena perusahaan penebang kayu hengkang dari kampungnya.

Tidak ingin hal serupa terjadi dan bisa mendapatkan penghasilan yang berkesibambungan, bersama 564 Kepala Keluarga warga Kampung Linggang Melapeh, Kutai Barat, Kalimatan Timur, menolak kehadiran perusahaan dan menanam sawit di area yang dahulu habis diambil kayunya.

Kampung tersebut, oleh pemerintah Daerah Kutai Barat, sudah ditetapkan sebagai kampung kawasan produksi sawit. Bahkan, dua tahun lalu, warga pernah diberi bibit sawit, untuk ditaman di area perkembunannya. "Kami menokal, dan serahkan bibit ke kampung sebelah. Memang sawit menjanjikan secara ekonomi. Tapi kami tidak mau," kata Kepala Adat Kampung Yovenalis Syahdan.

Rata-rata saat ini, warga memiliki minimal 3 hektar lahan yang ditanami karet serta ladang padi yang ditaman satu tahun sekali. Warga memilih karet, dengan alasan lahan masih digarap sendiri dan mengenal pasar karet. "Warga mulai menanam karet, saat kayu hutan sudah habis," ujarnya.

Selain itu, ditolaknya sawit, menurut Yovenalis, karena bagi hasil yang diberikan pada warga yang memiliki lahan hanya 80 berbanding 20 persen. Dengan rincian, 20 persen diberikan pada warga dan 80 persen untuk perusahaan. 20 persen yang diberikan pada warga dipotong untuk biaya operasional dan lainnya.

 

kali dilihat