Kembali Bekerja Usai Kecelakaan Mendera

Independen --- Kecelakaan itu berawal ketika mesin ngadat di Oktober 2018. Pabrik terpaksa menyetel ulang mesin yang mogok agar roda produksi tak berhenti. Fiki Maizal Candra yang bertugas di waktu piket malam saat itu sudah siap-siap ketika mesin hendak kembali dinyalakan. Tanpa terduga, kaki karyawan PT Inkoasku ini tertarik dan akhirnya terjepit. Rupanya, saat itu posisi kakinya salah.

Fiki yang kesakitan segera dilarikan ke Rumah Sakit Satya Negara. Jiwanya tertolong namun pekerja pabrik di kawasan Sunter, Jakarta Utara ini harus kehilangan kaki kiri. Bagian bawah lutut kakinya terpaksa diamputasi akibat kecelakaan itu.

Kehilangan kaki kiri tak otomatis menyebabkan Fiki kehilangan pekerjaan. Karyawan produsen velg mobil di kawasan Sunter, Jakarta Utara ini tetap bisa mencari nafkah setelah menjalani perawatan. Setelah menjalani pemulihan di rumah sakit, Fiki pun kembali bekerja di perusahaan semula dengan kaki palsu. Semua biaya dari kecelakaan sampai latihan menggunakan kaki palsu ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Fiki bisa kembali bekerja berkat program Kembali Kerja atau Return to Work (RTW) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Program RTW merupakan penambahan manfaat bagi peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Program ini ditujukan bagi pekerja yang mengalami cacat permanen akibat kecelakaan kerja tetapi masih dimungkinkan untuk bekerja kembali. Misalnya, pekerja yang tangan atau kakinya yang diamputasi namun berpeluang bekerja kembali jika mendapatkan kaki atau tangan palsu.

Di masa pandemi Covid-19, program RTW juga diberikan kepada tenaga kerja di bidang kesehatan. Misalnya tenaga kesehatan yang mengalami gangguan pernapasan setelah dinyatakan sembuh maka bisa saja mengikuti program RTW untuk melatih mengembalikan fungsi organ pernafasanya. Ini juga berlaku untuk gangguan fisik lain akibat Covid-19.

BPJS Ketenagakerjaan kemudian akan menawarkan pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja tersebut mengikuti program RTW. Sebelum mengikuti program itu, BPJS Ketenagakerjaan menilai dan merencanakan rehabilitasi sesuai saran dari dokter. Jika lolos, peserta RTW lalu dirujuk ke rumah sakit atau pusat rehabilitasi terdekat dari tempat tinggal.

Peserta RTW mendapat layanan psikologis dan sosial terlebih dahulu sebelum menjalani rehabilitasi fisik. “Ini tahap penting karena yang utama adalah psikologis peserta. Mereka dimotivasi untuk percaya diri dan mampu kembali bekerja,” ucap Krishna Syarif, Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan.

Setelah menerima layanan psikologis dan sosial, peserta RTW melalui tahapan rehabilitasi. Di tahap ini, peserta yang menderita cacat pada kaki hingga harus diamputasi akan mendapatkan kaki palsu. Begitu juga dengan tangan. Tergantung pada bagaimana pemeriksaan medis dan mereka akan mendapatkan layanan pemulihan atau latihan.

Selesai dari tahap rehabilitasi, peserta mengikuti vokasi atau pelatihan kerja yang sesuai dengan ketrampilan yang dibutuhkan perusahaan. Setelah pelatihan selesai, peserta kembali bekerja di perusahaan asal.

BPJS Ketenagakerjaan melakukan pengawasan selama peserta kembali bekerja di perusahaan. “Umumnya dari assessment sampai kembali bekerja dibutuhkan waktu sekitar enam bulan, tergantung kondisi setiap orang,” kata Krishna. Selama mengikuti program RTW ini, peserta tetap menerima gaji penuh ketentuan UU no 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) BPJS Ketenagakerjaan.  

Tapi tidak semua peserta mesti melalui prosedur seperti di atas. Fiki mengikuti program RTW pada bulan Oktober 2018 dan sudah kembali masuk bekerja pada Februari 2019. Selama empat bulan, Fiki menjalani tahap konsultasi psikologi lalu tahap rehabilitasi dan latihan. Di tahap ini, Fiki melatih kakinya agar terbiasa dengan kaki palsu. “Saya tidak ikut tahap vokasi atau pelatihan karena merasa tidak butuh dan masih bisa bekerja di posisi semula,” kata Fiki yang bekerja di bagian pengecatan.

Fiki mengakui, tahapan yang paling kritis justru di penguatan mental. Sebab, dia menilai pekerja yang mengalami kecelakaan kerja perlu penguatan mental. Hal ini berdasarkan pengalamannya dan kesaksian dari teman-teman peserta RTW.

“Saya pernah diajak BPJS untuk mengunjungi pekerja yang baru mengalami kecelakaan kerja dan mentalnya jatuh sampai tidak mau bicara. Saya diminta membantu menguatkan mentalnya. Mungkin karena saya sesama pekerja yang mengalami kecelakaan sehingga bisa memberi semangat,” ujar Fiki.

Fiki menilai program RTW sebagai hal yang positif karena BPJS Ketenagakerjaan membantu pekerja yang mengalami kecelakaan baik secara fisik maupun psikologis. Menurutnya, BPJS Ketenagakerjaan juga cukup luwes dalam kasus tertentu.

Dia mencontohkan kasus dirinya. Fiki mengaku mendapatkan jatah kaki palsu kualitas yang bagus dan gratis dari BPJS Ketenagakerjaan. Namun, karena ingin mendapatkan kaki palsu yang lebih baik lagi, Fiki menambah biaya sekitar Rp 30 juta. “Maka saya tinggal menambahkan kekurangannya dari platform BPJS,” kata Fiki yang mengaku harga kaki palsunya itu di atas Rp 100 juta.

PT Inkoasku, tempat Fiki bekerja, merasakan manfaat program RTW ini. Meskipun jarang terjadi kecelakaan berat, anak usaha Astra Group ini merasa terbantu dengan program RTW ini. “Prinsip kami, kalau ada pekerja yang mengalami kecelakaan mesti dibantu semaksimal mungkin,” kata Agus M. Prianto, Kepala Divisi Human Resource Departement PT Inkoasku.

Agus mengatakan, selama pekerja menjalani rehabilitasi perusahaan tetap membayar gaji si pekerja. Pembayaran gaji ini kemudian akan diklaim ke BPJS Ketenagakerjaan. Dia menilai tidak ada kendala berarti selama berhubungan dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam kasus-kasus tersebut. “Biasanya kecelakaan lalu lintas, oleh masyarakat langsung dibawa ke klinik atau rumah sakit terdekat. Ini memang biasanya butuh prosedur saat pengurusan tapi sejauh ini lancar saja,” paparnya.

 

Tergantung komitmen perusahaan

Kasus kecelakaan kerja cukup banyak terjadi. BPJS Ketenagakerjaan mencatat ada 5.801 kecelakaan kerja kategori berat, yang terdiri 2.907 cacat fungsi, 2.801 cacat anatomi dan 30 cacat total pada 2019 lalu.

Dari semua kasus kecelakaaan berat tersebut, tidak semua masuk dalam program RTW. Krishna menjelaskan, seorang pekerja kehilangan satu jari akibat kecelakaan (cacat anatomi) tetapi tidak mengganggu dalam pekerjaan maka bisa langsung lanjut kembali bekerja tanpa harus ikut program RTW. Sebaliknya jika pekerja cacat total yang mengakibatkan sama sekali tidak bisa bekerja, maka pekerja tersebut di-PHK dengan santunan cacat.

Dan semua yang mengikuti program RTW juga belum tentu bisa bekerja kembali. Data BPJS Ketenagakerjaan pada September 2020 lalu, ada 969 peserta RTW dan dari jumlah itu sudah 810 orang kembali bekerja.

Keputusan mengikuti program RTW ini juga sangat tergantung dari komitmen perusahaan. Sebab, manfaat JKK bisa berjalan jika perusahaan melaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Jika perusahaan tidak melapor, peserta tidak bisa mendapatkan manfaat dari JKK ini.

“Ini salah satu kekurangan dari BPJS Ketenagakerjaan yang perlu diperbaiki. Sebaiknya dibuatlah ruang dimana pekerja bisa melaporkan ketika perusahaan tidak mau melaporkan,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar.

Menurut Timboel, masih ada saja perusahaan yang mementingkan citra daripada layanan pada pekerja. Sehingga jika ada kecelakaan kerja dan bisa menangani pengobatannya maka, dia mengatakan kasusnya tidak dilaporkan. Lain halnya jika terjadi kecelakaan berat. Menurut Timboel, perusahaan biasanya akan melaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan karena biaya medis dan pemulihan yang cukup besar.

Timboel pernah menangani kasus di mana perusahaan enggan melaporkan kasus kecelakaan kerja ke BPJS Ketenagakerjaa. Pada tahap awal, dia bercerita perusahaan mengurus biaya pengobatan namun berhenti di tengah jalan karena pemulihannya harus berjalan setahun lebih. “Perusahaan tidak mau melanjutkan dan tidak mau lapor ke BPJS. Sehingga pekerja tidak mendapatkan haknya,” katanya.

BPJS Ketenagakerjaan mengakui adanya masalah ini. Krishna berdalih sesuai peraturan yang bisa melaporkan kecelakaan kerja hanyalah pihak perusahaan. “Namun pekerja dan rumah sakit bisa memberi tahu kepada kami dan kemudian akan menindaklanjuti ke perusahaan,” ujarnya.

Begitu juga dengan program RTW. Peserta RTW bisa kembali bekerja jika perusahaan bersedia menerima karyawan yang cacat permanen. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan, sebanyak 95% peserta RTW memang kembali ke perusahaan semula, sisanya berhenti bekerja dan berwiraswasta.

Hingga saat ini, belum ada skema peserta RTW bekerja di perusahaan lain. Artinya jika di awal penilaian, perusahaan tidak berkomitmen mempekerjakan kembali maka program RTW tidak akan berjalan.

Problem lain adalah jika perusahaan melakukan kecurangan dengan hanya mengikutsertakan sebagian pekerjanya pada BPJS Ketenagakerjaan, atau sering disebut perusahaan daftar sebagian (PDS). Ini salah satu praktik curang yang sering dilakukan perusahaan hanya untuk sekedar mengikuti peraturan pemerintah bahwa perusahaan wajib mengikuti BPJS Ketenagakerjaan.

Kecurangan ini pernah terkuak ketika tragedi kebakaran sebuah pabrik korek api (mancis) pada Juni 2019 lalu di Binjai Utara, Sumatera Utara. Kebakaran pabrik ini memakan korban jiwa 30 orang yang terdiri 27 orang dewasa dan tiga orang anak-anak. Dari 30 orang yang jadi korban itu, hanya dua nama saja yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Timboel mengatakan, praktik mendaftarkan sebagian karyawan ke BPJS Ketenagakerjaan ini banyak terjadi. Sehingga dia menilai, kasus-kasus individu seringkali pekerja tidak tahu hak-haknya. Oleh karena itu Timboel mendesak BPJS Ketenagakerjaan mensosialisasikan hak-hak pekerja khususnya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) lebih masif.

Direktur Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang mengakui, isu kesehatan dan keselamatan kerja pekerja masih menjadi isu minor bagi pemerintah maupun serikat buruh sendiri. Padahal, dia menilai isu kesehatan dan keselamatan seringkali menjadi masalah bagi pekerja. “Isu nasional yang sering muncul adalah isu upah dan kontrak kerja,“ tegasnya.

TURC mengendus beberapa modus curang yang dilakukan perusahaan. Selain PDS, Andriko mengatakan modus lainnya  adalah perusahaan melaporkan gaji/upah yang lebih rendah dari pada riilnya agar mendapatkan nilai premi yang lebih rendah. Modus lainnya adalah tidak mendaftarkan sama sekali pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan karena upahnya di bawah Upah Minimum Regional (UMR). BPJS Ketenagakerjaan sendiri mensyaratkan upah harus minimal UMR agar bisa menjadi peserta BPJS.

Belajar dari kasus pabrik korek api di Binjai, Andriko menilai kelemahannya ada pada pengawasan. Ketika malapetaka itu datang, Andriko mengatakan proses pengetesan korek api tidak sesuai dengan prosedur keselamatan. Menurutnya, setiap pabrik semestinya memiliki Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja namun pada praktiknya tidak. “Salah satu sebabnya adalah kurangnya tenaga pengawas dari Kementerian Tenaga Kerja sehingga peraturan kurang bisa ditegakkan,” ucapnya.

Hal ini diakui oleh Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah. Data di Kementerian Tenaga Kerja jumlah pengawas tenaga kerja hanya 1.574 orang. Sedangkan perusahaan yang harus diawasi sebanyak 252.880 dengan jumlah pekerja lebih dari 13,13 juta orang. Perbandingan ini membuat pengawasan seringkali tidak maksimal.

“Dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan saat ini yang hanya sekitar 1.574 orang, pengawas hanya mampu mengawasi 103.680 perusahaan atau 40,9 persen dari jumlah perusahaan,” kata Ida Fauziah, dikutip dari laman Kemnaker.go.id. (D02)

kali dilihat