Akhir November menuju awal Desember 2015. Musim penghujan tiba. Saya bersama Lendi Bambang dan rekan Kontras Feri Kusuma bertolak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Kami naik pesawat Garuda Indonesia dengan waktu tempuh 2 jam 22 menit.
Kedatangan kami ke Banda Aceh disambut guyuran hujan deras. Misi kami ke Aceh jelas. Napak tilas dan pendokumentasian beberapa wilayah bekas pembantaian massal semasa Daerah Operasi Militer dan darurat militer di Aceh kurun 1989-2005.
Ini pertama kali saya mengunjungi Aceh, sekitar 10 tahun sejak masa damai pada 2005 atau 11 tahun setelah peristiwa bencana tsunami pada 26 Desember 2004. Di mata saya, Aceh merupakan wilayah bekas konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan TNI semasa pemberlakuan darurat militer. Pada sisi budaya saya mengenal Aceh lewat tarian Saman. Aceh yang saya lihat hanya sebatas itu.
Akan tetapi, semua pandangan mengenai Aceh berubah saat sampai di lokasi. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pertama yakni di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan, kami menemui keindahan lanskap alam. Pantai biru di daerah Tapak Tuan, hutan lindung di kanan kiri jalan dan aliran sungai khas pedesaan. Perjalanan menuju Desa Jambo Keupok sekitar 13 jam, dan merupakan waktu tempuh terlama selama berada di Aceh.