7 Kearifan Lokal Indonesia dalam Menjaga Alam

Oleh: Ais Fahira 

INDEPENDEN-  Sumber daya alam Indonesia begitu melimpah mulai dari hutan tropis, laut, gunung, hingga sungai yang menopang kehidupan. Di tengah kekayaan itu, masyarakat adat di Indonesia memiliki cara masing-masing untuk menjaga alam. Dari sekian banyak masyarakat adat, berikut ini tujuh kearifan lokal yang patut kita ketahui sebagai contoh bagaimana masyarakat adat menjaga alam tetap lestari.

1. Subak (Bali)

Subak adalah sistem irigasi tradisional di Bali yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Para ahli memperkirakan pertanian di Bali sudah berkembang sekitar tahun 600 M. Berdasarkan prasasti tahun 800 Saka (882 M), ditemukan kata makah aser yang berarti pekaseh atau pemimpin pengairan. Bukti lain menunjukkan subak telah beroperasi pada tahun 892 M dan terus berjalan hingga sekitar 1022 M.

Subak lahir dari kepentingan bersama para petani untuk mengatur kebutuhan air sawah yang bersumber dari mata air dan sungai. Melalui subak, pembagian air dilakukan secara adil dan kolektif sehingga petani tidak saling berebut. Sistem ini memastikan pertanian tetap produktif sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem. Karena nilainya yang tinggi, UNESCO menetapkan subak sebagai Warisan Budaya Dunia.

2. Sasi (Maluku & Papua)

Di Maluku dan Papua, masyarakat adat punya tradisi bernama sasi, yang berarti “larangan.” Tradisi ini berupa aturan adat yang melarang mengambil hasil laut, hutan, atau sungai dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, saat masa sasi berlaku, warga dilarang menangkap ikan, mengambil teripang, atau memanen kelapa. Untuk memastikan aturan dipatuhi, ada petugas adat yang disebut kewang yang berperan seperti polisi hutan atau penjaga laut.

Sasi berlaku bukan hanya untuk individu, tapi untuk seluruh kelompok masyarakat. Hukuman bagi pelanggar bisa berupa denda atau menyerahkan hasil tangkapan kepada negeri (desa adat). Dengan adanya sasi, masyarakat memberi kesempatan bagi alam untuk pulih dan biota berkembang kembali.

3. Repong Damar (Krui, Lampung)

Repong damar adalah sistem agroforestri yang dikembangkan masyarakat Pesisir Krui, Lampung. Pengelolaannya dilakukan melalui tiga fase: darak atau pembukaan lahan, kebun yaitu penanaman bibit pohon produktif seperti damar, duku, durian, dan jengkol, lalu fase repong ketika kebun sudah menyerupai hutan alami dan damar berusia lebih dari lima belas tahun sehingga siap disadap. 

Masyarakat percaya bahwa jika tahapan ini dilanggar, hasil getah damar akan buruk dan bisa mendatangkan bala. Hukum adat pun menegaskan bahwa pohon damar tidak boleh ditebang sebelum mencapai umur tertentu, dan pelanggar wajib menanam kembali bibit damar di lahan yang sama. Tradisi ini diwariskan turun-temurun. Petani menanam damar bersama tanaman lain seperti kopi, pisang, dan berbagai buah-buahan. 

4. Lilifuk (Pesisir Kupang, Nusa Tenggara Timur)

Lilifuk adalah tradisi adat masyarakat Timor dalam menangkap ikan dengan cara ramah lingkungan. Istilah ini berasal dari bahasa Dawan, nifu, yang berarti kolam. Sesuai namanya, lilifuk adalah cekungan besar di dasar pantai yang terisi air saat pasang, lalu saat surut berubah seperti kolam alami. Di dalamnya terkumpul berbagai biota laut, mulai dari ikan lada, ikan dusung, sampai rumput laut. Cekungan ini bisa mencapai kedalaman lima meter dengan luas sekitar 20.000 meter persegi, sehingga jadi “lumbung laut” alami bagi warga.

Pengelolaannya diatur oleh Suku Baineo sebagai pemilik wilayah. Panen hanya boleh dilakukan sekali setahun, tepatnya bulan Desember, dalam tradisi yang disebut tut nifu. Warga desa dan tetangga diundang bersama-sama, tapi di luar waktu itu tidak ada yang boleh mengambil hasil laut dari lilifuk. Saat panen, alat tangkap yang digunakan juga harus sederhana agar kolam tetap terjaga. Sebagian hasil tangkapan diberikan kepada Suku Baineo sebagai upeti (tanaib ika), dan siapa pun yang melanggar aturan adat dikenai denda. Dengan cara ini, lilifuk bukan sekadar sumber pangan, tapi juga bukti kearifan lokal dalam menjaga laut sekaligus mempererat ikatan sosial masyarakat

5. Arat Sabulungan (Mentawai, Sumatera Barat)

Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli Suku Mentawai yang meyakini bahwa semua benda di alam—pohon, batu, sungai—memiliki roh. Karena itu, setiap kegiatan yang berhubungan dengan alam, seperti menebang pohon atau berburu, selalu diawali dengan ritual khusus sebagai bentuk penghormatan. 

Dalam praktiknya, Arat Sabulungan memiliki enam aturan utama yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam, yaitu kei-kei (tabu atau larangan), tulou (denda), alak toga (mas kawin), panaki (ritual meminta izin), punen (pesta adat), serta leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat). Semua aturan ini berfungsi sebagai pedoman agar hubungan manusia dengan alam tetap harmonis.

Masyarakat percaya bahwa merusak hutan atau laut akan mengganggu keseimbangan hidup karena roh penjaganya akan marah. Itu sebabnya menebang pohon sembarangan, meracuni sungai, atau berburu tanpa alasan jelas dianggap pelanggaran adat.

6. Tana Ulen (Dayak Kenyah, Kalimantan Timur)

Tana Ulen adalah hutan larangan adat masyarakat Dayak, khususnya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. “Tana” berarti tanah, sementara “ulen” berarti larangan. Jadi, Tana Ulen adalah kawasan hutan yang ditetapkan secara adat sebagai wilayah yang tidak boleh diganggu sembarangan. Di dalamnya ada hutan, sungai, dan sumber daya alam lain yang dijaga ketat karena dianggap sumber kehidupan bersama.

Pengelolaan Tana Ulen dilakukan oleh lembaga adat. Masyarakat dilarang menebang pohon, berburu, atau mengambil hasil hutan tanpa izin. Jika ada yang melanggar, dikenakan sanksi adat berupa denda. Hanya pada waktu tertentu atau untuk keperluan bersama—misalnya pesta adat atau keadaan darurat—hasil hutan boleh dimanfaatkan. Tradisi ini memastikan hutan tetap utuh dan berfungsi sebagai sumber air, pangan, dan obat-obatan.

7. Masyarakat Baduy (Banten)

Masyarakat Baduy di Banten punya aturan adat ketat dalam menjaga alam. Kehidupan mereka berpusat pada pertanian (ngahuma) dan pemeliharaan hutan. Tata guna lahan dibagi menjadi pemukiman, ladang, dan hutan tetap. Hutan tetap seperti leuweung kolot atau hutan keramat di sekitar mata air dan gunung dilindungi adat dan tidak boleh diganggu.

Dalam bercocok tanam, orang Baduy memakai sistem ladang berpindah tanpa membakar lahan, memberi waktu tanah untuk pulih kembali. Sungai dijaga tetap bersih, sementara aturan adat melarang perusakan alam karena dianggap melawan perintah leluhur. Dengan pola hidup sederhana dan penuh hormat pada lingkungan, masyarakat Baduy berhasil menjaga hutan mereka tetap lestari. 

Tujuh kearifan lokal ini menunjukkan betapa masyarakat adat di berbagai penjuru nusantara sudah lama hidup selaras dengan lingkungannya. Kita bisa belajar dari leluhur yang tak pernah lelah menjaga keseimbangan dengan alam. Mereka mengajarkan bahwa bumi bukan untuk dieksploitasi, tapi dirawat agar tetap memberi kehidupan bagi generasi berikutnya. Jika kearifan lokal dipelihara dan dipadukan dengan ilmu modern, Indonesia mungkin bisa bertahan menghadapi krisis iklim.

kali dilihat