Pengadilan Jayapura Tolak Permohonan Praperadilan Victor Mambor

Independen- Pengadilan Negeri Jayapura menolak permohonan Pra Peradilan atas penghentian penyidikan kasus teror bom terhadap jurnalis Jubi, Victor Mambor. Putusan atas perkara Praperadilan dengan nomor perkara 5/Pid.Pra/2024/PN Jap, dibacakan Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jayapura, Zaka Talpatty, Senin (08/07/2024).  

“Permohonan dari pemohon praperadilan seluruhnya ditolak," kata Hakim, Zaka Talpatty. 

Dalam putusannya, Hakim Zaka Talpatty mengatakan dari alat bukti yang dikumpulkan penyidik secara kualitas belum memenuhi dua alat bukti untuk menentukan pelaku peledakan bahan serupa bom di depan rumah Victor Mambor.

Hakim menilai penyidik telah mengumpulkan lebih dari dua alat bukti, namun alat bukti tersebut tidak memenuhi nilai sebagai alat bukti.

Sehingga penghentian penyidikan yang tertuang dalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor SPPP/8/III/2024/Reskrim tertanggal 1 Maret 2024 oleh Kepolisian Sektor Jayapura Utara, telah sesuai dengan prosedur formalitas yang berlaku, dan secara materiil. Penghentian penyidikan itu telah sesuai dengan alasan-alasan termuat Pasal 109 ayat 2 KUHP, khususnya syarat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.

“Termohon telah dapat membuktikan dalil bantahannya, sedangkan pihak pemohon tidak dapat membantah dalil termohon. Dari pertimbangan di atas maka gugatan pemohon tidak beralasan hukum sehingga harus ditolak untuk seluruhnya,” imbuh Zaka.

Ia menyatakan penghentian penyidikan yang dilakukan polisi telah sesuai dengan surat perintah penghentian penyidikan Nomor S.Tap/III/2024/Reskrim tanggal 1 Maret 2024 dan Surat Ketetapan Nomor: S.PPP/8/III/2024/Reskrim tanggal 1 Maret 2024 tentang Penghentian Penyidikan adalah sah menurut hukum.

“Sehingga hakim berpendapat penghentian penyidikan yang dilakukan oleh termohon adalah sah menurut hukum,” ucap Zaka.

Penyidikan Dapat Dibuka Kembali

Meskipun begitu, Zaka mengungkapkan penghentian penyidikan telah dinyatakan sah menurut hukum, tidak menutup kemungkinan pemeriksaan perkara ini dibuka kembali. Ia pun menyatakan kasus ledakan bahan yang diduga bom di dekat rumah Victor Mambor dapat dibuka Kembali jika ditemukan dua alat bukti permulaan yang cukup di kemudian hari.

Zaka menyatakan adanya kekhawatiran pemohon bahwa peledakan adalah ancaman terhadap pemohon terkait dengan pekerjaan sebagai jurnalis. Menurut dia, hal tersebut perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh pemohon dengan sistem keamanan diri maupun di kediamannya.

Lebih lanjut, Zaka memerintahkan aparat kepolisian sebagai pengayom masyarakat, tentu juga perlu memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman dan memberikan ketenteraman bagi masyarakat, termasuk diri pemohon.

Usai persidangan kuasa hukum Victor Mambor dari dari Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Perhimpunan Bantuan Hukum Pers Tanah Papua, Simon Pattiradjawane SH mengatakan pihaknya menghormati putusan hakim. Simon berharap pihak kepolisian harus menemukan pelakunya.

“Kami sudah punya keterangan ahli [dan] berbalik belakang dengan ahli yang kita hadirkan [yang menyatakan] ledakan tersebut adalah tindak pidana yang harus polisi temukan pelakunya. Permohonan kami ditolak, tapi siapa pun [yang] punya informasi terkait siapa pelakunya bisa lapor,” ungkap Simon.

Kerentanan Jurnalis

Sementara itu, Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw menyatakan menghormati putusan hakim. Akan tetapi dia menegaskan bahwa ancaman terhadap Victor Mambor itu nyata dan tidak main-main.

“Kami menghormati hukum, hakim sudah memutuskan dengan dalil-dalil yang sudah disampaikan tadi. Kami mendampingi dan melapor kepada polisi, (karena) kami berharap proses hukum harus dilakukan, dan (polisi) menemukan pelakunya. Kejadian yang terjadi di rumah Pak Victor Mambor itu bukan (teror) yang pertama, itu (teror) yang kedua. Berarti ini ancaman bukan main-main, ini ancaman sangat nyata,” ujar Ireeuw kepada wartawan.

Ireeuw menambahkan, sebenarnya tugas polisilah yang mencari alat bukti. Menurut dia, gugatan yang diajukan atas penghentian penyidikan kasus teror bom terhadap Victor Mambor itu dilakukan sebagai pelajaran bahwa polisi tidak bisa secara sepihak menghentikan kasus.

“Sebenarnya tugas polisi untuk mencari barang bukti. Tapi kalau hakim sampaikan barang bukti lemah kami, mau bikin apa? Tapi menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa proses itu harus dilakukan, supaya polisi [tidak] menghentikan secara sepihak kasus siapa saja, termasuk jurnalis. Kita sayangkan kasus itu di-SP3 kan,” papar Ireeuw.

Ireeuw pun mengingatkan, jurnalis sangat rentan mendapat ancaman. Ada berbagai macam kekerasan yang dialami jurnalis di Tanah Papua, baik dalam bentuk kasus kekerasan fisik, perampasan alat kerja, kekerasan psikis, doxing atau penyingkapan identitas pribadi di media sosial, teror bom, teror dan perusakan mobil, hingga kekerasan seksual verbal.

“Kami menguji apakah polisi dapat mengungkap kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan membawanya ke ranah hukum,” tukas Ireeuw.

Lucky Ireeuw melanjutkan, kerja-kerja jurnalis perlu mendapatkan perlindungan.

“Kami sudah berupaya melakukan upaya hukum, tetapi (proses hukum itu) berhenti (karena SP3). Kami berharap ada perlindungan (yang) lebih (baik) kepada jurnalis (yang) melakukan tugasnya di lapangan,” katanya.

Terpisah, Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin mengaku menyayangkan Hakim tidak melihat kasus ini secara menyeluruh.

Di dalam persidangan, Ade mengatakan pihaknya menilai peledakan bom molotov tersebut adalah sebuah tindak pidana sudah terbukti, namun hanya karena penyidik belum menemukan tersangka dengan alasan bukti dan saksi yang sangat minim, penyidikan bom molotov ini dihentikan. Ketidakmampuan menemukan pelaku, harusnya tidak menjadi alasan penyidik serta Hakim menyatakan penghentian penyidikan perkara tersebut sah dilakukan.

"Putusan ini juga sangat disayangkan karena dengan putusan ini dikhawatirkan menjadi preseden kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sulit untuk dibawa ke meja hijau. Keadilan bagi jurnalis semakin menjauh," pungkasnya.

kali dilihat