Oleh : Bambang Arifianto
Independen- Rumah-rumah yang berderet di atas bukit itu baru setahun dibangun. Atap berbagai warna dan cat dinding juga tampak belum lama melumuri tempat-tempat tinggal permanen tersebut. Beberapa rumah juga dibangun bertingkat atau memiliki loteng. Sekilas, keberadaan rumah-rumah baru tersebut mirip perumahan di wilayah kota.
Padahal, deretan tempat tinggal itu berada area pucuk bukit dengan pemandangan lembah, jurang dan hutan yang mengelilinginya. Musabab apa yang membuat rumah-rumah dengan arsitektur kekinian itu bisa menclok di atas bukit? Rupanya, rumah-rumah tersebut dibangun sejumlah warga Kampung Lembursawah, Desa Sukaresmi, Kecamatan Rongga, KBB yang tergusur proyek bendungan PLTA Upper Cisokan. Mereka pindah setelah pembebasan lahan dan rumah rampung pada 2022.
Lokasi baru yang ditempati warga gusuran itu dikenal dengan nama Babakan Bandung. Letaknya berada di atas bukit dan berjarak sekitar dua kilometer dari Lembursawah yang berlokasi di lembah. Terdapat beberapa gelombang perpindahan warga gusuran dari Lembursawah, seperti pada 2016 dan 2022. Toto, 60 tahun merupakan salah satu warga gusuran Lembursawah yang pindah ke Babakan Bandung pada 2022.
Memiliki rumah permanen dan cukup besar hasil dari uang ganti rugi, ternyata tak dibarengi ketersediaan air yang cukup. Ia kesulitan memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Toto mengandalkan pasokan air yang disedot menggunakan pompa dari sumur gali yang berada di bawah rumahnya. Namun, kondisi air sumur tersebut keruh dan debitnya sangat kecil.
Sekali menyedot, ia mengaku hanya bisa mengisi setengah tempat penampungan airnya dengan kondisi air kotor. Sumur juga dipakai warga gusuran lainnya di Babakan Bandung. Akibatnya, penyedotan dilakukan bergantian. Sementara sumber air tersebut dipakai sekitar delapan keluarga. "Ayeuna ngala cai, 2-3 dinten teu diala (Sekarang saya menyedot air, 2-3 hari kemudian tak menyedot dulu)," kata Toto saat ditemui di Babakan Bandung, Sabtu (23/9/2023). Pengambilan air memang tak bisa dilakukan bersamaan. Jika warga serentak menyedot dalam satu waktu, sumur dipastikan kerontang.
Karena air sumur tak mencukupi dan keruh, ia terpaksa mengandalkan sumber air lain yang berada tak jauh dari sumur gali itu. Meskipun kedalamannya cetek, sumber air disebut warga sebagai sumur. Dua sumber tersebut juga dipakai warga untuk kebutuhan minum.
Jarak sumur kedua dari kawasan permukiman warga itu mencapai 150 meter dengan medan curam karena berada di lereng bukit. Sumur tersebut hanya berupa genangan air resapan yang juga terbatas dan dipakai warga bergiliran untuk mandi dan mencuci. Sulitnya memperoleh air dirasakan warga sejak mereka menempati rumah barunya pada 2022.
Keadaan berbeda dialami warga saat masih berada di Lembursawah. "Lembursawah mah seueur, sadidinten ngocor (Air di Lembursawah banyak, ngocor terus setiap hari)," ujarnya. Di kampung asal, warga memanfaatkan mata air yang jernih dan digelontorkan ke bak-bak warga menggunakan selang. Kini, rumah bagus dan besar hasil uang penggusuran malah melahirkan ironi karena pemiliknya mengalami krisis air.
Sebetulnya, sumur bor juga ada ada di Babakan Bandung sebagai bantuan dari PLN dan dikelola warga. Kendati bantuan, warga tak serta merta memperoleh air itu dengan gratis. Warga tetap membayar sesuai jumlah penggunaan air dari sumur bor tersebut. Toto juga tak ikut memakai pasokan air dari sumur bor tersebut. Selain tak cuma-cuma, Toto harus merogoh kocek lebih dalam luntuk memasang dan menyambungkan pipa yang biayanya tak murah. Apalagi jarak dari rumahnya dengan sumur bor itu mencapai sekitar 500 meter. Tak pelak, ia mesti membeli pipa, meteran air hingga membiayai pengerjaan pemasangannya.
Betul, ia memang memiliki rumah yang bagus di tempat barunya. Kediaman yang jauh berbeda ketimbang saat Toto tinggal di kampung asalnya, Lembursawah yang hanya berupa rumah semi permanen. Namun, tetap saja penghasilannya terbatas. Toto merupakan petani penggarap alias tak memiliki lahan sendiri. Saat di Lembursawah, ia cuma menggarap sawah milik orang tuanya.
Kala tergusur dan pindah ke Babakan Bandung, statusnya pekerjaannya tetap sama. Kini, Toto menjadi petani huma yang menggarap lahan Perhutani. Sebagi petani tak bertanah, Toto pun hanya memperoleh uang ganti rugi penggusuran rumahnya seluas 12 x 5 meter senilai Rp 200 juta. Uang itu pula yang dipakai untuk membangun rumah barunya di Babakan Bandung. Ia membangun kediamannya di lahan yang telah dibeli mertuanya yang ikut tergusur di Lembursawah.
Air Berbayar
Kepindahan warga Lembursawah ke Babakan Bandung juga mengubah relasi mereka dengan air. Air yang mulanya berlimpah, gratis berubah berbayar bagi sejumlah warga yang memakai sumur bor. Salah satunya adalah Asep Suherman, 51 tahun. Pria yang akrab dipanggil Uus itu menjabat Ketua RW 01 Lembursawah. Ia pindah ke Babakan Bandung pada 2022. Uus saat ini memperoleh pasokan air dari sumur bor bantuan tersebut.
Keadaan warga pengguna sumur bor setali tiga uang dengan pemakai sumur gali. "Sapertos parebutan (Warga pemakai sumur bor seperti saling berebutan)," kata Uus. Hal itu terjadi karena pipa penyaluran airnya yang saling bersambung antarwarga. Terkadang ada warga yang bak air terisi penuh, namun ada juga yang sebaliknya. Warga yang bermukim paling dekat dengan sumur borlah yang paling enak. Begitu listrik pompa dinyalakan, ia terlebih dulu memperoleh air.
Sementara warga pengguna sumur bor lain yang berada di belakangnya, cuma kebagian sedikit air. Soalnya, saluran pipa masih dipakai warga di barisan paling depan yang dekat sumur bor. Imbasnya, warga saling balapan menghidupkan listrik pompa dan segera mengisi bak airnya. Pembagian air akhirnya jadi tak merata. "Kadang ieu pinuh, kadang ieu henteu (Kadang ada warga yang bak penampungan airnya penuh, kadang ada yang tidak)," ucap Uus. Konflik antarwarga pemakai sumur bor pun terkadang terjadi meskipun bisa direndam dan tak berkelanjutan.
Ia mengatakan, tak semua warga Babakan Bandung memakai sumur bor kendati ada tiga titik sumber air tersebut. Selain bantuan PLN, terdapat dua sumur bor lain, masing-masing di dekat masjid (dibangun melalui swadaya masyarakat) dan SD Negeri Girimukti. Namun, kondisi sumur bor dekat masjid juga tengah menyusut. Sementara sumur bor di SD tak bisa dipakai warga. Untuk sumur bor bantuan PLN, Uus memperkirakan warga pemakainya mencapai 30 keluarga. Sedangkan sumur bor swadaya warga dekat masjid digunakan 12 keluarga.
Sebagai bagian dari warga Lembursawah yang bedol kampung ke Babakan Bandung, ia tergusur dua kali. Awalnya, rumah semi permanen berbahan kayu dengan luas 65 meter persegi yang ditinggalinya tergusur proyek pada 2015. Ia memperoleh ganti rugi senilai Rp 70 juta. Ia tak mendapat ganti rugi sawah karena lahan tersebut milik orang tuanya. Lantaran masih memiliki lahan lain di Lembursawah, yang dipikirnya tak bakal tersentuh proyek, ia mendirikan rumah lagi.
Kenyataannya, Uus tergusur lagi pada 2022 hingga terpental ke Babakan Bandung. Dengan uang ganti rugi kedua yang mencapai Rp 400 juta untuk pembayaran rumah dan warungnya, Uus dan keluarga melanjutkan hidup di kampung barunya. Ia mendirikan rumah permanen yang luas bertingkat dua dengan biaya Rp 530 juta. Tentu saja, besaran ganti rugi untuk biaya membangun rumah tak cukup. Ia pun meminjam ke mertuanya guna mendirikan tempat tinggal barunya tersebut. Lembursawah memang tak memberikan kelimpahan harta. Namun, ada jaminan kebutuhan hidup yang paling vital, tak tergantikan oleh apapun dan diperoleh cuma-cuma di sana. Ya, air.
Catatan Editor : Berita ini dipublikasi ulang dari Pikiran Rakyat