Oleh: Rajif Duchlun
Independen- Siang yang menyengat kala itu, Roni Ila sudah di kebun. Ia menggenggam parang sembari diikuti anjing peliharaannya. Di atas lahannya yang asri, terdapat potensi panas bumi. Proyek besar ini akan tumbuh di kebunnya.
Jalan kebun itu bisa dilalui menggunakan sepeda motor. Tak jauh dari perkampungan. Jarakya sekitar 500 meter dari jalan utama desa.
Senin (11/12/2023), tim Halmaheranesia tiba di Desa Idamdehe, Kecamatan Jailolo, Halmahera Barat. Desa inilah yang akan menjadi titik utama kawasan industri panas bumi atau geotermal.
Roni tampak kikuk, sedikit canggung saat membicarakan rencana proyek panas bumi yang masuk di kebunnya. Pria 54 tahun itu menyahut pasrah. Ia tak bisa berbicara banyak.
“Tapi mau bagaimana kalau itu anjuran pemerintah, iko (ikut) saja,” ucap Roni, suaranya lirih, sangat pelan.
Lahannya sekitar 2 hektare. Di atas lahan ini, terhampar tanaman seperti kelapa dan pala yang menjadi penyambung hidup Roni dan keluarga.
Petani kelapa seperti Roni biasanya memperoleh hasilnya per kuartal atau per tiga bulan sesuai masa panen. Kelapa yang dijual ini sudah dalam bentuk kopra. Kopra adalah daging buah kelapa yang dikeringkan dengan cara diasapi.
Hasil panennya berdasarkan volume penjualan atau luas lahan yang dimiliki petani. Saat ini, 1 kilogram kopra harganya Rp 5.000 – Rp 6.000. Kalau mereka berhasil memanen 1 ton per kuartal, maka hasil pendapatannya sebesar Rp 5 juta hingga Rp 6 juta.
Sementara 1 kilogram pala kering atau hasil dijemur harganya Rp 60.000 – Rp 70.000 dan 1 kilogram fuli pala kering harganya Rp 115.000 – Rp 120.000. Penjualan hasil kebun itulah yang membuat dapur Roni terus berasap.
Kendati patuh saja pada kebijakan pemerintah, Roni sebetulnya merasa berat melepaskan lahannya untuk proyek geotermal. Raut wajahnya sontak saja berubah, terpancar rasa khawatir sumber ekonominya akan berganti menjadi kawasan industri.
“Tong (kami) punya hidup kan harap (kebun) itu,” tuturnya.
Tapi nasib tanamannya sudah di ujung tanduk. Hari itu, Roni sendiri yang menunjuk langsung titik pengeboran yang ada di kebunnya. Di sana terdapat sebuah pipa kecil yang ditancapkan ke tanah, sebagai penanda titik pengeboran.
Ia mengaku, pipa itu dipasang langsung oleh pihak perusahan pengelola panas bumi.
Perusahaan itu bernama PT Geo Dipa Energi (GDE). Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini di bawah pembinaan dan pengawasan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Roni mengaku, ia sudah pernah bertemu langsung dengan pihak perusahaan. Pemasangan penanda titik bor itu pun atas persetujuannya. Ia juga sudah pernah mengikuti sosialisasi yang dibuat pihak perusahaan dan pemerintah daerah beberapa bulan sebelumnya.
Dalam sosialisasi tersebut, para petani maupun warga yang lahannya masuk di area proyek panas bumi akan mendapat kompensasi selama proses eksplorasi berjalan. Hal itu, kata dia, karena PT GDE hanya mengontrak lahan yang akan digunakan untuk kegiatan proyek panas bumi.
“Mereka hanya kontrak lahan. Bahasa (perusahaan) itu bukan ganti rugi, tapi ganti untung,” ucap Roni.
Hanya saja, ia tidak begitu mengetahui jelas yang dimaksud dengan ganti untung tersebut. Baginya, yang penting pemakaian lahan untuk proyek panas bumi tidak merugikannya. Sampai pemasangan penanda titik bor pun, belum ada pembicaraan mengenai berapa harga yang akan dilepas untuk lahan tersebut.
Pihak PT GDE sendiri memang sudah melakukan sosialisasi mengenai Proyek Strategis Nasional (PSN) ini di Idamdehe dan desa sekitar yang masuk di kawasan industri. Ada sebanyak 5 titik pengeboran, yakni 1 titik di Desa Bobo, dan 4 titik di Idamdehe. Namun, perusahaan akan mendahulukan tahapan eksplorasi untuk 2 titik di Idamdehe.
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1787 K/33/MEM/2007, peta kawasan kerja pertambangan panas bumi di Jailolo sebesar 13.580 hektare.
Disebutkan luas tersebut masuk di area penggunaan lain (APL). APL merupakan areal di luar kawasan hutan negara yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan di luar bidang kehutanan.
Namun, selain masuk APL, data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara menyebutkan peta kawasan kerja panas bumi sebesar 13.580 hektare itu juga masuk dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Direktur Walhi Maluku Utara, Faisal Ratuela, mengatakan APL adalah wilayah yang dimungkinkan warga untuk memiliki sertifikat hak milik, sehingga hadirnya investasi di wilayah APL akan berkonsekuensi terhadap ruang hidup warga.
“Dampak lingkungan itu tidak menyasar pemukiman saja, tetapi variabelnya ketika infrastruktur yang dibangun dengan skala yang besar, dalam waktu yang panjang, bisa mengambil satu kampung, dan mengambil kawasan hutan tersebut,” kata Faisal, Senin (01/01/2024).
Hal itu, kata dia, negara perlu mengevaluasi masuknya investasi di wilayah warga. Baginya, investasi selama ini justru tidak memberikan kesejahteraan antargenerasi, namun hanya dalam kurun waktu selama investasi itu berjalan.
Belum Punya AMDAL
PT GDE, melalui situs resminya menyebutkan, telah mengembangkan proyek panas bumi di dua wilayah, yaitu Dieng, Jawa Tengah, dan Patuha, Jawa Barat.
Selain itu, terdapat pula beberapa wilayah yang dalam proses pembangunan, di antaranya Candi Umbul Telomoyo di Jawa Tengah, Arjuno Welirang di Jawa Timur, Wae Sano, dan Nage di Nusa Tenggara Timur, Bittuang di Sulawesi Selatan, dan Jailolo, Maluku Utara.
Pemerintah menyebut potensi ini sebagai Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Di Desa Idamdehe potensi energi panas bumi ini mencapai 75 Megawatt (MW).
Data Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyebutkan Provinsi Maluku Utara dengan karakteristik kepulauan dan terdapat daerah dengan kategori 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) memiliki rasio elektrifikasi sebesar 96,27 persen atau masih terdapat 112 desa yang belum teraliri listrik.
Alasan itulah yang mendorong pemerintah memanfaatkan potensi panas bumi untuk mengatasi krisis listrik di Maluku Utara.
Pada tahun 2015, sebuah jurnal dari Brian L. Djumaty tentang masuknya industri panas bumi di Idamdehe yang diterbitkan Universitas Kristen Satya Wacana menyebutkan, penelitian terhadap panas bumi di Idamdehe sebenarnya telah dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak tahun 1960-an sampai tahun 1980-an.
Pada 2009, melalui persetujuan Kementerian ESDM dan Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba, PT Star Energy Geothermal Halmahera selaku pemenang tender telah ditunjuk melakukan pengelolaan panas bumi Jailolo yang meliputi kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi.
Namun, dalam tahapan eksplorasi, PT Star Energy memilih tidak melanjutkan ke tahap eksploitasi akibat tidak adanya kata sepakat soal harga jual beli listrik dengan pihak PT PLN.
Selanjutnya, pemerintah menugaskan PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) untuk pembiayaan eksplorasi. PT SMI menggunakan dana dari Kemenkeu dan dana hibah dari Bank Dunia.
Sementara PT GDE sebagai pelaksana teknis pengeboran dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) menjadi penanggung risiko, baik risiko eksplorasi, risiko politik, maupun risiko kesenjangan.
Dalam struktur pemegang saham PT GDE, Pemerintah Indonesia sebesar 94,5 persen, sedangkan PLN 5,5 persen.
Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Maluku Utara, Tunas Agung Jiwa Brata, pada Oktober 2023 melalui siaran pers menyampaikan, pembiayaan proyek geotermal di Halmahera Barat sebesar US$30 juta atau jika dirupiahkan mencapai Rp 476.520.000.000.
Ia mengatakan, hingga Oktober 2023 proyek ini telah sampai pada penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan- Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) Environmental and Social Impact Assessment atau Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA), dan dokumen turunan safeguards lainnya, seperti LARAP (Rencana Aksi Penyediaan Lahan dan Pemukiman Kembali atau Land Acquisition and Resettlement Action Plan).
“Sesuai rencana, diharapkan pada tahun 2024-2025 telah memasuki tahapan pengeboran sumur eksplorasi setelah melalui tahap persiapan dan desain,” kata Tunas Agung.
Jika melihat laporan Kemenkeu, maka pengambilan data lingkungan, sosial, musim hujan, serta kemarau untuk proyek ini dimulai pada Desember 2022, Juli-Agustus 2023.
Pada Oktober 2023 penyusunan UKL-UPL, ESIA, dan dokumen turunan lainnya. Pada Desember 2023, konsultasi publik hasil kajian ESIA dan Environmental and Social Management Plan atau Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMP).
Sementara Januari 2024, menuntaskan dokumen turunan lainnya. Mereka menargetkan pada Juni 2024 sudah pada tahapan persetujuan lingkungan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Barat, Adrijal Hena, mengatakan proses eksplorasi akan berlangsung tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tapi menggunakan dokumen UKL-UPL.
“Iya (AMDAL belum ada). Namanya kajian lingkungan ini, sekarang ini kan tahapan eksplorasi, belum eksploitasi. Eksplorasi itu ada berapa tahapan, itu kan diawali UKL-UPL, kemudian baru terakhir menuju ke AMDAL-nya, begitu,” ucap Adrijal Hena, saat dihubungi melalui aplikasi pesan singkat, Selasa, 2 Januari 2024.
Ia mengatakan, kegiatan panas bumi tentu membutuhkan AMDAL. Namun, prosesnya harus melalui tahapan demi tahapan. Adrijal justru menyarankan agar menanyakan perihal ini langsung ke pemerintah pusat.
“Secara rinci semua ada di Kementerian Lingkungan Hidup, torang (pemerintah daerah) hanya mendapatkan lampiran kerja,” katanya.
Ia mengaku, pernah turun sosialisasi bersama pihak perusahaan dan instansi terkait lainnnya di Idamdehe dan Bobo. Di sana, mereka menjelaskan tentang kehadiran PT. GDE.
Mengenai dampak proyek tersebut, ia menyarankan untuk bertanya ke pihak perusahaan.
“Yang jelasnya torang (dinas) ini mengawal, ketika dampak itu ada, torang mengawal untuk kembali ke rambu-rambu lingkungannya, kalaupun akibat dari dampak ini penanganannya tidak sesuai dengan norma-norma, ya torang koreksi bersama perusahaannya untuk ini tolong ditindaklanjuti, torang dengan masyarakat kan harus seirama,” jelasnya.
Nasib Pertanian, Perikanan, dan Tergerusnya Sejarah
Siang itu, Ade Putra (37 tahun), warga Idamdehe juga menemani tim Halmaheranesia melihat langsung lokasi yang akan menjadi titik pengeboran.
Tak ada aktivitas apa-apa di sana. Pepohonan kelapa terhampar luas, dan sejumlah pohon pala tumbuh berjarak.
Terik matahari benar-benar menyapu seantero kampung. Di bawah pohon pala, Ade bercerita tentang kekhawatirannya sekaligus dilema kalau nanti proyek panas bumi mulai beroperasi.
“Kita (saya) secara pribadi sih menolak. Cuma ini kan proyek dari Geo Dipa sebenarnya untuk membantu pemerintah daerah,” ucap Ade.
Tapi Ade tak ingin memberikan karpet merah untuk perusahaan tersebut. Ia memikirkan masa depannya dan generasi selanjutnya.
Ia meminta, PT GDE turut memikirkan keberadaan warga sekitar, terutama Desa Idamdehe dan Idamdehe Gamsungi yang sangat berdekatan dengan titik pengeboran.
Proyek panas bumi ini tentu menjadi ancaman bagi 332 jiwa penduduk Desa Idamdehe dan 462 jiwa penduduk Desa Idamdehe Gamsungi.
“Karena dengan keberadaan perusahaan di sini, otomatis torang (kami) pe (punya) sosial, pe budaya akan terkikis dengan sendirinya,” katanya.
Bagi Ade, kehadiran perusahaan pun turut mengubah corak ekonomi di desanya. Warga yang sehari-hari menggantungkan hidupnya pada kebun, akan kesulitan menyaingi pasar yang berkembang di tengah industri geotermal.
Apalagi pekerjaan warga di dua desa yang menjadi kawasan proyek adalah petani. Data kedua desa ini menyebutkan, Desa Idamdehe memiliki 80 persen petani, sementara Idamdehe Gamsungi sebanyak 70 persen petani. Sisanya berasal dari pertukangan, pegawai, hingga satu dua nelayan yang sekadar memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Perusahaan sebesar ini akan membutuhkan lokasi besar dan dengan sendirinya torang akan terkikis keluar dari sini,” katanya.
Kawasan potensi panas bumi ini memang terhampar kebun warga seperti kelapa, pala, dan cengkih. Tak banyak nelayan, karena membutuhkan jarak 1 kilometer untuk bisa sampai ke bibir pantai.
Mirisnya, tak hanya potensi pertanian yang akan tergerus. Ternyata titik lain pengeboran panas bumi ini berada tepat di lokasi bersejarah bagi warga Idamdehe. Lokasi bersejarah itu bernama Air Cipu.
Industri geotermal akan menggerus Air Cipu, sebutan mata air yang juga sebagai kawasan perayaan masuknya Injil di Idamdehe.
Setiap tahun, tepat pada 10 Oktober, warga selalu memperingatinya dengan ibadah atau berdoa di lokasi tersebut. Peringatan penting bagi warga Idamdehe ini sudah dimulai sejak tahun 2010.
Mereka meyakini, pada 10 Oktober 1910 di Air Cipu lah mulanya terdapat tujuh keluarga yang menempati lokasi ini. Tujuh keluarga itu pula yang menerima masuknya Injil yang dibawa oleh sebuah keluarga dari Tapanuli, Sumatera Utara.
Bahkan dulu terdapat pohon durian besar di sekitar Air Cipu yang diberi nama Yubileum. Pemberian nama ini sebagai tanda untuk memperingati masuknya Injil di lokasi tersebut.
Kepala Desa Idamdehe, Elias Missy, mengatakan saat ini mereka telah membentuk organisasi warga sebagai penghubung dengan pihak perusahaan. Hal itu juga sebagai bukti bahwa mereka telah menerima masuknya proyek panas bumi.
Pembentukan organisasi ini sendiri merupakan inisiatif pihak perusahaan dan warga.
Organisasi tersebut diberi nama ‘Rion Ngowa re Danong’ atau yang dalam bahasa Sahu berarti ‘Bantu Anak Cucu’.
Organisasi ini diketuai oleh Dennis Nguci, dan Jonatan Budo sebagai wakil ketua. Para pengurusnya diambil dari dua desa yang dekat dengan titik pengeboran, yakni Desa Idamdehe dan Idamdehe Gamsungi.
Cerita kekhawatiran tentang proyek panas bumi juga datang dari Muhdar Musa (54 tahun), warga Desa Bobo, pada Minggu (10/12/2023)
Tapi, Muhdar benar-benar memahami regulasi. Menurutnya, proses dan dampak eksploitasi terhadap tanah harus dapat dijelaskan ke warga oleh pihak perusahaan.
Ia lalu mengutip Kitab Undang-Undang Perdata (KUH Perdata) pasal 571 yang menjelaskan tentang hak milik atas sebidang tanah.
Dalam pasal tersebut disebutkan, hak milik atas sebidang tanah meliputi hak milik atas segala sesuatu yang ada di atasnya dan di dalam tanah itu. Di atas sebidang tanah, pemilik boleh mengusahakan segala tanaman dan mendirikan bangunan yang dikehendakinya.
Selanjutnya, disebutkan di bawah tanah itu ia boleh membangun dan menggali sesuka hatinya dan mengambil semua hasil yang diperoleh dari galian itu, hal ini tidak mengurangi perubahan-perubahan dalam perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, dan barang-barang semacam itu.
Muhdar bukan seorang sarjana hukum. Ia hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi ia betul-betul mempelajarinya.
Ia mengaku tak menolak, tapi hanya khawatir. Muhdar tak ingin tanah yang akan menjadi milik perusahaan nanti dieksploitasi sesuka hati, tapi memberikan dampak buruk pada warga.
Ia pernah menanyakan perihal ini ke perusahaan dan pemerintah daerah ketika sedang sosialisasi terkait industri panas bumi.
“Bagaimana kalo kita bicara dampaknya, kemungkinan buruknya bagaimana. Jadi saya minta pertanggungjawaban secara jelas. Karena kalo bicara dampak, masyarakat yang berada di sekitar titik bor inilah yang kena dampak,” tuturnya.
Tanggung jawab yang dimaksudnya adalah pernyataan tertulis yang dibuat oleh pemerintah daerah bersama perusahaan yang turut dihadiri para anggota DPRD Halmahera Barat.
Namun, sampai sosialisasi itu selesai, Muhdar mengaku tak menemukan jawabannya. Sama seperti Idamdehe, dalam sosialisasi ini pun belum ada pembicaraan sampai ke harga lahan untuk proyek panas bumi.
Dampak-dampak yang kelak ditimbulkan perusahaan turut dikhawatirkan nelayan Desa Saria. Desa ini bersebelahan dengan Desa Bobo.
Hasan, seorang Kaur (Kepala Urusan) Desa Bobo sempat mengantar dan menunjukkan langsung rencana titik pengeboran di Bobo.
Titik pengeborannya memang berada tak jauh dari pesisir. Posisinya di tebing dan jika berdiri di atasnya, hamparan pohon kelapa tampak jelas dan lanskap laut membentang. Di pesisir ini, sebuah bukit membelah Bobo dan Saria, sangat dekat.
Saria memang dikenal sebagai kampung nelayan di Halmahera Barat. Mayoritas penduduk menggantungkan hidup mereka dari hasil laut. Data desa menyebutkan, dari 930 jiwa penduduk di Saria, sekitar 85 persennya adalah nelayan.
Hari itu, di atas kapal pajeko yang ditambatkan, Irawan Awad (28 tahun) bersama Kamis Adlan (38 tahun) sedang menjahit jaring pukat cincin atau purse seine.
Irawan menuturkan, nelayan Saria akan tetap menolak kehadiran perusahaan panas bumi.
“Karena torang pe kekhawatiran kan dia (perusahaan) pe limbah tadi, jangan sampai dia pe dampak tra (tidak) bagus untuk torang nelayan juga,” ucap Irawan.
Mereka tak ingin kehilangan mata pencaharian. Irawan dan Kamis merupakan nelayan pajeko atau kapal dengan 7 Gross Ton (GT). Satu kapal pajeko biasanya terdapat 10-15 nelayan. Jumlah kapal pajeko di Saria sendiri mencapai 17 unit.
Ia bercerita, setiap hari mereka keluar melaut, kecuali cuaca sedang tak baik. Biasanya, jarak berburu ikan ini 15- 20 mil. Irawan bersama nelayan lain harus menuju rumpon pada dini hari dan baru bisa pulang saat matahari pecah. Mereka berburu ikan-ikan jenis pelagis seperti komo atau tongkol, cakalang, dan malalugis.
Mereka juga keluar pada jam 3 atau 4 sore dan kembali ketika matahari benar-benar tenggelam. Di waktu ini, Irawan mengaku berburu ikan yang mereka sebut ‘ikan liar’. Ikan ini adalah jenis sorihi dan komo. Jarak tangkapannya tak jauh dari Saria.
Nelayan ikan dasar pun berburu tak jauh, hanya di depan kampung. Tapi nelayan ikan dasar tak banyak. Lebih banyak nelayan tuna yang menggunakan kapal 2GT. Di Saria sendiri, ada sebanyak 32 unit kapal 2GT.
Hasil tangkapan ini dijual ke wilayah Halmahera Barat, Ternate, hingga Tidore. Ikan hasil tangkapan akan diambil oleh pelaksana lalu ke dibo-dibo (pedagang).
Pendapatan mereka sesuai dengan hasil tangkapan. Nelayan pajeko kadang bisa mendapatkan 1-5 ton sekali keluar melaut. Ukuran 1 ton biasanya setakar 25 baskom.
Tapi adakalanya sehari hanya bisa mendapatkan 5 baskom. Harga 1 baskom senilai Rp300 ribu kalau hasil tangkapan sedang membeludak. Namun, jika tangkapannya sedikit, harga 1 baskom bisa menembus Rp900 ribu.
Kendati begitu, pemilik kapal tetap bisa menutupi biaya pengeluaran. Sekali keluar, kapal pajeko bisa menghabiskan 150-200 liter Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan harga 1 liter Rp6.000.
Pendapatan dari hasil penjualan akan dibuka 70 persen untuk dibagi ke nelayan. Sementara 30 persen sisanya diberikan untuk majikan atau pemilik kapal. Kapal-kapal di Saria memang milik pengusaha dari warga sendiri.
Sehingga itu, Irawan dan nelayan Saria sangat tak menginginkan adanya industri panas bumi yang dapat mengancam mata pencaharian mereka.
Irawan mengaku, sampai saat ini pihak perusahaan belum pernah datang membuat sosialisasi di kampungnya. Meski kelak PT GDE memberikan sosialisasi, mereka tetap memilih menolak kehadiran perusahaan tersebut.
“Tetap torang khawatir kalo perusahaan masuk,” katanya.
Bupati Halmahera Barat, James Uang, pada akhir November 2023 sempat merespons mengenai ini di hadapan sejumlah awak media di kantor bupati.
James mengatakan, pihaknya menerima informasi dari PT GDE, pada tahun 2024 proyek panas bumi sudah mulai berjalan di Jailolo.
Namun, ia sendiri tak tahu waktu pasti tahapan kegiatan dari proyek tersebut. James memastikan semua berjalan mulus karena warga Idamdehe telah menyutujui masuknya industri geotermal.
“Sekarang kan titik (pengeboran) di Desa Idamdehe dan di sana tidak ada yang menolak,” ucap James.
Ia mengaku, dari luas peta kawasan panas bumi yang ada di Jailolo akan dilakukan secara bertahap. Dan hasil kelistrikan dari proyek ini bakal disalurkan hingga wilayah Halmahera, bahkan sampai ke industri pertambangan nikel.
“Selain wilayah Halmahera Barat, mungkin kita bisa sambungkan ke Halmahera lainnya sesuai kapasitas yang akan dibangun. Ya, industri. Seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di sana (Halmahera Tengah) kan mereka butuh listrik yang harus maksimal,” tuturnya.
James menyebutkan, proyek panas bumi tidak memberikan dampak buruk, karena ia mengaku pada tahun 2021 pernah melihat langsung industri ini di Patuha, Bandung.
Proyek ini terletak di sekitar Gunung Patuha di Jawa Barat yang berada sekitar 40 kilometer di sebelah selatan Kota Bandung.
“Jadi sebenarnya tidak ada dampak, malah memberi tanaman yang subur di sekitar itu, karena kita sudah melihat langsung ke sana. Saya, Pak Wakil, dan sejumlah SKPD itu pernah ke Patuha lihat itu,” katanya.
Sementara itu, Halmaheranesia sudah berusaha menghubungi pihak PT GDE melalui surat elektronik yang dikirim ke email resmi perusahaan info@geodipa.co.id pada 16 Desember 2023. Namun, belum mendapatkan respons hingga berita ini diturunkan.
Ancaman Nyata Tambang Panas Bumi
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menjelaskan sebetulnya narasi geotermal sebagai proyek ramah lingkungan disebarluaskan oleh pelaku industri sendiri.
Menurutnya, anggapan bahwa geotermal itu ramah lingkungan sebenarnya karena asumsi bahwa panas bumi yang berada di lapisan magma itu akan selalu tersedia. Asumsi keduanya adalah air yang digunakan dalam proses geotermal juga akan selalu ada karena metode yang dipakai adalah fracking.
Teknik fracking atau hydraulic fracturing dipakai untuk meretakkan dinding-dinding batuan di dalam sumur yang sudah digali, dan mengekstraksi minyak, gas atau panas bumi yang terperangkap dalam lapisan batuan tersebut untuk disalurkan melalui sumur yang telah digali dan dikeluarkan ke permukaan.
Cara kerja fracking ini menggunakan tenaga fluida atau fluida bertekanan. Tenaga fluida adalah penggunaan cairan di bawah tekanan untuk menghasilkan daya. Tenaga fluida inilah yang menggunakan cairan seperti minyak mineral atau air.
“Sebetulnya kalau kita cek di lapangan, semuanya serba kontradiktif. Dalam praktiknya proyek geotermal ini sangat destruktif. Tidak ada bedanya cara kerjanya dengan industri pertambangan mineral dan batu bara pada umumnya,” tutur Melky.
Hal itu, kata dia, karena proses pengeboran lapisan tanah, kemudian batuan untuk sampai ke lapisan magma menggunakan jutaan liter air bersamaan dengan senyawa kimia, maka akan mencemari air tanah dan air permukaan.
“Yang terjadi kemudian ketika geotermal beroperasi, maka konsekuensinya sumber air warga, entah itu air permukaan akan tercemar berbagai macam senyawa kimia tadi, lalu warga kehilangan akses dan manfaat terhadap sumber air,” paparnya.
Selanjutnya, akan ada perubahan struktur tanah atau geologi yang bisa memicu gempa minor, longsor, hingga perubahan sistem air. Kalau seperti ini potensial membuka celah batuan yang bisa menimbulkan gas tanah atau beracun seperti hidrogen sulfida (H2S).
“Jadi kalau lokasinya berada di atas peta rawan gempa, ini justru jauh lebih sangat beresiko, yang tadi gempa mikro, bisa berubah menjadi potensial gempa makro,” ucap Melky.
Kalau melihat peta rawan gempa dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Kelas III Ternate, maka daerah Jailolo, terutama kampung-kampung yang berada di wilayah panas bumi sangat rentan dan selalu menjadi langganan gempa bumi.
Seperti data BMKG sejak enam bulan terakhir. Tercatat pada Kamis (13/07/2023), pukul 10.30 WIT, terjadi gempa bumi di wilayah Jailolo berkekuatan magnitudo 4,1. Gempa bumi berada pada 44 kilometer barat laut Jailolo, dengan kedalaman 22 kilometer.
Pada Senin (11/09/2023), juga terjadi gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,9 yang mengguncang wilayah Jailolo. Gempa yang berada pada 11 kilometer timur laut Jailolo dengan kedalaman 168 kilometer ini terjadi pukul 21.51 WIT. Guncangan bahkan terasa hingga di Manado, Sangihe, Kotamobagu, Gorontalo, dan Minahasa Utara.
Selasa (31/10/2023), gempa bumi berkekuatan magnitudo 3,3 juga mengguncang Jailolo. Pusat gempa dilaporkan berada di laut dan terjadi pada pukul 20.31 WIT.
Senin (18/12/2023), gempa berkekuatan magnitudo 3,3 juga terjadi di Jailolo. Berlokasi di 73 kilometer arat laut Jailolo, kedalaman 36 kilometer, pada pukul 02.38 WIT.
Tak lama kemudian, baru-baru ini pada Kamis (28/12/2023), gempa kembali menggetarkan Jailolo berkekuatan magnitudo 4,4. Pusat gempa ini berada di laut sekitar 40 kilometer barat laut Jailolo.
Melalui situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), disebutkan tahun 2015, gempa bumi secara berturut-turut pernah mengguncang Jailolo.
Meski kekuatan gempa kurang dari 5 SR, namun karena pusat gempa di darat dan di laut yang dekat darat menyebabkan guncangan keras.
BMKG mencatat terjadi 833 kali gempa sejak 16 November 2015 hingga 4 Desember 2015 dengan kekuatan yang bervariasi.
Gempa tersebut telah menyebabkan 1.593 unit rumah rusak, di antaranya 145 rumah rusak berat, 273 rusak sedang, dan 1.175 rusak ringan. Selain itu juga merusak 2 sekolah, 8 unit sarana ibadah dan 3 kantor pemerintah daerah.
Kerusakan tersebut melanda 19 desa di Jailolo dan sebanyak 10.165 jiwa mengungsi. Sementara desa yang paling terdampak adalah Bobanehena dan desa sekitarnya. Desa ini pun berada tak jauh dari titik proyek panas bumi, hanya bersebelahan dengan Payo, Bobo, Saria, dan Idamdehe.
Melky menyebutkan, peristiwa ekologi dan dampak yang ditimbulkan dari tambang panas bumi ini telah terjadi di beberapa daerah, seperti di Dieng di Jawa Tengah, Mataloko di Flores, Mandailing Natal di Sumatera Utara, dan sejumlah daerah lainnya.
Di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Mataloko, misalnya. Di sana berulang kali terjadi semburan lumpur panas dan gas di tengah perkebunan warga sejak 2009.
Hal itu membuat kesehatan dan produktivitas pertanian warga mulai terganggu. Bahkan sifat korosif dari dampak panas bumi ini juga membuat atap seng rumah warga cepat mengalami karatan.
“Saya ambil contoh di Ulumbu, Manggarai, NTT (beroperasi sejak 2011), lahan pertanian warga seperti kakao kemudian cengkih sudah tidak berbuah lagi,” kata Melky.
Apalagi Halmahera Barat sendiri merupakan salah satu daerah penghasil pertanian terbesar dari 10 kabupaten dan kota di Maluku Utara, terutama kelapa.
Data Badan Pusat Statistk (BPS) menyebutkan, pada tahun 2022, Halmahera Barat berhasil memproduksi 37.086 ton kelapa, tertinggi kedua setelah Halmahera Utara yang memiliki 71.300 ton kelapa.
Selanjutnya, produksi kelapa disusul Kepulauan Sula sebanyak 30.466 ton, Halmahera Selatan 23.523 ton, Pulau Taliabu 10.989 ton, Halmahera Timur 10.929 ton, Tidore Kepulauan 9.566 ton, Halmahera Tengah 7.877 ton, Pulau Morotai 7.356 ton, dan Ternate 436 ton.
Bagi Melky, kehadiran industri panas bumi sudah pasti akan mengancam semua potensi pertanian di Halmahera Barat, terutama kampung-kampung penghasil kelapa di sekitar industri seperti Payo, Bobo, Saria, hingga Idamdehe.
Jailolo dengan lahan yang subur, pertanian warga, sumber air, termasuk urusan pangan di Halmahera Barat, semua sedang dipertaruhkan.
“Membiarkan Jailolo dirusaki perut buminya, sama halnya pemerintah sedang mengubah hidup orang Jailolo yang selama ini hidup tenang, bisa survive dari pertanian dan perikanan,” pungkasnya.
Direktur Walhi Maluku Utara, Faisal Ratuela, menambahkan selain masalah lingkungan, fokus kajiannya pun perlu melihat persoalan kebencanaan yang akan dihadapi saat geotermal beroperasi.
Faisal menyebutkan, wilayah geotermal saat ini, kurang lebih akan memberikan dampak ke empat kampung, yakni Payo, Bobo, Saria, dan Idamdehe. Sementara empat kampung tersebut merupakan daerah sesar aktif. Dalam pengertian geologi, sesar aktif adalah sesar yang kemungkinan akan menjadi sumber gempa lain di masa mendatang.
“Apalagi satu kampung yang masuk wilayah ini (Idamdehe) memiliki gunung api, sehingga investasi ini harus melihat kebencanaan,” ucapnya.
Sama seperti Melky, menurut Faisal industri geotermal tentu membutuhkan air yang sangat besar. Proses ini akan berdampak pada reservoir atau tempat yang dipergunakan untuk menyimpan suatu cadangan seperti air. Cadangan air itu bisa saja mengalami penurunan dan tentu berdampak pada pertanian warga yang membutuhkan sumber air tanah yang cukup tinggi.
“Saya kira penggunaan air itu sangat banyak, dengan wilayah empat kampung mereka tak memiliki sumber air yang cukup, sehingga kemungkinan (pihak perusahaan) bisa saja menggunakan air laut yang akan difilter untuk digunakan dalam proses kegiatan panas bumi,” paparnya.
Peta kawasan water intake (asupan air) proyek panas bumi di Jailolo, Halmahera Barat. (Diolah dari sumber laporan progres Kemenkeu)
Jika melihat laporan progres proyek geotermal PT GDE, peta kawasan water intake (asupan air) industri ini memang menggunakan air sungai, yakni Sungai Lako Akelamo. Water intake adalah sistem pengolahan air yang berfungsi mengambil air dari sumbernya dan mengarahkannya ke dalam saluran menuju turbin air.
Saluran sistem pengolahan air untuk proyek panas bumi ini juga melewati pesisir Desa Lako Ake Lamo dan Marimbati, kampung-kampung yang sumber hidupnya juga bergantung dari hasil laut.
Menurutnya, penggunaan air laut itu tentu akan berdampak serta mengancam ruang hidup nelayan yang berada di wilayah tersebut.
“Apalagi potensi biodiversity atau keanekaragaman hayati di kawasan Jailolo sangat tinggi, saya kira akan berdampak,” pungkas Faisal.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal Halmaheranesia, pada 8 Januari 2024. Liputan ini merupakan program penulisan Jurnalisme Kolaboratif untuk Memonitor Proyek Strategis Nasional kerjasama AJI Indonesia dan Kurawal.