Oleh Tim Independen
INDEPENDEN--Mobil pick up hitam itu berjalan menyusuri jalanan berbelok, Sarba Nun Lewer terlihat murung berdiri tepat di atas kap mobil, matanya tertuju pada truk dan buldoser yang lalu lalang membawa pasir menimbun pepohonan sagu di sepanjang jalan menuju eco-village.
Wajahnya memerah saat melihat dusun sagu Kawasi yang dulunya jadi pangan alternatif saat musim kemarau mulai tergusur. Sarba Nun khawatir lahan sagu akan tergusur habis, hingga musim kemarau nanti, dan Kawasi akan dilanda bencana kelaparan. Ini sudah berjalan sejak lima tahun terakhir ketika operasi perusahan mulai masif, yang tersisa hanya beberapa titik dusun sagu.
Bahkan PT. Harita Group membangun perumahan Eco-Village tepat di atas lahan sagu yang secara turun temurun jadi pangan alternatif warga.
“Eco-Village yang baru dibangun itu berada di kawasan hutan sagu yang digusur perusahan kemudian ditimbun,” katanya dengan raut wajah marah saat ditemui Independen.id, Jumat 1 Desember lalu.
Padahal ketika kemarau panjang warga memanfaatkan sagu sebagai bahan pangan satu-satunya.
Perumahan Eco-Village dulu adalah lahan sagu yang ditimbun untuk perumahan (FOTO ISTIMEWA)
Sebelum kedatangan perusahan pada 2007, warga Kawasi masih memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok. Kebiasaan ini sudah berlangsung secara turun-temurun sejak kedatangan etnis Tobelo Galela (Togale) dan Buton di pulau ini.
Satu pohon sagu yang mereka tebang bisa memberi makan dua kepala keluarga hingga satu bulan. Bahkan bisa untuk dijual keluar daerah seperti Bacan dan Ternate. Namun perlahan sumber pangan lokal ini mulai terancam keberadaannya setelah 16 tahun PT. Harita beroperasi.
Kini banyak warga membeli sagu yang dibawa dari pulau Seram Provinsi Maluku dan Bacan ibukota Kabupaten Halmahera Selatan dengan harga Rp 100 sampai 120 per tumang.
Tidak hanya sagu yang terancam, sumber air juga tidak sebagus dulu. Padahal air sangat penting untuk pengolahan sagu.
“Sumber air dari bawah pohon sagu tempat orang tua kami bahalo sagu (meramas sagu), tapi saat ini sudah berubah tidak sebagus dulu akibat ditimbun perusahan, jadi warga mau bikin sagu dapat air dari mana. Torang mau bahalo (meremas sagu) air meski bersih, tapi air so tercemar mau bagaimana, sedangkan sumber air yang berasal dari pohon sagu juga so tara berkualitas,” ujar Sarba Nun.
Perempuan Kelahiran Kawasi ini mengaku, selain sagu yang terancam punah, ada juga pangan lokal lainnya yang mulai sulit didapat di Kawasi seperti kasbi (ubi kayu), pisang dan batata (ubi jalar), karena alih guna lahan dari pertanian menjadi pertambangan.
“Kitorang (kami) mau dapat lahan dimana lagi, kebun ada tapi jauh jadi mau makan kasbi torang (kita) mesti beli,” kata dia.
Nun menambahkan dia banyak menaman pisang, tetapi tidak berbuah normal. Isinya berulat. Nur menduga ada pengaruh aktivitas pertambangan terhadap tanaman yang ditanami. Padahal sebelumnya ia bisa memanen pisang dengan kualitas terbaik, dan bisa mencapai puluhan karung.
Lahan Sagu Berkurang Setengahnya
Malam itu suasana desa Kawasi begitu ramai, saya menyambangi Yoksan Jurumudi warga Kawasi di rumahnya. Ia terlihat kesal saat berbincang mengenai lahan sagu Kawasi yang kini tinggal setengah dari sebelumnya 38 hektar.
“Lahan Sagu di sini itu luasnya diperkirakan 38 hektar, tapi sekarang sudah berkurang, Harita gusur dan timbun,” kata Yoksan pada Independen.id.
Menurut Yoksan, dulunya seluruh warga Obi menggantungkan hidup pada sagu di Kawasi, ketika musim kemarau tiba warga dari 38 desa di pulau Obi datang ke Kawasi untuk memproduksi sagu sebagai bahan makan sehari-hari.
Namun sekarang yang ada justru truk dan buldoser hilir mudik membawa timbunan, mengubah hutan sagu menjadi lahan bangunan dan tempat pembuangan ore nikel.
“Kalau Sagu sudah tergusur, musim kemarau datang warga Pulau Obi ini terancam kelaparan,” cetusnya.
Yoksan menambahkan lahan sagu yang dieksploitasi PT. Harita Group sebenarnya tidak dijual oleh warga, hanya saja ada oknum pemerintah desa yang menjual tanpa koordinasi dengan warga setempat.
Dirinya putus asa dengan kondisi tanaman sagu yang dulu tumbuh secara alami mulai tergerus habis, bahkan sisa sagu yang ada sekarang juga masuk wilayah konsesi tambang nikel. “Kita sudah tidak punya harapan. Padahal dari dulu kita ini hidup dengan sagu. Anak cucu nanti sudah pasti tidak konsumsi sagu yang tumbuh di sini,” katanya.
Saat pangan sagu terancam hilang, Harita terus memperluas areal konsesinya. Lahan warga yang tidak mau dijual dipaksakan untuk dijual, Ini diakui Yoksan karena ia didatangi orang yang mengaku dari Harita terus-menerus.
“Mereka membujuk dengan nada intimidasi agar mau menjual lahan. Saya tidak mau, yah tapi begitu datang terus, dorang bilang tra (tidak ) jual me (tetap)akan digusur.” Keluhnya
Tanpa kesepakatan warga
Dari laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015-2017, total luas lahan sagu Maluku Utara, yang merupakan perkebunan rakyat, mencapai 3.645 hektar dengan tingkat produksi 1.403 ton per tahun.
Dulu luas lahan sagu mencapai 5.431 hektar dengan tingkat produksi mencapai 8.961 ton per tahun.
Sedangkan data dinas pertanian dan perkebunan Maluku Utara menunjukkan selama kurun waktu 2014-2017, luas lahan sagu yang hilang di Maluku Utara mencapai 821 hektar.
Sedangkan di Kawasi luasan lahan sagu mencapai 38 hektar, namun pengalihan lahan produksi sagu jadi area konsesi pertambangan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ekosistem sagu. Dampaknya kelangkaan sagu di daerah yang ditumbuhi sagu mulai terasa.
Nurhayati Jumadi perempuan Kawasi mengungkapkan, pohon sagu di Kawasi adalah peninggalan orang tua yang sudah dikelola puluhan tahun. Hanya saja setelah kedatangan perusahan lahan yang dijadikan sumber sagu itu dilibas habis buldoser.
Perusahan bahkan menggusur pohon sagu tanpa koordinasi dengan pemilik, secara sepihak perusahaan mendapatkan izin dari pemerintah desa untuk menimbun lahan sagu membangun kawasan pemukiman baru.
“Lahan sagu yang ditimbun di Eco-Village itu kan digusur tanpa kesepakatan pemilik, itu tuang (tuan) lahan (tanah) tidak mau jual, pemdes (pemerintah desa) yang jual,” ungkap Nurhayati.
Lima tahun terakhir pangan lokal didatangkan dari luar karena pangan sagu dan lahan pertanian beralih menjadi kawasan industri.
“Mau ambil sagu dan pangan lokal di mana lagi, lahan sudah dikonversi jadi tambang, kita ini tidak dapat keadilan, dengan dalil tanah negara lahan kita habis untuk kawasan industri,” ujarnya.
Desa Kawasi merupakan salah satu desa di Kecamatan Obi Halmahera selatan. Desa ini terhimpit diantara industri pertambangan yang mendapatkan izin sejak tahun 2007 dengan luas konsesi 5. 524 hektar.
Tahun 2008 perusahan ini mulai menambang nikel di pulau Obi melalui izin Menteri Kehutanan waktu itu MS Kaban yang memberi izin pinjaman pakai dan pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH) untuk eksploitasi tambang nikel kepada PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT. Gane Permai Sentosa (GPS).
Tiga perusahaan lain yang terafiliasi dengan Harita dan operasi di atas IUP PT TBP guna menunjang kelancaran pabrik smelter bijih nikel, yakni, PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPL) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).
Harita menjadi salah-satu perusahan yang memproduksi nikel untuk kendaraan listrik. Namun dibalik ambisi ini pangan hingga kehidupan warga Kawasi terancam, mereka kehilangan mata pencaharian, hutan hingga masa depan suram.
“Kita mau negara ini tumbuh, tapi tidak dengan membunuh rakyat, Harita jadi drakula yang menghisap dara warga yang menggantungkan diri pada pangan lokal secara turun temurun,” tegas Akademisi Unkhair Dr. Muchtar Adam, Kamis (14/12).
Muchtar menyebut, masuknya industri yang digadang-gadang meningkatkan ekonomi warga, justru telah menghancurkan ekonomi warga, karena sumber kehidupan yang jadi sumber konsumsi utama justru telah menyusut dari waktu-waktu.
Pakar Ekonomi ini bilang, jika kawasan sagu yang menjadi sumber pangan habis, maka warga pulau Obi dari 39 desa yang selama ini menggantungkan hidup pada pangan lokal itu akan mengalami krisis pangan ketika musim kemarau atau naiknya harga beras.
“Setelah perusahan angkat kaki warga Kawasi yang akan sengsara, mereka sudah kehilangan sumber kehidupan,” tegasnya dan menambahkan pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) serta Pemerintah daerah Halmahera Selatan (Halsel) seharusnya memberikan teguran keras dengan membuat gugatan atas perusakan sumber pangan lokal warga Kawasi.
Sagu Terancam Punah
Sementara, Dekan Fakultas Pertanian Unkhair Dr. Ir. Lilly menjelaskan, lahan pertanian di Maluku Utara mulai tergerus dari tahun ke tahun. Ini berdasarkan pengamatan yang dilaksanakan pada wilayah Halmahera Timur dan beberapa daerah yang merupakan kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Padahal kawasan ini punya ragam varian sagu.
“Maluku Utara punya varietas sagu yang beragam seharusnya dikembangkan tapi terancam hilang, 10 sampai 30 tahun kedepan sangat ditakutkan lahan pangan lokal kita akan hilang, akibatnya anak cucu tidak bisa mengkonsumsinya lagi,” kata Lily.
Dosen Fakultas Pertanian Unkhair takut ancaman krisis pangan akan melanda Maluku Utara karena beralihnya lahan produksi menjadi industri dan petani beralih menjadi buruh tambang.
“Masalah kerawanan pangan itu terjadi akibat perubahan iklim, tapi kita di Maluku karena adanya pertambangan kemudian alih fungsi lahan dan kurangnya sumber daya manusia yang mengelola,” cetus dia.
Di tengah hancurnya lahan sagu Harita terus melanjutkan eksplorasinya dengan memperluas kawasan industri serta mengejar cita-cita Indonesia sebagai penyumbang bahan baku mobil listrik, tetapi ada dampak besar yang menghantui keberlanjutan hidup warga Kawasi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara (Malut) Faisal Ratuela mengaku, jika lahan produksi pangan lokal beralih menjadi industri pertambangan akan berdampak pada krisis pangan dan air, sebabnya karena sagu selain menjadi sumber pangan juga bagian dari tanaman yang memelihara air.
Ia menyebut perusahan telah merusak hutan warga, akibatnya akan merubah corak produksi warga yang dulunya mengandalkan sagu sebagai pangan satu-satunya. Ketika itu terjadi masalah yang akan dihadapi warga bukan hanya kelaparan tetapi pergeseran budaya dan hilangnya lahan produktif.
Data yang dihimpun Walhi Malut sejak November tahun 2023 memperlihatkan sebanyak 9,71 Hektar lahan sagu di Kawasi yang ditimbun, pada tahun yang sama juga ada 2,91 Hektar lahan sagu yang terbakar, penyebabnya belum diketahui.
Data ini didapatkan berdasarkan pantauan dari citra satelit dan observasi secara langsung.
“Pihak PT. Harita Group harus bertanggung jawab atas rusak kawasan hutan sagu warga kawasi,” tegasnya.
Menurutnya negara harus melindungi warga yang hidup bergantung dengan alam, namun fakta ini tidak terlihat dan dirasakan warga Kawasi. Mereka justru dirampas ruang hidupnya dan terancam dipindahkan dari pemukiman yang sudah bertahun-tahun mereka tingali.
Sejak Minggu 15 Januari Independen.id berusaha mengonfirmasi PT. Harita Group mengenai lahan sagu Kawasi yang ditimbun dan penimbunan lahan sagu yang tanpa koordinasi dengan pemilik lahan.
PT. Harita Group melalui humasnya meminta waktu untuk menjawab konfirmasi. Dan hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan dari pihak Harita.