Tak Ada Upaya Pemulihan, Sungai Pemaluan di IKN Terancam Rusak Permanen (2)

Oleh: Fitriwahyuningsih

INDEPENDEN- Peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rony Irawanto, memberikan pandangannya soal perubahan ekosistem Sungai Pemaluan. Ia menduga pembabatan hutan dan pembersihan lahan di sekitar sungai menyebabkan sedimentasi yang merusak ekosistem sungai.

“Tanah itu seharusnya bisa ditahan oleh vegetasi di sekitarnya. Tapi karena tidak ada penahannya, praktis tanah masuk dan mengganggu ekosistem sungai. Sungai yang mulanya jernih bisa jadi keruh karena banyak endapan di dalamnya,” kata Rony kepada Kaltim Today, Selasa (31/7/2024) siang.

Rony menegaskan bahwa ketika vegetasi hilang, maka sungai tidak punya benteng penjaga alami.

Dua peneliti dari IPB, Soerianegara dan Indrawan, dalam sejumlah laporannya menyebutkan bahwa vegetasi adalah kumpulan beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama pada suatu tempat dan membentuk suatu kesatuan di mana individu-individunya saling tergantung satu sama lain yang disebut sebagai komunitas tumbuh-tumbuhan. Dalam konteks Sungai Pemaluan, vegetasi ini adalah tumbuhan yang hidup di sekitar sungai itu, misalnya pohon nipah atau waru.

“Ada indikator untuk menilai sungai yang bersih dan sehat. Misalnya, mengecek keberadaan makroinvertebrata,” tambah Rony.

Makroinvertebrata adalah organisme tak bertulang belakang yang mendiami dasar laut dan sungai, biasanya hidup menempel pada air dan lumpur. Organisme ini dapat menggambarkan kondisi fisik, kimia, dan biologi perairan sehingga dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan.

Perubahan ekosistem di sungai dan sekitarnya akan mempengaruhi biota di sungai. Ada tiga kemungkinan: beradaptasi, bermigrasi, atau tidak bisa bertahan hidup.

Namun umumnya, biota akan bermigrasi atau mati karena ekosistemnya tercemar. Mati karena mereka sulit mencari makan, dan plankton atau biota lebih kecil yang menjadi nutrisinya sudah tercampur sedimen dan limpasan lain yang masuk ke sungai. Banyak ikan juga tidak bisa hidup karena oksigen di sungai terganggu akibat keberadaan sedimen.

“Perubahan bentang alam akan mengakibatkan perubahan ekosistem. Bila sebelumnya mudah dijumpai (biota sungai), sekarang sulit. Ini bisa jadi indikator adanya kerusakan dan perubahan lingkungan,” sebutnya.

Rony mengatakan sebenarnya ada cara untuk mengurangi dampak dari kerusakan ekosistem di Sungai Pemaluan. Di sekitar proyek pembangunan IKN, mestinya dibangun kolam retensi atau saluran pembuangan sementara.

Jadi, sebelum air hujan yang turun di lokasi proyek itu mengalir ke sungai, setidaknya tertampung dulu sehingga sedimentasi yang terbawa dari lokasi proyek bisa mengendap di kolam. Mungkin air sungai tetap mengalami perubahan, tapi volume sedimentasinya bisa diminimalisir.

Rony menegaskan bahwa seluruh proses pembangunan mestinya didasari oleh dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal). Bila mengubah rona lingkungan awal menjadi lingkungan terbangun, perlu ada pemantauan melalui mekanisme Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemulihan Lingkungan (RPL).

RKL merupakan rencana tindak lanjut untuk mengelola dampak penting yang ditimbulkan oleh aktivitas proyek. Sedangkan RPL merupakan piranti untuk memantau hasil pengelolaan lingkungan.

Persoalannya, pemerintah tidak pernah transparan dengan proses pembangunan IKN. Banyak hal-hal ajaib, seperti undang-undang yang dikebut, pembangunan yang cepat, dan Amdal yang tidak jelas.

“Sebelum melakukan pembangunan, mereka sudah harus melakukan inventarisasi rona awal lingkungan baik kimia, biologi, fisika, dan mungkin keanekaragaman hayati ekosistem,” bebernya.

Pemantauan dan analisis ini mesti dilakukan, sebab bila diabaikan atau tidak konsisten dengan lingkungan, dampaknya bisa fatal: lingkungan tak bisa dipulihkan.

“Mereka harus pegang dokumen lingkungan dan harus melakukan pemantauan. Cek kualitas air itu bisa dipantau. Kalau konsisten dengan RKL-RPL, pasti kualitasnya (air sungai dan ekosistem sungai) mereka bisa tahu,” tandasnya.

Dorongan Rony agar pembangunan IKN mesti selaras dengan Amdal sayangnya sulit untuk ditelusuri. Pasalnya, pemerintah tak pernah membuka dokumen Amdal IKN ke publik.

Bukan cuma Amdal yang ditutupi, sejatinya dokumen lain terkait IKN tak pernah dibuka. Ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apakah dokumen Amdal “sekadar” tidak boleh dilihat, atau dokumen itu memang tidak pernah ada.

Upaya memperoleh dokumen Amdal IKN sudah dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, salah satunya Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim. Pada 27 Mei 2023 lalu, mereka mengajukan sengketa informasi kepada Kementerian PUPR melalui Komisi Informasi (KI) untuk mendapatkan dokumen Amdal IKN.

Pada 4 Maret 2024, KI memenangkan Jatam yang artinya dokumen Amdal yang dimohonkan mesti dibuka ke publik. Sayangnya, putusan itu tidak diindahkan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono. Ia justru mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2 April 2024.

Peneliti Jatam Kaltim, Teresia Jari, menambahkan bahwa proses pembangunan infrastruktur IKN dilakukan dengan membuka lahan yang sangat luas. Pohon-pohon dibabat, tanah digali, dan dibersihkan.

Dampaknya, pembukaan lahan itu membuat mineral dan logam yang berfungsi sebagai sumber hara di dalam tanah ikut terbongkar. Ketika hujan turun, air yang mengalir di permukaan akan membawa mineral dan logam ini ke daerah yang rendah dan akhirnya masuk ke sungai.

Air sungai menjadi berubah, sungai mengalami penyempitan, dan sedimentasi. Sedangkan dampak tak terlihat adalah seberapa besar kandungan logam dan mineral yang terkandung di air sungai. Masih normal atau melebihi ambang batas?

“Keruh itu mempengaruhi kualitas air. Bisa dibilang ketika air keruh, berarti ada sesuatu yang banyak atau berlebihan di dalamnya,” kata perempuan yang akrab disapa Tere ini.

Untuk mengecek kualitas air, selain pengamatan fisik, indikator yang perlu dicek adalah pH air. Ini mesti lekas dilakukan karena kondisi air bisa cepat berubah.

Setelah itu baru mengecek TSS dan TDS. Seperti dilansir laman Water Digest, total suspended solids atau total padatan tersuspensi (TSS) mengacu pada partikel berukuran lebih dari 2 mikron yang terbawa air.

TSS dapat berupa benda apa pun yang mengapung atau menggantung di dalam air, termasuk pasir, sedimen, dan plankton. Ketika air terkontaminasi tanaman atau hewan yang membusuk, partikel organik yang dilepaskan ke air biasanya berupa padatan tersuspensi.

Sementara beberapa sedimen akan mengendap di dasar sumber air, mengapung di permukaan air atau tetap tersuspensi di antara keduanya. TSS memengaruhi kejernihan air; semakin tinggi kandungan TSS suatu sumber air, semakin tidak jernih air tersebut.

Sementara TDS adalah total dissolved solids atau total padatan terlarut yang berukuran lebih kecil dari 2 mikron. TDS adalah semua bahan organik dan anorganik dalam bentuk ion, molekular, atau mikrogranular (koloid) yang ada dalam air.

“Ada beberapa langkah yang harus dilalui untuk menguji kualitas air. Ada juga regulasi yang mengatur parameter ujinya. Di Kaltim ini lemah karena dari banyak parameter uji, Kaltim cuma menggunakan empat parameter,” bebernya.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan, setidaknya ada 49 parameter uji. Sementara untuk mengecek kelayakan air berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kaltim Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air, hanya ada 4 parameter uji di dalamnya, yakni padatan tersuspensi total (TSS), besi total (Fe), mangan total (Mn), dan derajat keasaman (pH). (Bersambung)

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal KaltimToday, pada 31 Agustus 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 

kali dilihat