Ugal-ugalan Proyek PLTA Upper Cisokan : Membabat Hutan, Merampas Ruang Hidup

Oleh: Restu Nugrah 

INDEPENDEN- Matahari tepat di atas ubun-ubun saat Nariah mengarit rumput di area kebun, Desa Karangsari, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. Sengatan surya tak menghalangi tekad perempuan 70 tahun itu untuk mencari pakan kelinci peliharaannya. Tangannya telaten memilih daun sintrong atau rumput teki di antara rimbun semak-semak liar kaliandra dan ilalang.

Wadah karung rumput yang dibawa baru terisi seperempat, tapi tubuh Nariah memaksa ingin istirahat. Ketahanan usia senja tak bias bohong, punggungnya mulai terasa pegal lantaran terlalu lama bungkuk. Panas matahari juga membuat kerongkongan kering. Dia kompromi oleh keadaan: bergeser dari area terbuka ke bawah pohon rindang agar bisa meneguk bekal air.

"Istirahat dulu, maklum kalau sudah tua jadi mudah capek," kata Nariah sambil membuka bekal minum di dalam botol bekas air mineral.

Nariah adalah satu dari sekitar 233 orang petani penggarap lahan di Gunung Karang, Desa Karangsari, Kecamatan Cipongkor yang tergusur proyek tambang batu andesit untuk bahan pondasi waduk PLTA Upper Cisokan di Desa Sukaresmi, Kecamatan Rongga, Bandung Barat.

Lansia anak empat anak itu kehilangan lahan kebun seluas 1 hektar dan sawah 4 petak yang digarapnya sejak tahun 1980. Dari tanah itu ia bisa menyambung hidup dengan menanam padi, aneka jenis kayu keras, pohon aren untuk bahan gula merah, serta beragam palawija.

Nariah, 70 tahun, beristirahat usai mencari rumput pakan kelinci di Gunung Karang, Desa Karangsari, Kecamatan Cipongkor. Ia menjadi satu dari ratusan warga yang tergusur proyek tambang batu andesit untuk pondasi waduk Cisokan.
Nariah, 70 tahun, beristirahat usai mencari rumput pakan kelinci di Gunung Karang, Desa Karangsari, Kecamatan Cipongkor. Ia menjadi satu dari ratusan warga yang tergusur proyek tambang batu andesit untuk pondasi waduk Cisokan. (Foto: Restu)

Kehadiran proyek konstruksi Upper Cisokan Pumped Storage atau UCPS terdiri dari dua bendungan atas dan bawah memerlukan pondasi kokoh berbahan batu hitam dari Gunung Karang. Tak pelak, ratusan penggarap di sana harus tersingkir. Mereka kehilangan mata pencaharian dan tak menerima penggantian sepadan dengan dalih gunung tersebut telah dibeli PLN sejak tahun 1986 untuk tambang batu proyek PLTA Saguling.

"Ti kapungkur abi gaduh kebon didieu jeung sawah di lebak, janten teu ngarit siga kieu. Ayeunamah tos teu kengeng digarap deui. Saurna bade di ala batuna kanggo Upper Cisokan. (Dari dulu saya menggarap kebun ini dan sawah di area bawah, jadi gak ngarit rumput. Sekarang gak bisa digarap lagi, karena akan ditambang untuk Waduk Cisokan)," tuturnya.

Data Kantor Kecamatan Cipongkor mencatat reaktivasi tambang di Gunung Karang untuk PLTA Upper Cisokan memerlukan lahan seluas 22 hektar. Lahan tersebut seluruhnya merupakan milik PT Indonesia Power yang dulu dipakai untuk Pembangunan PLTA Saguling. Sebanyak 233 penggarap diklaim telah diberi kompensasi atau ganti rugi tanaman atau tegakkan yang ditentukan melalui azas keadilan karena hasil kajian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).

Meski begitu, keadilan seperti hanya di atas kertas dan azas diawang-awang yang sulit dibumikan. Kompensasi lahan garapan di Gunung Karang bermasalah karena skema penggantian hanya merujuk pada tanaman milik petani. Penggantin itu juga jauh dari kata adil karena hanya berdalih pada secarik bukti kertas surat tanda penggarap, tanpa melihat siap yang benar-benar telah mengolah lahan selama bertahun-tahun. Imbasnya, banyak penggarap lahan bodong tiba-tiba muncul, sementra penggarap asli seperti Nariah tak punya bukti serta akses untuk mengurus administrasi macam itu.

"Nyeri hate abi mah, kebon sahektar lebih sareng sawah opat kotak keur digentosan Rp900 ribu. (Saya sakit hati, tanah seluas 1 hakter dan sawah 4 kotak hanya diganti Rp900 ribu)," papar Nariah. "Saya sudah berjuang tanya ke pemerintah setempat, bolak-balik minta kejelasan dan keadilan, tapi tetap nominal penggantian tak berubah. Katanya kebun saya sudah ada yang jual," tambahnya.

Nariah pasrah. Upaya memperjuangkan keadilan hanya menyita waktu, tenaga, dan menguras kesehatannya. Pergantian pohon bambu, pohon aren, kayu keras, dan padi yang ditanamnya tetap tak membuahkan hasil. Untuk bertahan hidup, ia beralih profesi dari petani menjadi pengurus kelinci yang dibeli dari uang kompensasi lahan sawah dan kebun.

Bagi Nariah, proyek PLTA Cisokan hanya membuat hidupnya makin sulit. Dulu saat punya sawah ia tak khawatir membeli beras. Kini setelah lahan garapannya berubah jadi jalan tambang dan mess pegawai, ia dipaksa serba konsumtif tanpa sumber kejelasan pemasukan.

"Cekap kanggo naon atuh acis Rp900 ribu? Padahal tos teu gaduh sawah mah ayeuna beas kedah meser. Cengek oge kedah ngagaleuh, pan kebon tos teu tiasa dipelakan. (Cukup buat apa uang Rp900 ribu? Beras kini harus beli setelah sawah hilang. Sayuran juga beli karena kebun digusur)," katanya.

Kini matahari mulai condong ke Barat, perempuan tua itu melangkah gontai meninggalkan area kebun di bawah rindang daun mahoni yang sejak tadi jadi tempatnya berteduh. Ia begegas menuju peraduan dengan memikul karung berisi rumput untuk pakan 3 ekor kelinci. Hewan peliharaan itu, kini jadi satu-satunya harap Nariah melanjutkan hidup setelah sawah dan kebun digusur Proyek Strategis.

Ancaman bagi mata air

Lokasi tambang di Gunung Karang.
Lokasi tambang di Gunung Karang. (Foto: Restu)

Reaktivasi tambang di Gunung Karang untuk proyek Waduk Cisokan bukan saja mengusir ratusan petani yang bercocok taman, aktivitas ini ikut berpotensi mengancam sumber air bagi ratusan warga. Pasalnya, gunung ini memiliki sejumlah mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat mengumpulkan air dengan metode membuat bak penampung, kemudan dari bak tersebut mereka memasang pipa ke rumah masing-masing. Kebiasaan ini telah berlangsung bertahun-tahun karena area pemukiman warga sulit air tanah.

“Saya sejak lahir di sini, pakai air dari Gunung Karang pakai pipa. Kami bertahun-tahun tak bayar karena gratis dari mata air. Paling biaya untuk beli pipa,” kata Abah Amin, 55 tahun, warga Kampung Babakan, Desa Sarinagen, Kecamatan Cipongkor.

Berdasarkan penelusuran, terdapat sedikitnya 7 lokasi penampung air dari Gunung Karang yang disalurkan ke warga dua desa. Meliputi Kampung Babakan Desa Sarinagen, Kampung Bojongpari, Cimenet, Cisatong, Cantrawayang, Pasir Astana, dan Singadirga di Desa Karangsari. Selain dipakai kebutuhan minum, mata air itu jadi sumber utama puluhan hektar lahan pertanian sawah.

“Area ini sudah terkenal sulit air tanah. Saya pernah bor tapi gak keluar air karena baru saja di kedalaman 6 meter, mata bor patah oleh batu. Mata air ini tak pernah kering, hutan atau kemarau debitnya tetap sama,” ucapnya.

Aktivitas tambang di Gunung Karang memang baru kegiatan permulaan berupa pembangunan area mess pegawai dan pembentengan lokasi. Warga khawatir ketika pengerukan batu dimulai, mata air akan terganggu. Oleh karena itu, masyarakat minta kegiatan tambang tak dilaksankan sebelum ada jaminan pasokan air tetap normal.

“Kami minta tak dilaksanakan dulu pertambangan sebelum ada jaminan mata air aman. Bukan kita ingin mengganggu kegiatan proyek, tapi jangan sampai ramai ketika sudah terjadi. Harus ada mitigasi dari awal,” jelas dia.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mengecam keberadaan tambang andesit Gunung Karang untuk pendukung pembangunan PLTA Upper Cisokan. Selain merusak bentang alam, merampas ruang hidup petani, menghilangkan habitat flora dan fauna, meningkatkan pelepasan emisi, juga berdampak pada hilangnya mata air. Apalagi PSN ini sejak awal tidak pernah transparan dari sisi dokumen perizinan dan kajian dampak negative bagi lingkungan.

“Kami sangat menyayangkan adanya kegiatan tambang di wilayah ini. Aktivitas tambang akan menggerus kelangsungan lingkungan hidup mulai dari efek berubahan bentang alam, berbagai polusi, serta kekeringan karena gunung memiliki fungsi sebagai sumber air,” kata Direktur Walhi Jabar, Wahyudin Iwank.

Menurutnya proyek PLTA Upper Cisokan sejak awal terkesan sporadis tanpa pertimbangan kaidah-kaidah lingkungan. Misalnya saat melakukan kegiatan pembangunan akses jalan, proyek ini ugal-ugalan membuka jalur dan menebang pohon tanpa memperhitungkan jalur lari air atau run off. Imbas hal itu, bencana longsor langganan terjadi tatkala hujan datang.

“Lihat saja, jalan menuju proyek ini kerap longsor karena sejak awal ugal-ugalan. Tak kajian lingkungan secara serius,” terangnya.

Lebih jauh, Iwank mendesak proyek pembangkit listrik ini dihentikan sementara sampai dampak lingkungan hidup benar-benar ditanggulangi, berbagai laporan komplik agraria dituntaskan, serta libatkan partisipasi masyarakat agar haknya dipenuhi.

Tergusur di lembur sawah

Excavator dan bulldozer terlihat terus meratakan tanah dan memapas tebing hutan Datar Domba dan Batu Bedil yang botak tanpa pepohonan. Puluhan dump truck hilir-mudik mengangkut tanah, batu krikil, serta olahan semen yang siap ditumpahkan untuk jalan baru dan lapisan pengeras bukit agar tanah tak ambrol tatkala diguyur hujan.

Pemandangan ini mulai akrab bagi Waning, 50 tahun, warga Kampung Lembur Sawah, Desa Sukaresmi, Kecamatan Rongga, sejak ahkhir tahun 2022. Dusun yang dulu asri dan hijau penuh pepohonan, udara sejuk, serta ramai dengan suara kicau burung, kini berubah penuh polusi debu, bising mesin konstruksi, bahkan sesekali terdengar suara ledakan dari aktivitas merontokan batu mempercepat pembuatan terowongan waduk.

Bagi Waning, kehadiran proyek bendungan bukan saja merampas eksotisme kampung dan hutan di area tempat tinggalnya, tapi juga merampas ruang hidup sebagai kebutuhan dasar manusia. Warga yang semula bergantung pada hutan harus tersingkir, rumah dan sawah harus rela diserahkan ke proyek listrik yang didanai utang luar negeri itu.

“Hutan habis dibabat, warga yang bergantung ke Gunung Datar Domba dan Batu Bedil juga harus pindah ke area lain. Rumah, sawaah, dan kebun juga tergusur,” ucap Waning.

Kampung Lembur Sawah tempat Waning tinggal merupakan pemukiman paling dekat dengan area proyek PLTA Upper Cisokan. Ratusan warganya kini telah eksodus ke berbagai daerah karena area itu akan ditenggelamkan oleh genangan Waduk Cisokan. Sebagian pindah ke kampung sebelah seperti Babakan Bandung dan Tegalalaja. Sebagian lagi, berpencar ke daerah Bojongsalam higga Cianjur. Dari sekitar 70 kepala keluarga (KK), kini masih ada 27 KK tinggal di sana dengan alasan belum dibebaskan atau tak cukup biaya.

“Rumah saya kena gusur, tapi saya gak meninggalkan kampung ini karena biaya pindah tak cukup jika hanya mengandalkan biaya penggantian. Jadi tetap di sini, kebetulan masih ada lahan yang gak terkena jalur pembebasan,” tutur Waning.

Berdasarkan dokumen berjudul Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) Upper Cisokan Pumped Storage (UCPS) Hydropower Project 1040 MW yang dipublikasikan PLN Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah tahun 2021, total luas lahan yang dibutuhkan untuk proyek UCPS kurang lebih 731,76 ha, terdiri dari 310,06 ha tanah milik pribadi, 12,16 ha tanah kas desa, 0,54 ha tanah wakaf, dan 409 ha lahan kehutanan.

Waning tak kuasa menolak tatkala sawah seluas 4 gawang dan tempat tinggalnya harus dikosongkan demi proyek pemerintah dengan harga penggantian Rp200 juta. Nominal itu sekilas nampak besar, tapi jika dikonversi untuk biaya pindah jelas tak akan cukup karena ada beban tambahan membeli tanah baru, ongkos material bangunan rumah, serta upah pekerja. Selain itu, pindah ke tempat baru harus memulai dari awal pekerjaan baru yang masih abu-abu. Apabila tersedia pilihan tak menjual, dirinya jelas akan memilih itu.

“Karena tak ada pilihan menolak, saya cuma pasrah. Tapi sekarang masih tinggal di sini karena masih ada tanahnya di sini. Saya bangun gubuk baru dan ada sawah yang masih bisa digarap untuk makan sehari-hari. Kalau pindah, saya harus pikirkan cara bangun rumah dan pekerjaan baru yang belum pasti,” jelas Waning.

Mereka yang bertahan di Kampung Lembur Sawah bukan tanpa hambatan. Selain beragam dampak karena berdakatan dengan proyek, area sawah warga kehilangan sumber air karena tertutup pembangunan jalan. Kondisi ini mengakibatkan pola tanam yang semula bisa 3 kali panen dalam setahun berubah mengandalkan curah hujan.

“Jadi ada 12 orang yang masih punya sawah di Lembur Sawah. Karena dibuat jalan ke proyek bendungan di area hutan, sumber air ke sawah jadi terhalang jalan. Otomatis sawah gak ada sumber air,” kata Asep Suherman, Ketua RW 01 Lembur Sawah.

Pria akrab disapa Uus itu meminta pemilik proyek memperbaiki kontruksi jalan agar tak menghambar laju air menuju sawah. Jika itu tidak bisa, masyarakat minta PLN membenaskan lahan sawah karena terancam tak produktif.

“Saya harap ada pertanggungjawaban karena air ke sawah gak ada. Kalau gak bisa, bebaskan lahan sawah yang masih tersisa termasuk warga yang masih tinggal di Lembur Sawah,” tandasnya.

Picu masalah sosial dan ekonomi

Proyek PLTA Upper Cisokan PSN yang menelan biaya USD610 juta dari pinjaman International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Pembangkit listrik dengan kapasitan 1.040 MW ini akan jadi pasokan energi wilayah Jawa-Bali sekaligus mercusuar untuk mengejar target bauran 25 persen Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang dipasang pemerintah pada tahun 2025.

Sayangnya, upaya mewujudkan energi bersih ini tak dibarengi dengan langkah serius dalam menuntaskan hak bagi masyarakat terdampak. Proyek waduk Cisokan belum memberikan penggantian adil bagi warga tergusur serta upaya serius pemulihan ekonomi bagi mereka yang terpaksa eksodus. Kewajiban pemerintah hanya selesai tatkala membayar ganti rugi tanah, setelah itu warga dibiarkan berjuang sendiri mejalani kehidupan baru tanpa pendampingan.

"Saya lihat proyek bendungan Cisokan seperti juga PSN lainya hanya mengorbankan rakyat kecil. Tanah mereka dirampas dengan penggantian tak sepadan. Tak ada pemulihan ekonomi bagimana dia kerja di tempat baru yang tak punya tanah dan keahlian," kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman.

Kalau pun ada upaya pemulihan ekonommi warga terdampak, Yusri menilai hanya sebatas serionial dan gimmick. Langkahnya tak pernah serius. Misalnya ada pemberdayaaan ekonomi dengan pelatihan keterampilan, tapi tak pernah dibarengi dengan kepastian ketersediaan serapan pasar dan bantuan modal. Hasilnya warga terdampak tetap kesulitan secara ekonomi, padahal sebelum tergusur mereka bisa bertahan hidup dengan bertani.

"Jadi pemberdayaan masyarakat yang dijalankan itu hanya kosmetik semata. Gak ada yang serius. Otomatis bukan sejarhtera, adanya proyek ini mereka makin sengsara," jelasnya.

Praktik tidak adil dalam skema penggantian lahan atau rumah warga yang tersgusur serta upaya serius pemulihan ekonomi masyarakat terdampak justru rentan memicu masalah sosial di lingkungan. Kemiskinan, pengangguran, serta kriminalistas menjadi fenomena yang sulit terhindarkan. Yusri mencontohkan program transmigrasi tahun pada awal tahun 1990-an, warga dari Jawa dipindahkan ke Lampung dengan diberi fasilitas rumah, lahan, pendanaan, dan pendampingan dari pemerintah. Namun program tersebut juga tak sepnuhnya mulus, apalagi warga korban gusuran PSN yang tak pernah diberi jaminan rumah untuk pindah, keahlian untuk menata ekonomi, hingga modal untuk usaha.

“Transmigrasi itu gagal padahal dibiayai negara, sementara ini warga dibedol pindah tapi dibiarkan begitu saja. Yang ada justru menghadirmakan kemiskinan dan masalah social baru,” tandasnya.

Membabat hutan

Pembangunan PLTA Cisokan juga diduga merusak hutan. Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat menerbitkan laporan bertajuk: Refleksi Akhir Tahun 2023 & Menjelang Akhir Periode Kepemimpinan 2019– 2024 di Bidang Kehutanan. Dalam laporan itu, forum yang terdiri dari sejumlah organisasi pegiat lingkungan ini menemukan alih fungsi lahan hutan skala besar yang dilakukan PT PLN untuk PLTA Cisokan.

PT PLN telah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH (Nomor 63/1/IPPKH/PMDN/2016) seluasa 409 hektar untuk proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Upper Cisokan. Berdasarkan regulasi, mereka berkewajiban melakukan penggantian hutan seluas 1 berbanding 2 atau lahan hutan baru seluas 818 hektare.

Kewajiban penggantian lahan hutan di Bandung Barat ternyata hanya manis di atas kertas tanpa implementasi jelas. FK3I Jawa Barat menemukan bahwa PT PLN belum menyediakan kekurangan lahan pengganti seluas 665,727 hektare, karena hingga tanggal 1 Desember 2021 mereka baru menyediakan lahan pengganti 152,273 Ha ke Kementerian Lingkungan Hidup atau KLHK.

Tak cuma itu, FK3I Jawa Barat juga mendapati bahwa bahwa lahan pengganti proyek PLTA Upper Cisokan yang diserahkan ke KLHK seluas 152,273 Ha belum dilakukan penanaman sebagaimana fungsi kawasan hutan.

"Hingga tanggal 13 September 2023, dari Luas 152,273 Ha, PLN belum Melakukan Penanaman dan penghutanan Kawasan," kata salah satu pegiat lingkungan FK3I Jawa Barat, Dedi Kurniawan.

Alih fungsi lahan hutan menjadi PLTA Cisokan sangat mengkhawatirkan karena area ini merupakan tempat hidup beragam flora-fauna. Bahkan Kawasan ini jadi tempat tinggal hewan langka seperti Macan Tutul, Trenggiling, Surili, dan Kukang Jawa.

“Batul di sini memang masih ada macan tutul. Kalau lagi kebetulan bisa lihat, tapi kalau enggak lihat, sering temukan jejaknya kaki atau bekas kotoran,” kata Rohmat, 55 tahun, seorang petani hutan asal Cipateungteung RT 01 RW 03, Desa Sukaresmi.

Rohmat menilai sejak hadirnya proyek PLTA di pegunungan Datar Domda dan Batu Bedil ada kecenderungan jejak macan tutul sulit ditemukan. Dirinya menduga hewan puncak rantai makanan itu menghindar karena terganggu bising dan kehadiran manusia. Di luar itu, ia mendapati intensitas primata dan babi turun masuk ke kebun makin sering.

”Sejak 6 bulan terakhir babi dan monyet sering masuk ke kebun. Mungkin karena lokasi cari makannya terganggu jadi turun ke kebun,” tandasnya.

*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal AyoBandung.com, 16 September 2024.  Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

kali dilihat