Oleh Ati Nurbaiti*
INDEPENDEN -- “Kreativitas tidak terbatas”, demikian kesan tentang para penyiksa korban semasa konflik Aceh, terlebih terhadap perempuan. Kesaksian korban terdokumentasi dalam “Peulara Damee: Merawat Perdamaian, Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh 2023” yang dirilis Desember lalu setelah tertunda cukup lama akibat berbagai hambatan.
Menurut satu testimoni, korban tewas ditemukan anak dan istrinya dalam kondisi dibakar dan dimutilasi dengan, maaf, potongan alat kelamin yang dimasukkan ke mulutnya. Sedangkan korban hidup kejahatan seksual tentu mengalami trauma sampai sekarang dari penghinaan “super kreatif” dan super sadis; yang dapat dibaca dari laman KKRA ( https://kkr.acehprov.go.id/media/2023.12/buku_laporan_peulara_damee1.pdf). Karena sudah milik publik, laporannya dapat diunduh gratis.
Berdasarkan rincian kesaksian, terbayang mungkin Indonesia bisa setidaknya menjadi finalis, jika ada lomba global cara-cara penghancuran kemanusiaan pihak lawan tanpa takut dituntut pertanggjawaban apalagi hukuman. Dari kasus lama seperti korban 1965 dan Timor Leste, terlihat betapa perkosaan sampai mati pun memang tidak cukup bagi para penjahat dan dalangnya untuk menghibur dan memuaskan diri sekaligus menghukum pihak lawan. Pelaku dan otaknya tetap bebas, meski banyak korban yang dapat menyebut nama dan kesatuan terduga pelaku.
Dalam laporan KKRA, lebih dari 90 persen pelaku dari 198 kasus kejahatan seksual yang terdata dari 1990 sampai 2004 adalah dari TNI; selebihnya termasuk polisi dan anggota Gerakan Aceh Merdeka. Tentu jauh lebih banyak yang belum sempat diwawancarai KKRA, yang baru berdiri tahun 2016. Siapa pula yang sepenuhnya bersedia membuka trauma lama tanpa kejelasan mendapat pemulihan dan keadilan?
Yang sangat jelas adalah warisan kita pada generasi berikut berupa berulangnya kejahatan dan kekebalan hukum pelaku dan otaknya, sehingga kebiadaban luar biasa mungkin dianggap biasa saja. Ini dampak yang lebih mengerikan. Di atas baru contoh dari Aceh — KKRA mengidentifikasi 10,652 tindak kekerasan dari 4,765 korban yang dapat diwawancarai; jelas satu korban mengalami lebih dari satu kekerasan di antara penyiksaan, kekerasan seksual, penghancuran dan perampasan harta serta penghilangan paksa dan eksekusi kerabat korban.
Korban tewas pun masih mengingatkan publik dan pemimpin tentang kejahatan dan pelaku yang berkeliaran bebas walau bukti-bukti dibakar dan dihancurkan; tulang belulang yang ditemukan tahun lalu diduga kuat adalah korban penyiksaan dan pembunuhan di lokasi Rumoh Geudong, Pidie, meskipun alasan penghancuran sisa-sisa bangunan tersebut adalah “Memorial Living Park” untuk menghormati korban.
Dokumentasi pengalaman korban harusnya menjadi modal untuk segera rehabilitasi korban, pengakuan kebenaran dan pertanggungjawaban para penjahat. Yang sangat mendesak juga upaya agar kejahatan aparat negara tidak terus berulang — karena mereka yang berhak memegang senjata berkuasa melakukan apa pun sampai sekarang, dengan alasan menjaga kepentingan bangsa, seperti menghancurkan “separatis” dan “kriminal bersenjata” di Papua, serta mengamankan “Proyek Strategis Negara”.
Di antara rekomendasinya KKRA menyerukan pengadilan HAM, yang juga merupakan amanat Perjanjian Helsinki dan qanun tentang KKR Aceh untuk pelanggaran HAM berat.
Apakah pemenuhan rekomendasi seperti ini terbayang di bawa pemerintah di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto? Ia termasuk atasan para prajurit Kopassus yang bertugas di Aceh semasa konflik.
Jauh sebelum pemilu pun, kepercayaan pada penegak hukum sudah rendah; KKRA sendiri harus bekerja keras memulihkan kredibilitasnya setelah sempat terterpa kasus korupsi. Dalam musim pilkada, agaknya para korban lebih skeptis lagi pada calon-calon eksekutif dan legislatif yang umbar janji. Sebagian hanya dapat menuntut dan menunggu santunan yang dijanjikan pemerintah.
Di tingkat nasional, wakil rakyat “cuek” terhadap persoalan mendesak dalam reformasi sektor keamanan, yaitu agar TNI dan Polri profesional dan tidak mewarisi impunitas para penjahat yang bebas berkeliaran. Tanda ketidakpedulian tersebut nyata dari upaya revisi UU TNI dan UU Polri, yang ternyata sudah siap dalam waktu kurang dari sebulan, menurut laporan media. Fokus RUU TNI termasuk memudahkan akses anggota aktif TNI memasuki jabatan sipil — bila lolos, ini sekedar “gong” legal setelah puluhan MOU sudah berjalan antara TNI dan banyak kementerian, yang sudah memungkinkan posisi sipil untuk anggota aktif.
Bandingkan cepatnya proses RUU TNI dan RUU Polri dengan macetnya upaya revisi UU Peradilan Militer 1997 — terutama agar anggota TNI yang melanggar hukum diadili di peradilan umum, bukan di peradilan militer yang tertutup. Bak bola panas, tak ada wakil rakyat yang mau menyentuh revisi undang-undang berusia 27 tahun ini. Tidak heran, kejahatan aparat negara berulang tanpa takut resiko apa pun di antara aktornya.
Belum lagi wacana menambah 22 Kodam, dari 15 menjadi 37 Kodam. Seperti yang dinyatakan peneliti sektor keamanan dari Setara Institute jelang akhir Mei lalu, usulan revisi UU TNI dan pembahasan penambahan Kodam di 38 propinsi berdampak “legitimasi perluasan peran militer di ranah sipil dari tingkat pusat (melalui revisi UU TNI) hingga ke tingkat daerah (melalui penambahan Kodam).”
Yang mendesak bagi elit politik rupanya segala cara merangkul yang berpotensi “brisik” di kalangan sipil, TNI dan Polri, sebelum pergantian pemerintah jelang akhir tahun ini. Sehingga yang dianggap rumit diberi perhatian sekedarnya, seperti para aktifis kemanusiaan yang “brisik”.
Di antara belasan rekomendasinya, KKRA juga mendorong terus penguatan, solidaritas dan pendampingan korban dan keluarga. Di sini peran penting pers untuk terus menggali beragam sisi pelanggaran HAM, apalagi dengan laporan-laporan tentang upaya mengubur kebenaran dengan intimidasi korban dan penghancuran bukti-bukti, serupa pola kasus-kasus lama.
Di tengah mundurnya demokrasi dan ancaman pada pers sendiri terhadap diri dan profesinya, tidak ada jalan lain bagi pers untuk terus sebisanya meliput pengalaman rakyat termasuk yang berhadapan dengan aparat pelindung kepentingan elit ekonomi dan politik. Pantauan pers membantu koalisi sipil yang mengadvokasi rakyat; maka kolaborasi antar media dan dengan masyarakat sipil semakin penting untuk mengatasi berbagai rintangan, terlebih di pelosok-pelosok negeri yang jauh dari mata media yang rata-rata minim sumber daya, serta konsumen media yang semata mencari hiburan atau berita sensasional, tanpa peduli sumbernya. **
*Penulis merupakan wartawan lepas, pensiunan harian The Jakarta Post dan anggota tim penulis “Peulara Damee: Merawat Perdamaian, Laporan Temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh 2023”.