Kritik Atas Terbelenggunya Masyarakat Modern

 

Oleh: Efrial Ruliandi Silalahi 

Di era digital ini, kita sering dihadapkan pada berbagai iklan yang bermunculan di platform media sosial. Kemajuan teknologi memang membawa dampak positif, namun kita perlu mempertimbangkan potensi bahaya yang ditimbulkannya. Sadar atau tidak, fenomena post-truth telah merajalela dalam berbagai sendi kehidupan. Maka, post-truth pada akhirnya membawa kita untuk menyadari bila kebenaran menuntut keaktifan kita sebagai manusia untuk berpikir. Kebenaran hanya akan menjadi objektif apalagi hal itu sejalan dengan logika, nalar dan sesuai dengan fakta yang ada. Kebenaran adalah bukan tentang semata-mata yang dipikirkan benar, namun apa yang sesungguhnya benar.  Dari uraian diatas penulis mencoba merespon fenomena tersebut dengan pendekatan post strukturalis ala Jean Baudrillard.

Dengan berkembangnya berbagai inovasi baru, hasrat untuk membeli sesuatu ‘layaknya jamur di musim hujan’. Melalui iklan, kemasan, dan shopping mall, para juragan besar (elit) itu meningkatkan kapasitas konsumsi masyarakat. Aktivitas konsumsi inilah yang menjadi sendi kehidupan masyarakat konsumen. Sadar atau tidak, merasa membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, namun seolah menjadi tanda atau makna apa yang didapatkan ketika mengkonsumsi objek atau barang tersebut. Melalui objek atau barang yang dikonsumsi tadi, seseorang telah membedakan dirinya dengan orang lain.

Kondisi masyarakat seperti inilah yang dipahami Jean Baudrillard sebagai masyarakat konsumen. Masyarakat konsumen adalah masyarakat yang didalamnya tidak hanya ada objek-objek atau barang-barang yang ingin dibeli seseorang, namun juga tempat aktivitas konsumsi itu sendiri dikonsumsi dalam bentuk mitos. Dalam kajiannya tentang masyarakat konsumen, Baudrillard menjelaskan berbagai konstruksi sosial yang berkembang di sekitar objek-objek, seperti periklanan yang menjadikan objek atau benda tersebut hadir lebih dari sekadar kegunaannya. Bentuk objek itu sendiri menurutnya kerap tidak memiliki kegunaan, namun berperan sebagai penanda. Misalnya, desain spoiler smartphone komersial yang sebenarnya tidak memiliki fungsi, namun memberikan tanda atau kesan mewah dan mahal.

Objek konsumsi telah menjadi sistem klasifikasi dan kategorisasi kelas, status, prestise, gaya hidup, dan bahkan tingkah laku masyarakat. Seorang individu dalam realitas masyarakat, menerima identitas mereka bukan karena siapa mereka dan apa yang mereka perbuat, melainkan tanda atau makna apa yang mereka konsumsi. Menurut Karl Marx, komoditas hanya mempunyai nilai guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value). Sedangkan menurut Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumsi masyarakat dewasa ini tidak terletak pada fungsi atau kegunaannya, tetapi pada nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbolic-value) yang disebarluaskan melalui iklan-iklan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsumsi merupakan penggunaan barang hasil produksi menjadi tindakan yang mencerminkan posisi sosial. Namun, di era sekarang muncul istilah konsumerisme yang berarti melampaui konsumsi sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi juga menjadi gaya hidup yang menjadi kesadaran praktis seseorang. Seseorang akan hidup bila dituntut oleh barang yang digunakan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan atas sesuatu, melainkan dipengaruhi oleh iklan dan keinginan orang lain.

Iklan kini dianggap sebagai realitas, bahkan dalam situasi yang sebenarnya tidak sesuai. Hal itu karena konsumsi menjadi tuntutan sosial dan pembentuk makna. Dimana hal itu terkait dengan standar kebahagiaan seseorang. Kemudian, proses konsumsi simbolis membentuk gaya hidup dan menunjukkan integrasi sosial. Uang memberikan kebebasan pada seseorang dalam membeli sesuatu, namun konsumsi juga menjadi tuntutan, melebihi sekadar pemenuhan kebutuhan.

Logika hasrat termanifestasi dalam keinginan seseorang untuk memiliki barang yang lebih berkualitas dan mewah, bahkan setelah memiliki barang serupa. Di sisi lain, logika simbol tampak pada pelanggaran bagi mereka yang melanggar perbedaan status. Baudrillard menyebutnya sebagai nilai tanda (hasrat) dan simbol yang menjadi mekanisme konsumsi.

Di sisi lain, permasalahan perpindahan masyarakat dari desa ke kota misalnya, tidak hanya dilihat dari kegiatan ekonomi dan faktor kesejahteraan, melangkah lebih jauh terdapat maksud tersembunyi dari sekadar pemenuhan kebutuhan melalui perekonomian yang lebih mapan. Pemenuhan hasrat yang disebar oleh film/sinetron atau media sosial yang mempertontonkan kemewahan hidup dan periklanan yang secara serampangan telah menggeser pemikiran masyarakat, khususnya pedesaan; dari berusaha memenuhi kebutuhan menjadi sebuah bencana pemenuhan hasrat.

Ketika konsumsi dijadikan sebagai ideologi maka berperan merekatkan masyarakat melalui pencitraan, dimana orang mengkonsumsi bukan berdasarkan kebutuhan esensial, namun pada permukaannya. Misalnya rela membeli smartphone mahal merek tertentu dengan cara mengangsur alias kredit demi menunjukkan eksistensinya pada relasi.  Hal ini merupakan konstruksi sosial, bukan nilai sejati.

Iklan seringkali menggambarkan sesuatu yang melebihi realitas, dan konsep benar salah tidak lagi berguna. Hal ini disebabkan oleh fokus pada pemenuhan kebahagiaan yang serba instan tanpa peningkatan kualitas hidup. Orang tidak melihat iklan sebagai realitas, melainkan mematuhinya tanpa pertimbangan kritis. Iklan tidak muncul karena pihak marketing ingin merayu konsumen, melainkan karena konsumen suka ditipu oleh ketidaksadaran dan keterisoliran. Iklan menjadi semacam sabda kenabian yang membuat orang berhenti berpikir dan belajar, hanya berharap.

Kondisi melampaui batas (hipperealitas)  seringkali terjadi dalam masyarakat modern saat ini misalnya ketika sekelompok pemangku kepentingan berkunjung ke sebuah perkampungan kumuh memberikan bantuan berupa sembako, lebih dari itu yang dibutuhkan warga adalah bagaimana mereka mampu berdaya tanpa harus bergantung dengan sembako yang diterima. Pelatihan yang bersifat teknis agar warga memiliki keterampilan dan siap bekerja atau membuka usaha secara swadaya.

Disisi lain, bagaimana masyarakat harus harus berjuang hidup karena tekanan sosial dan ekonomi. Alih-alih berharap ke kota bermimpi bisa bekerja dan memperbaiki derajat keluarga, namun justru hidup menjadi pengangguran di jalanan. Polemik inilah yang menimbulkan naiknya angka kriminalitas dan buruknya kualitas hidup masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari terpaksa harus menjual harta benda bahkan rela meminjam uang yang tidak seberapa pada koperasi keliling alias rentenir, dengan bujuk rayu iklan di smartphone. Mau tidak mau, suka tidak suka terpaksa harus bekerja serabutan menjadi kuli panggul di pasar, pengamen, tukang parkir di mini market, bagi yang berpikir mentok bahkan ada yang nekad menjadi preman atau tukang copet agar dapat bertahan hidup.

Padahal di tempat inilah masyarakat justru dimampukan agar tidak terhimpit pada situasi ekonomi yang kian mencekik. Memberikan penyadaran kritis agar warga tidak lagi bergantung pada bantuan sosial, misalnya menawarkan solusi pelatihan di balai pelatihan kerja agar lebih tepat sasaran, magang di kantor-kantor yang bekerjasama dengan instansi pemerintah, hingga menyediakan akses dan jalur prioritas bagi warga yang kurang mampu agar dapat akses keadilannya dapat merata dan dirasakan bersama dampaknya.

Hegemoni Media Membentuk Masyarakat Modern

Sebagai individu seyogyanya kita bahagia karena diri sendiri, bukan karena penilaian orang lain atau standarisasi yang berlaku di luar diri kita. Terlebih lagi, di era kontemporer ini kita digempur oleh budaya massa, sehingga menyulitkan kita untuk menyadari hal tersebut. Kecenderungan kita meletakkan kebahagiaan kepada sesuatu yang sulit digapai. Pada akhirnya justru terjebak dalam lingkaran keinginan yang tak berujung dan berakhir pada keputusasaan. Parahnya lagi, kita justru cenderung mengejar kebahagiaan yang semu dan sementara.

Antonio Gramsci sudah membahas bagaimana media membentuk masyarakat. Media telah menghegemoni kita untuk mempercayai apa yang mereka buat dan tawarkan. Dipoles dengan menggunakan orang yang berpengaruh, misalnya publik figur yang turut menyumbang kesuksesan hegemoni tersebut. Akibatnya, kita cenderung mengikuti standarisasi viral atau trending topic sebagai parameter kebahagiaan menjadi masyarakat konsumtif. Misalnya, pamer kebahagiaan dengan memposting smartphone mahal di media sosial.

Viral dapat dianggap sebagai suatu bentuk dari hegemoni yang terjadi di masyarakat. Hegemoni tidak hanya terjadi melalui kekuasaan politik atau militer, namun juga melalui kekuasaan ideologis dan kultural. Hegemoni terjadi bila ide atau nilai tertentu dianggap sebagai norma yang harus diikuti oleh masyarakat. Fenomena viral dapat digunakan sebagai alat hegemoni dalam beberapa cara. Pertama, digunakan untuk menyebarkan propaganda atau informasi yang tidak akurat atau menyesatkan dengan cepat dan luas. Kedua, digunakan untuk meyebarkan pesan atau ide tertentu yang dianggap penting oleh pihak yang menyebarkannya, terutama bila pihak tersebut memiliki kekuasaan atau pengaruh yang besar. Ketiga, digunakan untuk menciptakan tekanan sosial yang tidak sehat atau mempengaruhi norma sosial yang ada. Sehingga penting bagi kita untuk bersikap terbuka, sekaligus kritis terhadap berbagai postingan di media sosial salah satunya dengan melakukan verifikasi terkait informasi yang beredar sebelum meyakini kebenaran dan membagikannya pada orang lain.

Budaya massa ini membuat kebahagiaan dengan standarisasi orang lain menjadi hal yang lumrah. Saat ini, banyak orang akan merasa bahagia ketika pencapaiannya diakui oleh orang banyak dengan parameter ‘like’ dan ‘comment’ di media sosial. Mungkin secara sadar ataupun tidak sadar, kita termasuk didalamnya yang dipengaruhi budaya massa ini. Bila demikian, siapa dan apa yang bertanggung jawab atas semua ini?

Bahkan situasi ini mempengaruhi kita sampai tahap pilihan mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi suatu barang. Sebagian kita akan merasa bahagia bila mengenakan barang branded, seakan-akan baranglah yang menentukan nilai dari seseorang. Bila tidak mampu membelinya, maka merasa tidak bahagia karena tidak mengikuti perkembangan zaman bahkan dianggap tidak keren.

Menurut Harbert Marcus, kita kerap kali ditipu dengan kebutuhan palsu alias sifatnya pemenuhan keinginan. Sayangnya, kebutuhan ini yang seringkali kita kejar sampai setengah mati. Maka konsumsi barang saat ini bukan berdasarkan nilai gunanya, melainkan pada prestise. Semesta sebenarnya cukup untuk menyediakan kebutuhan kita, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan kita, karena keinginan manusia tak akan pernah ada habisnya. Pertanyaan filosofisnya, sampai kapan kita menyandarkan kebahagiaan untuk memenuhi keinginan kita? Keinginan akan terus berkembang biak menghasilkan keinginan lain yang tidak ada habisnya. Keinginan akan selesai bila kita meninggalkan dunia ini, jika demikian sampai akhir hayat kita tidak akan bahagia. Bukankah sebagai manusia kita berhak bahagia?

Penulis merupakan Founder Ecopeace.id

Referensi

  • Baudrillard, Jean. The Consumer Society: Myths and Structures. Rev. Edition. TCS Series. Thousand Oaks, CA: Sage Ltd, 2016.
  • Featherstone, Mike. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
  • Fitrianti, Rizqi. “Simulacrum Media di Era Postmodern: Analisa Semiotika Jean Baudrillard dalam Narasi Iklan Kecantikan Dove Edisi ‘Dove Real Beauty Sketches.’ Bureaucracy Journa: Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance 1, No.2 (August 30, 2021): 92-117.
  • Haryatmoko, Johannes. Dominasi Penuh Muslihat:  Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
  • Hidayat, Medhy Aginta. Jean Baudrillard & Realitas Budaya Pascamodern. Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2021.
  • Hidayat, Medhy Aginta. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra, 2017.
  • Jay, Martin. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2005.
  • Walter L Adamson, Hegemony and Revolution a Study of Antonio Gramsci Political and Cultural Theory, California: University of California Press. 1980.
  • Zezen Zaenudin Ali, “Pemikiran Hegemoni Antonio Gramsci (1891-1937) di Italia” Yaqzhan Vol. 3 No. 2 (Desember 2017): 63.

   

kali dilihat