Oleh: Betty Herlina
INDEPENDEN- Provinsi Bengkulu dikenal dengan sebutan Land of Rafflesia, karena wilayah ini merupakan “rumah besar” bagi bunga Rafflesia di Indonesia. Habitat alami bunga parasit yang tidak membunuh inangnya ini, bisa dijumpai hampir di seluruh kabupaten di provinsi yang berada di pesisir barat Pulau Sumatra.
Dari 27 jenis Rafflesia di dunia, lima jenis Rafflesia yang dapat ditemukan di Bengkulu, yakni Rafflesia arnoldi, Rafflesia bengkuluensis, Rafflesia gadutensis meijer, Rafflesia kemumu termasuk Rafflesia haseltii yang tercatat mekar di tahun 2023 dan 2024 setelah terakhir diketahui mekar di tahun 2006.
Mengutip Jaring,id dan data dari Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL), diketahui dalam 9 tahun terakhir Rafflesia mekar sebanyak 708 kali.
Rafflesia arnoldi tercatat sebagai spesies paling sering mekar dalam kurun waktu 2016 hingga 2025, berdasarkan data pemantauan lima spesies Rafflesia di Bengkulu. Grafik tren menunjukkan lonjakan mekarnya bunga raksasa ini terutama pada tahun 2020 dan 2023, menandakan habitat yang relatif stabil dan kemungkinan dukungan konservasi yang berkelanjutan.
Spesies endemik Bengkulu, Rafflesia bengkuluensis dan Rafflesia kemumuensis, juga menunjukkan tren positif. R. bengkuluensis mengalami peningkatan signifikan sejak 2018 dan mencapai puncaknya pada 2024. Sementara itu, R. kemumu, yang tergolong spesies baru, mulai mekar konsisten sejak 2021. Di sisi lain, Rafflesia hasseltii menunjukkan fluktuasi jumlah bunga mekar, dengan penurunan tajam di beberapa tahun.
Ketua Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Sofian mengatakan Rafflesia hasseltii habitatnya dapat dijumpai di hutan hujan tropis Sumatera yang lembap dan masih alami, terutama di Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan. Habitatnya berada di kawasan hutan dengan banyak tumbuhan inang Tetrastigma, biasanya di lembah-lembah, lereng bukit, dan sekitar aliran sungai kecil.
“Jenis ini sempat terdokumentasi mekar juga di tahun 2006,” kata Sofian yang membantah adanya narasi 13 tahun bunga jenis ini tak kunjung ditemukan mekar.

Sedangkan Rafflesia gadutensis mejier menjadi spesies dengan jumlah bunga mekar paling sedikit, hanya tercatat mekar di tahun-tahun tertentu.
Tahun 2020 dan 2023 menjadi periode dengan jumlah bunga mekar tertinggi secara keseluruhan, mengindikasikan kondisi lingkungan yang mendukung atau peningkatan intensitas pemantauan lapangan.
Peneliti Rafflesia dari Universitas Bengkulu (Unib), Prof. Agus Susetya, menjelaskan bahwa marga Rafflesia tersebar luas di wilayah barat garis Wallacea, mulai dari perbatasan Myanmar–Thailand, Semenanjung Malaysia, Filipina, hingga Indonesia. Di Indonesia sendiri, spesies Rafflesia dapat dijumpai di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
“Saat ini, kawasan hutan di Pulau Sumatra, khususnya sepanjang Pegunungan Bukit Barisan dari Aceh hingga Lampung, menjadi habitat terbesar dan terpenting bagi keberadaan bunga langka tersebut,” katanya.

Habitat dan Karekter Rafflesia di Bengkulu
Agus mengatakan Rafflesia dapat mekar sepanjang musim, tidak hanya musim hujan namun akan lebih cepat mekar ketika musim hujan. Sebagai parasit sempurna, Rafflesia tidak memiliki daun, batang, maupun akar.
Rafflesia memiliki haustorium yang fungsinya mirip akar untuk menghisap sari makanan dari inangnya, Tetrastigma. Setiap spesies Rafflesia memiliki inang Tetrastigma yang berbeda-beda. Hanya Tetrastigma spesies tuberculatum yang bisa menjadi tempat menempel beberapa spesies Rafflesia.
Setiap bunga Rafflesia memiliki ciri yang berbeda-beda, mulai dari diameter hingga warna. Agus Susatya dalam "Rafflesia: Pesona Bunga Terbesar di Dunia" (2011) mengatakan Rafflesia arnoldii memiliki siklus hidup yang panjang, sekitar 4–5 tahun mulai dari infeksi hingga mekar.
Rafflesia arnoldii dikenal sebagai bunga tunggal terbesar di dunia dengan diameter mencapai 70–110 sentimeter. Mahkota bunganya terdiri dari lima perigon berwarna merah-oranye dengan bercak putih hingga merah muda berukuran besar.
Pada bagian jendela (windows), terlihat 4–5 lingkaran bercak putih, sementara struktur ramenta berbentuk filiform dengan panjang lebih dari 5 mm. Spesies ini memiliki dua annulus serta kolum tengah berwarna oranye kekuningan dengan prosesi berbentuk kerucut dan benang sari berwarna kuning.
“Habitat alaminya berada di hutan tropis lembap, tumbuh sebagai parasit pada Tetrastigma, dan ditemukan di Sumatra, Jawa, serta Kalimantan,” kata Agus dalam buku tersebut.
Lain lagi dengan Rafflesia bengkuluensis, jenis bunga parasit langka yang merupakan spesies endemik Bengkulu. Agus Susatya bersama dua peneliti lainnya, Arianto dan Mat Saleh, keduanya dari Universitas Kebangsaan Malaysia menemukan jenis ini pertama kali di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, pada tahun 2005.
Spesies ini memiliki ciri khas ramenta berupa tuberkel yang berada di tengah tabung dan di bawah diaphragma, dengan prosesi yang dapat berbentuk kerucut, bercabang, atau berduri. Struktur annulus-nya ganda. R. bengkuluensis tumbuh sebagai parasit pada tetrastigma dan sering ditemukan di kawasan perkebunan, termasuk Talang Tais, Bengkulu.
Salah satu jenis Rafflesia yang cukup viral dalam beberapa hari ini, Rafflesia hasseltii. Agus mengatakan spesies ini memiliki diameter 38–50 sentimeter dengan ramenta besar (9–15 cm) berbentuk crateriform atau fascicle yang berada di bagian bawah dan tengah tabung.
Di bagian atas, ramenta berbentuk jamur. Perigonnya berwarna merah maroon dengan 4–5 bercak putih hingga merah muda. Diaphragma tampak putih dengan bercak maroon tersusun 2–3 lingkaran.
“Menariknya, bunga ini biasanya mekar pada ketinggian lebih dari dua meter dari permukaan tanah. Habitatnya berada di hutan pegunungan di Semenanjung Malaysia dan Indonesia, termasuk Bengkulu,” kata Agus.
Rafflesia gadutensis diketahui mekar di kawasan Tahura Mohammad Hatta, Sumatra Barat. Ciri utamanya adalah ramenta berbentuk jamur yang terletak pada diaphragma, perigon berwarna merah bata dengan 10–12 bercak bulat, serta diaphragma dengan 3–4 lingkaran bercak maroon.
“Jenis ini sebelumnya sering disalahartikan sebagai R. arnoldii karena kemiripan warna, namun detail ramenta dan pola bercaknya menjadi pembeda penting. Secara morfologi, spesies ini dianggap sebagai “jembatan” antara kompleks arnoldii dan hasseltii,” papar Agus.
Berdasarkan publikasi ilmiah di jurnal Phytotaxa (2017) oleh Siti Nur Hidayati dan Agus Susetya, Rafflesia kemumu merupakan spesies endemik Bengkulu yang hanya ditemukan di Hutan Lindung Boven Lais dan Hutan Talang Rais, Bengkulu Utara.
Jenis ini memiliki karakteristik utama yakni diameter bunga 12–15 cm, ini menjadikannya salah satu Rafflesia terkecil di dunia. Perigon berwarna oranye terang, berbeda dari jenis lain yang cenderung merah bata atau maroon. Bercak putih atau oranye muda berukuran sangat kecil dan rapat menutupi hampir seluruh permukaan perigon.
“Aroma khasnya juga tidak sekuat R. arnoldii. Biasanya mekar rendah di permukaan tanah, kurang dari satu meter, karena inangnya adalah Tetrastigma yang tumbuh merambat rendah,” kata Agus.
“R. kemumu tampak paling mirip dengan R. bengkuluensis, namun dapat dibedakan melalui warna yang lebih oranye, bercak lebih rapat dan kecil, serta ukuran bunga lebih mungil. Karena warnanya menyerupai jamur oranye, spesies ini sering luput dari perhatian di hutan,” lanjutnya.
KPPL Dokumentasikan 3 Jenis Rhizanthes
Kerabat Rafflesiaceae yang juga ditemukan di Bengkulu yakni Rhizanthes. Dari empat spesies Rhizanthes yang telah teridentifikasi di dunia, Bengkulu kini menjadi rumah bagi tiga jenis, yakni Rhizanthes deceptor, Rhizanthes lowii, dan temuan terbaru Rhizanthes infanticida. Berbeda dengan Rafflesia yang berukuran sangat besar, Rhizanthes memiliki ukuran bunga relatif kecil, yakni sekitar 15–20 cm.
Sofian mengatakan seluruhnya merupakan flora langka yang dilindungi berdasarkan Keppres No. 4/1993 (Rafflesia arnoldii sebagai Puspa Langka Nasional), PP No. 7/1999 (Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa), Permen LHK No. P.106/2018 (Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi) dan UU No. 5/1990 (Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya).
Untuk pertama kalinya, spesies Rhizanthes infanticida ditemukan di Provinsi Bengkulu pada pertengahan September lalu dan didokumentasikan langsung oleh Zul Almahera, anggota Pemuda Peduli Wisata Muara Sahung, di hutan Desa Ulak Bandung, Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur.
Sama seperti Rafflesia dan Sapria, Rhizanthes termasuk holoparasit, yakni tumbuhan parasit sempurna yang hanya dapat hidup dengan menumpang pada inang berupa liana Tetrastigma (anggur hutan dari famili Vitaceae). Tanpa inang ini, Rhizanthes tidak dapat tumbuh maupun bereproduksi.
“Nama Rhizanthes infanticida terbilang unik dan terdengar menyeramkan. Istilah “infanticida” berarti “pembunuh bayi”, merujuk pada mekanisme biologis bunga ini. Lalat yang tertarik kemudian hinggap dan meletakkan telur pada bunga. Namun, setelah menetas, larva lalat tersebut mati karena tidak memperoleh sumber makanan yang cukup, sehingga memberi kesan seolah bunga ini “membunuh” larva tersebut,” papar akademisi Kehutanan Unib, Yansen di laman instagramnya.

Sementara itu, lanjut Yansen, Rhizanthes deceptor memiliki kisah penamaannya sendiri. “Disebut “deceptor” atau “si penipu” karena kemunculannya yang sering menyerupai jamur dan mengeluarkan bau sedikit menyengat seperti organisme yang membusuk, sehingga mudah mengecoh pengamat maupun satwa,” pungkasnya.