Oleh Faris Fadhillah
INDEPENDEN---WAKIL Ketua DPRD Bogor Dadang Iskandar terenyuh. Megaproyek double track kereta api Bogor-Sukabumi membuat warga kepayahan hidup. Keluhan warga baru didengarnya saat reses masa sidang kesatu tahun 2024.
"Uang ganti yang diterima warga ternyata tidak cukup untuk membeli atau membuat rumah layak pengganti," jelas Dadang Oktober lalu.
Megaproyek double track atau rel ganda ini digarap pemerintah mulai 2017 silam. Sejak tujuh tahun ke belakang, pemerintah bertekad meningkatkan akses warga ke Sukabumi, sekaligus untuk menekan angka kecelakaan kereta di jalur single track.
Menginjak November 2019, tak kurang dari 3.000 jiwa harus angkat kaki demi megaproyek senilai Rp2,4 triliun ini. Warga diberi waktu dua pekan untuk mengosongkan rumah dan membersihkan lahan.
Masih di bulan yang sama, pemerintah memberi uang kerohiman. Ini bukan duit ganti rugi. Melainkan hanya santunan. Meski diwarisi secara turun temurun, tapi lahan yang didiami warga milik PT KAI.
Menurut Hidayatullah, salah satu warga yang ditemui Independen.id, warga mendapat uang kerohiman paling sedikit Rp7 juta. Uang santunan ini mengacu ke luas bangunan warga. Sebab, lahan milik PT KAI, meskipun warga mengaku selalu taat membayar pajak lahannya.
Sebenarnya, santunan bisa saja bertambah besar. Jika bangunan yang ditempati warga juga digunakan sebagai tempat usaha.
"Paling maksimal warga saya dapat uang ganti Rp35 juta," papar Hidayat.
Jangankan membangun kembali rumah dengan uang itu, membeli tanah saja masih kurang.
"Sebenarnya hak penggantian mereka ini sudah dibayar secara full," ujar Dadang lagi. "Tapi ya itu, nyatanya jauh dari cukup.”
Sebenarnya, kata Dadang, pemerintah bisa menolong mereka lewat bantuan stimulan perumahan swadaya (BSPS) atau program rumah tak layak huni (RTLH). Apalagi masih ada rumah tak layak di sana.
Setelah uang kerohiman diberikan, pembongkaran pun tak terelakkan. Sebanyak 38 rumah di RT 3, 26 rumah RT 2, dan 40 rumah di RT 1 diratakan dengan tanah dengan buldozer.
Warga lalu berbondong-bondong pindah. Mereka membeli tanah sesuai dengan kemampuan yang juga minim. Lokasinya, tak jauh dari rel kereta titik awal mereka tinggal, sedangkan sebagian kecil memilih menumpang keluarga.
Setelah masalah lahan dinyatakan beres, pemerintah mulai melakukan pembangunan fisik rel ganda pada 2020.
Namun Maret 2020, wabah virus Covid-19 merambah Indonesia.
Bagi warga, pandemi jelas menjadi masalah baru. Uang yang tadinya untuk membuat rumah akhirnya digunakan menutupi keperluan sehari-hari. Praktis, sebagian besar hanya bisa mengontrak tempat tinggal karena kehabisan modal.
Tinggal bersempitan
Mayoritas warga terdampak double track sedianya tersebar di lima kelurahan di Bogor Selatan. Meliputi Kelurahan Genteng, Batutulis, Cipaku, Empang, dan Gudang.
Berbekal informasi Dadang, Independen.id menelusuri langsung beberapa kawasan tersebut. Kunjungan berawal di RT 3 Cipaku. Ketua RT Hidayatullah lalu mengajak berjalan-jalan mengitari kampung.
Di tempat ini tinggal sebanyak 90 warga tergusur double track. Lahan seluas empat ribu meter persegi ini dulunya kebun.
Hanya ini pilihan warga. Mereka menolak pindah jauh setelah tergusur. Selain harga tanah yang jauh lebih mahal, mata pencaharian mereka sudah di sini.
Mayoritas warga bekerja sebagai buruh harian di perkuburan Tiongkok, yang lokasinya hanya selemparan batu dari rel kereta.
"Selain itu orang-orang tua kami sudah turun-temurun tinggal di sini," kata Dayat, sapa Pak RT Hidayatullah.
Tempat tinggal baru warga ini diapit Sungai Cisadane di sebelah timur, dan rel ganda sebelah barat. Tak ada lagi lahan yang bisa dikembangkan.
Rumah yang berdempetan milik korban penggusuran proyek double track Bogor- Sukabumi (Foto Fariz Fadhillah)
Yang tergusur di Legok Muncang
Ada 100 rumah berdiri dengan cukup rapat, padat dan membentuk gang sempit. Kian hari jurang pembatas sungai semakin mendekati rumah warga.
Dayat lalu menunjukkan rumah-rumah warga yang berdiri rapat dan membentuk gang sempit. Dinding-dinding rumah itu sebagian masih berbahan triplek. Satu rumah luasnya kurang lebih 50 meter.
Tanpa pekarangan. Bisa dihuni sampai 3-4 jiwa. Banyak rumah tak layak huni di sini.
Rumah milik Atmaja misalnya. Dinding rumah seluas 2X3 meter ini masih berbahan triplek. Lantainya berupa tanah. Tiap kali hujan, bersama enam anggota keluarganya Atmaja harus mengungsi ke rumah lain.
Awal 2020 silam, sempat terjadi longsor di tebingan belakang rumah warga. Beruntung pemiliknya berhasil menyelamatkan diri.
"Setiap hujan kami selalu was-was," jelas Dayat.
Kini, jurang itu tinggal berjarak beberapa meter saja dari satu-satunya jalan penghubung warga.
Dalam amatan Independen.id sejumlah warga terlihat bergotong royong membangun turap atau dinding penahan tanah. Setidaknya, kata Dayat, masih sepanjang 250 meter bibir jalan yang perlu diturap. Turap itu diharap bisa menahan longsor.
"Sudah lima kali kejadian longsor," kata Dayat.
Tak cuma lahan rentan longsor dan rumah tak layak, masalah air bersih juga menjadi momok warga.
Tak lama direlokasi, musim kering juga melanda. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan, mereka harus membeli air galon untuk kebutuhan hidup.
"Biasanya sumber air bersih dari sumur bor," sambung Dayat.
Sumur-sumur warga mengering. Puluhan keluarga mandi harus bergantian di sebuah MCK yang dibangun swadaya dengan memanfaatkan sumber air Cisadane.
"Sekali dua kali aman. Tapi lama-lama gatel-gatel," sambung Dayat.
Musim kering bisa bertahan sampai empat bulan. Dengan ekonomi yang serba pas-pasan, puluhan warga harus membeli air galon dan bergantian MCK.
"Sehari satu warga bisa habis dua galon," jelas Dayat.
Setelah bertahun-tahun, perhatian akhirnya muncul dari pemerintah. Tepatnya ketika sebuah media massa mereportasekan peristiwa kekeringan ini. Setelah viral, baru muncul sumbangan sumur bor dari PDAM.
"Dalamnya sumur kita cuma delapan meter, kalau musim kering ramai-ramai kami krisis air," jelas Dayat.
Kampung yang dihuni Dayat bersama 44 keluarga tergusur megaproyek doubletrack ini bernama Legok Muncang. Cerita orang tua dulu, ada sebuah pohon kemiri besar (muncang) di kawasan ini.
Terhimpit sungai dan rel kereta ganda yang hanya berjarak 100 meter, kini tak ada lagi lahan yang bisa dikembangkan warga. Fasilitas yang ada pun seadanya. Hanya ada sebuah jalan. Tanpa turap atau pengaman sungai.
"Seharusnya kalau hidup ya tidak sekadar hidup kaya gini," kata Dayat.
Hidup Serba Pas-Pasan
Ketua RW 15 Cipaku, Rudy berkata banyak warga yang kaget setelah digusur.
"Banyak warga yang down memikirkan kondisi sekarang," jelas Rudy yang ditemui secara terpisah. Maklum, dulu meskipun tinggal di pinggir rel, rumahnya sebagian megah-megah. Tidak seperti sekarang.
Menginjak tahun ketiga relokasi, Rudy kemudian mengusulkan ratusan rumah mendapat bantuan program rumah layak huni atau RTLH. Sayangnya hanya 11 kepala keluarga yang beruntung.
Rudy mengakui kondisi rumah tak layak tak lepas dari masalah ekonomi warga yang sangat prihatin. Ketika relokasi, mereka mengais sisa material bongkaran untuk membangun rumah.
"Kontrak rumah duit gak cukup, bikin rumah apalagi. Makanya banyak rumah yang dibangun seadanya," jelas Rudy.
Selama bertahun-tahun, Rudy yakin pemerintah harusnya tahu kondisi masyarakat.
“Kampung kami ini ada di Google Map," sambung Rudy.
Rudy mengenang, saat pembongkaran sempat tersendat. Mereka hanya diberi waktu pembongkaran tiga bulan. Warga sempat bersikukuh karena hendak memilah-milih material sisa yang dapat dimanfaatkan kembali.
Tenggat waktu habis. Dua alat berat tiba-tiba nyelonong masuk. Warga sempat menutup akses jalan pekerja. Mereka tak terima jalan swadaya yang dibangun dilewati begitu saja tanpa permisi.
"Para pekerja ini tidak sopan, kami malah sempat dicap sebagai preman kampung," cerita Rudy.
Masalah belum selesai. Para pekerja double track rupanya banyak yang didatangkan dari luar. Sekalipun hanya untuk kualifikasi pekerja kasar. Warga cuma bisa gigit jari dan kemudian melakukan protes
"Setelah berembuk. Baru sebagian direkrut dalam megaproyek ini. Walau hanya untuk sekadar buat gorong-gorong," jelas Rudy.
Kendati begitu, kini warga sudah ikhlas.
"Kami ikhlas, semuanya demi proyek nasional dan kepentingan orang banyak," ungkapnya.
Rudy hanya berharap pemerintah dapat meninjau kembali kondisi warganya. Jangan hanya datang ketika Pilkada saja.
"Kondisi kita jauh tidak lebih baik setelah megaproyek double track," ujar Rudy.
Proyek rel kereta double track yang masih belum mencapai Sukabumi (Foto Faris Fadhillah )
Yang Tergusur ke Kampung Genteng
Lain di Legok Muncang, lain pula di Kampung Genteng. Lokasinya hanya selemparan batu dari Cipaku, dimana menjadi lokasi 26 keluarga yang digusur proyek rel kereta api double track.
Hanya enam orang yang memilih meninggalkan kampung di lereng bukit itu. Mereka terlanjur betah di Genteng.
"Mayoritas memilih bertahan di sini karena sudah turun temurun," kata Ketua RT 2 Genteng, Jaber ditemui media ini di lokasi terpisah, baru-baru ini.
Besaran uang kerohiman untuk warga juga relatif. Dari Rp15 juta sampai Rp40 juta, "Kalau rumahnya bagus ya dapat uangnya gede," jelas Jaber.
Bermodal duit santunan, puluhan warga ini kemudian membeli tanah. Harga per-meternya di sini Rp300 ribu.
"Ya harganya bisa segitu karena lahan milik saudara," jelas Jaber.
Warga tak pindah jauh. Hanya 250 meter dari tempat tinggal sebelumnya yang berdekatan dengan rel kereta.
Di atas lahan seluas 3.000 meter inilah, ratusan warga terdampak double track di Genteng tinggal.
Walau ala kadarnya, warga bersyukur. Dari dulunya hanya mendiami lahan pemerintah, kini mereka bisa membeli tanah.
"Kami memanfaatkan sisa bongkaran, genteng sampai kusen untuk membangun rumah," kata Jaber.
Tantangannya, di Genteng, warga masih kekurangan fasilitas listrik dan air bersih.
Saban hari, risiko korsleting mengintai. Sebab, hanya ada satu tiang listrik di kampung yang dihuni ratusan warga itu.
Sejatinya dulu ada puluhan tiang di sini. Namun setelah penggusuran, entah raib ke mana.
"Bayangkan, satu tiang di sini bisa sampai 30 sambungan ke rumah warga," jelasnya.
Warga di Genteng juga mengalami krisis air bersih, terutama saat proyek selesai. Masalahnya Corrugated concrete sheet pile atau dinding penahanan areal rel menutup sumber air warga. Sumur-sumur juga mengering.
"Sebelum proyek itu selesai, air kami melimpah," jelas Jaber.
Warga memang masih bisa memakai air PAM. Namun harus menyambung pipa sepanjang 200 meter. Ada juga yang terpaksa menggunakan air Sungai Cisadane yang membuat warga di Legok Muncang gatal-gatal.
Kondisi ini bertahan hingga enam bulan lamanya. Sampai akhirnya anggota DPRD Bogor Dadang Iskandar menggelar reses. Warga yang berkumpul di saung ramai-ramai mengeluh ke Dadang.
Tak butuh lama, esok harinya jajaran PDAM bahkan termasuk direktur dan jajaran kelurahan datang. Turun dari mobil, Jaber langsung ditunjuk-tunjuk oleh direktur PDAM itu.
"Saya dikira yang mengadu," jelas Jaber.
Tak sampai tiga hari kemudian, PDAM kemudian memasang instalasi. Air bersih kembali mengairi Genteng. Kepada Jaber, orang PDAM bilang biasanya butuh waktu sampai dua tahun.
"Tapi karena direkturnya langsung turun makanya hari itu juga langsung dipasang," pungkas Jaber.
Harusnya Pemda bertanggung jawab
Pengamat transportasi nasional, Djoko Setijowarno menilai pemerintah daerah harusnya lebih berinisiatif.
"Karena biarpun ini proyek nasional, tanggung jawab terhadap warga setempat ya pemerintah daerah," jelasnya.
Djoko mengatakan banyak hal yang bisa dilakukan pemda, misalnya rumah susun sehingga bisa memberikan masukan pada pemerintah pusat.
Djoko juga mengkritik bahwa dana kerohiman itu saja tak cukup dan sudah menjadi masalah klasik di negeri ini.
"Pemerintah daerah harusnya lebih berbuat. Harus proaktif. Jangan operator [PT KAI] disuruh mikir," ujar Djoko.
Tak sampai Sukabumi
Meski triliunan rupiah dikucurkan, megaproyek double track ini nyatanya belum sampai Sukabumi.
Digarap pemerintah sejak 2017 silam, sebenarnya Presiden Joko Widodo berharap double track rampung pada 2019.
Namun lantaran waktu yang mepet, Jokowi kemudian memberikan kelonggaran hingga 2022.
"Tidak apa-apa asal selesai bener, bisa digunakan," jelas Jokowi kepada sejumlah wartawan kala itu, Jumat 12 Desember 2017.
Nyatanya megaproyek rampung namun tidak sesuai dengan target Jokowi.
Pembangunan jalur ganda rel kereta senilai Rp2,45 triliun ini hanya sampai Cicurug perbatasan Bogor saja. Tidak menyentuh sampai Kota Sukabumi.
Anggaran yang tersedot pun sudah mencapai Rp2,2 triliun.
Kenapa tidak sampai Sukabumi?
Direktur Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan, Risal Wasal punya penjelasan.
"Pembangunan jalur ganda Bogor-Sukabumi dibagi menjadi dua pekerjaan," jelas Risal kepada Independen.id.
Segmen pertama meliputi Bogor-Cicurug dan segmen kedua Cicurug-Sukabumi. Ada pun pembangunan segmen kedua sepanjang 31 kilometer memang belum dimulai.
Namun begitu pihaknya telah mengusulkan ke dalam rencana strategis perkeretaapian tahun 2025-2029.
"Untuk segmen Paledang-Cicurug sepanjang 26 kilometer telah kami selesaikan," jelas Rizal.
Terkait warga yang terdampak double track, Risal memastikan Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Bandung telah memenuhi kewajiban.
Kewajiban dimaksud sebagaimana tertuang dalam Perpres 78 tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional.
Rizal juga mengatakan bahwa santunan atau kerohiman yang telah dilakukan penilaian secara independen oleh appraisal dengan mengikuti. Dana tersebut meliputi : biaya pembersihan, mobilisasi, sewa rumah 12 bulan dan terakhir tunjangan kehilangan pendapatan.
Pemberian dana santunan juga sesuai surat keputusan gubernur Jawa Barat tertanggal 5 Juli 2019.
Namun Ketua RW 15 Cipaku Rudy memastikan bahwa warganya hanya mendapatkan dana kerohiman saja.
"Sementara tiga hal lainnya saya pastikan warga tidak dapat," katanya.
Rudy juga mempertanyakan data Kemenhub yang hanya mencantumkan 21 warganya sebagai terdampak double track. "Jumlah warga kami jauh lebih besar dari 21 jiwa," ujarnya.
Komisioner Komnas HAM periode 2017-2022, Hairansyah berkata pembangunan infrastruktur juga termasuk hak asasi manusia.
Ia mengakui pembangunan infrastruktur membuat kemajuan yang signifikan. Namun pada sisi lain ada hak masyarakat direnggut.
"Negara dalam hal ini pemerintah punya kewajiban selain pemenuhan HAM juga perlindungan dan penghormatan terhadap HAM," jelas Ancah, sapaan karibnya.
Oleh karenanya, dalam melakukan pembangunan infrastruktur kelompok rentan yang akan terdampak harus menjadi perhatian utama.Sehingga dalam menjalankan fungsinya melakukan pembangunan, pemerintah harus memenuhi dan menghormati serta melindungi hak setiap warga yang akan terdampak dalam proses tersebut.
Dia menambahkan negara tidak boleh melakukan penggusuran paksa, yaitu pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki. Baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Pasal 11 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sudah mengamanatkan itu.
Bahwa negara harus mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya. Termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 sudah menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
"Apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut hemat kami, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM," jelas Ancah.
Catatan Ancah, memang banyak proyek infrastruktur yang menyebabkan kelompok masyarakat terabaikan.
Ia pun mendorong pemerintah kembali membuka mata terhadap nasib warga terdampak double track setelah relokasi dan ganti rugi.
"Apakah semua yang telah diberikan memungkinan untuk warga terdampak dapat melanjutkan kehidupan secara adil dan layak. Dalam konteks HAM tidak boleh ada penurunan standar hidup akibat pembangunan infrastruktur," jelas Ancah. **
==
Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.