Oleh: Rifki Al Wafi
INDEPENDEN- Endang (40) berusaha mengingat berbagai kemudahan yang diperoleh ketika masih tinggal di kampung halamannya dahulu. Secara teknis, kampungnya itu, kini telah tenggelam menjadi Bendungan Kuningan.
Pembangunan Bendungan sejak 2014 silam memaksa ia dan seluruh warga Desa Kawungsari Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan pelan-pelan merelakan kampung halamannya dan dipindah ke tempat yang baru. Tempat yang harus ditempuh sekitar 11 kilometer jika menggunakan jalan raya utama.
Melansir dari SDA PUPR, Bendungan Kuningan merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun sebagai salah satu infrastruktur yang bertujuan untuk mendukung ketahanan pangan, energi, dan air dalam skala nasional.
Saat diresmikan 2021 lalu, Bendungan Kuningan diklaim memiliki sejumlah manfaat, diantaranya akan mengairi Daerah Irigasi (D.I) seluas 3000 hektar yang terdiri dari D.I Cileuweung (Kabupaten Kuningan) 1000 hektar dan D.I Jengkelok (Kabupaten Brebes) seluas 2000 hektar.
Tidak hanya itu, bendungan ini juga bermanfaat sebagai pengendali banjir, penyedia air baku sebesar 200 liter per detik, dan pembangkit tenaga listrik sebesar 500 kW.
Meski lokasi desa saat ini berpindah cukup jauh, namun nama Kawungsari tetap tersemat dalam penamaan perumahan baru yang menjadi tempat relokasi warga terdampak Bendungan. Perumahan Desa Kawungsari, begitulah namanya kini.
Sempat dijuluki sebagai kampung miliarder pasca uang ganti untung diterima warga, tak menutupi nasib 362 kepala keluarga yang harus meninggalkan rumahnya masing-masing ke tempat relokasi yang telah disediakan pemerintah selama pembangunan Bendungan Kuningan berlangsung.
Tempat relokasi itu berada di Desa Sukarapih Kecamatan Cibeureum Kabupaten Kuningan. Di sini telah dibangun sekitar 444 rumah untuk dijadikan tempat relokasi warga yang terdampak pembangunan Bendungan Kuningan.
Sekilas kawasan perumahan ini tampak terpisah dari hiruk pikuk pedesaan. Penamaan perumahan seperti mengartikan bahwa hal itu kawasan eksklusif yang jarang disentuh banyak orang.
Hal itulah yang dirasakan Endang, semenjak tinggal di tempat baru, banyak hal yang jadi sukar diakses. Ia merasa jauh ke berbagai fasilitas umum, karena lokasi perumahan yang menurutnya kurang strategis.
Belum lagi masalah baru yang kini muncul dan terus dirasakan warga. Kurangnya ketersediaan air bersih. Padahal, jika melihat kondisi Desa Kawungsari dahulu, mereka hampir tidak mengeluhkan soal tersebut.
Dalam beberapa kondisi darurat, pemerintah kabupaten bahkan sempat mengirim pasukan bantuan air bersih melalui BPBD yang disambut riak bahagia warga mengantre dengan wadah atau jerigen masing-masing.
“Beberapa waktu lalu ada bantuan dari BPBD untuk air, tapi itu juga nggak mencukupi,” katanya.
Untuk menutupi kebutuhan ekonominya, kini ia membuka sebuah warung dengan modal pinjaman bank. Hal itu tak dilakukan Endang seorang. Beberapa warga lain pun turut melakukan hal serupa. Jika ditelusuri, hampir di tiap gang, terdapat warung-warung kecil yang menyatu dengan rumah warga. Usaha kecil yang menggusur mereka dari kampung halaman yang besar.
“Di sini buka usaha kecil-kecilan warung biasa, sama seperti beberapa warga lain juga sama,” tambahnya.
Senada dengan Endang, Saryono (45) mengungkapkan kesulitan air bersih merupakan hal kolektif yang kini tengah dirasakan warga. Sumur yang dimiliki warga pun tidak selalu dapat diandalkan.
Bahkan sumur yang berada di sekitar Balai Desa, belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih kendati di awal kepindahan warga menjadi tumpuan utama memasok keperluan air. “Air yang paling utama, susah. Di sini ada sumur gali, tapi airnya kadang bagus bersih, kadang kotor bau,” ungkapnya.
Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi kebutuhan air bersih, salah satunya lewat pemasangan pipa yang tersambung langsung ke mata air. Sayangnya hal ini pun masih belum optimal, mengingat jalur air harus melewati desa lain terlebih dahulu.
Imbasnya, pasokan air jadi terbatas karena adanya pembagian air ke wilayah lain terlebih dahulu sebelum sampai ke warga di Desa Kawungsari. “Dipasang pun baru-baru ini pipa dari mata air. Pembagian air pun kadang-kadang tersendat, dan kalau kemarau airnya kecil,” tuturnya.
Di sisi lain, pekerjaan asli warga yang sebagian besar petani, kini kian berkurang imbas lahan sawah yang terbatas. Usai pemberian uang ganti untung, tidak semua petani khususnya, kembali membeli lahan untuk digarap. Bahkan, beberapa warga justru impulsif menjadi konsumtif.
Perlahan, hal itu membuat kondisi ekonomi warga tidak stabil. Hanya sekitar 15 persen warga Desa Kawungsari yang masih memiliki sawah. Sisanya, pergi merantau dan masih menganggur.
“Kalau sekarang, sih, paling berapa persen yang punya lahan. Ada penurunan ekonominya. Ga ada kerjaan, paling juga mancing, sambilan aja di kali. Dulu juga, kalau yang ga punya sawah bisa nyangkul di sawah orang, kalau sekarang sama sekali,” ujarnya.
Saryono pun hanya pasrah dengan tempat tinggalnya saat ini, baginya perumahan Desa Kawungsari adalah kampung halamannya yang terakhir. Walau serba kekurangan, ia sudah bisa menerima.
“Nyaman gak nyaman, mau ke mana lagi. Kan, ini kampung terakhir buat kita walau serba kekurangan tetap dinikmati saja,” katanya.
Dihantui Rasa Takut
Siang menjelang sore, Rasim (65) warga RT 3 RW 3 Dusun Wanaasih Desa Randusari Kecamatan Cibeureum Kuningan sedang bersantai di teras rumah, lengkap dengan sepiring buah nangka dan teh hangat racikan istrinya.
Tak jauh dari rumahnya yang hanya berjarak 30 meter, gemuruh air masih terdengar sejak pagi hari dari arah pintu Bendungan Kuningan. Salah satu proyek strategis nasional yang menenggelamkan Desa Kawungsari dan sebagian desa lain seperti Randusari.
Sejak beroperasi, ada kekhawatiran besar yang selalu mengintainya. Apalagi, pada musim-musim tertentu tiba, seperti musim hujan. Air meluber hingga bayangan dinding bendungan yang amblas kerap hinggap di kepalanya.
Apalagi jika melihat secara teknis, bendungan kuningan merupakan tipe urugan zona inti tegak yang memiliki volume total 25.955 juta meter kubik dengan luas genangan 221,59 hektar, dan tinggi bendungan yaitu 43 meter, dengan panjang 229 meter, dan lebar 10 meter.
“Sora cai téh ngaguruh, teu resep waé ari wengi kapireng. Komo pang caketna, ngeri abdi mah (sering terdengar suara bergemuruh, tidak suka aja malam juga terdengar. Apalagi paling dekat, ngeri saya sih),” ujarnya.
Keseharian Rasim sebagai penggembala sempat mengalami musibah yang tidak terduga menimpa ternaknya. Kala itu, ia sedang mencari rumput untuk pakan ternaknya di pagi hari. Kebetulan hari itu merupakan hari pembukaan pintu air Bendungan.
Nahas, rumah Rasim yang persis di seberang pintu air bendungan adalah yang pertama merasakan bau menyengat yang disertai sensasi perih ke mata. Tak hanya manusia, hal itu pun dirasakan ternaknya. Bahkan, saking perihnya membuat hewan ternak Rasim tidak dapat membuka mata secara normal.
“Sehari-hari ngarit. Pas awal mah sampé garering, teu bisa beunta, ka jalmi na gé nyeri panon (Sehari-hari merumput. Pada awal sampai jatuh sakit, sulit membuka mata, ke manusia juga matanya sakit),” ujarnya.
Begitu pula yang dirasakan Ato kala menunjukkan air bak di kamar mandinya yang berwarna gelap kehitaman, imbas tercampurnya sumur gali yang ia miliki dengan aliran air bendungan.
Perubahan air di kamar mandinya tak lepas dari pembukaan pintu bendungan yang membuat sumur gali yang dimilikinya tercampur aliran air dari bendungan. Meskipun sudah berusaha ditutup dengan beton, namun aliran air bendungan tetap masuk ke dalam sumur hingga berakhir di bak kamar mandi Ato dalam kondisi tidak layak konsumsi.
“Kita sebagai warga yang paling dekat bendungan, dengan adanya pembukaan pintu air, istilahnya ke kita, mah, kenyamanan merasa terganggu,” katanya.
Semenjak Bendungan Kuningan beroperasi, Ato (45) sering diliputi rasa was-was ketika meninggalkan keluarganya di rumah. Apalagi ketika ia harus melakukan pekerjaan kuli proyek yang menuntutnya pergi ke luar kota.
Baginya, tinggal di tempat yang berbatasan langsung dengan pintu air bendungan memiliki berbagai resiko. Mulai dari efek bau menyengat, suara yang bergemuruh, hingga potensi banjir.
“Kita sebagai warga paling dekat dengan bendungan, efeknya bau sangat menyengat. Kenyamanan merasa terganggu, terus suara juga mengganggu. Terus, kemana-mana merasa was-was apalagi kalau hujan,” tuturnya.
Masalah Kebutuhan Air
Imbas beroperasinya bendungan, turut mempengaruhi sumber air yang Ato gunakan sehari-hari. Sumur yang ia miliki pun kini tertutup aliran air bendungan dan berakibat pada kualitas air yang berubah bahkan tak layak konsumsi.
Beruntung, masih ada mata air Cipasek sebagai alternatif untuk dikonsumsi seperti minum atau memasak. Sedangkan sumur yang Ato miliki, hanya dapat digunakan sebagai kebutuhan mandi dan mencuci semata, tak lebih.
“Meski sumur terendam tetap dipakai, hanya untuk mandi nyuci. Malah, awalnya menguning apalagi ke baju berwarna putih,” tuturnya.
Bahkan di dusun yang hanya dihuni sekitar 120 rumah ini, masuk dalam zona merah yang seharusnya segera diangkat lokasinya. Wacana relokasi pun tak pelak pernah diterima warga.
“Kalau bagi warga, mah asal jangan dirugikan, karena kalau pun pindah, pindah ke mana. Siap-siap saja warga, mah,” ujarnya pasrah.
Meski begitu, ia juga tak menyangkal dengan adanya Bendungan Kuningan menjadi salah satu pemicu adanya potensi destinasi wisata baru di Desa Randusari.
Ato merasa sebagai warga kecil tak ada pilihan lain selain mendukung proyek strategis nasional pemerintah. Posisinya tak bisa menolak maupun memilih, ia hanya bisa bersuara kepada kepala desa.
“Kalau ngeluh gini-gini, nanti disangka tak mendukung proyek nasional. Kami cuma warga kecil, cuma menyampaikan ke kuwu mentok,” ungkapnya.
Kepala Desa Randusari Tata Kasta (59) tak menyangkal keluhan yang dirasakan warganya di Dusun Wanaasih. Ia pun telah menyampaikan hal itu ke pemerintah daerah namun belum mendapat respons lanjutan.
Bukan hanya bau menyengat, suara bising, atau air sumur tercemar, kondisi alam lain pun kemungkinan bisa saja terjadi. Sejak 29 Agustus 2024 pihak Pemdes telah mengupayakan warga memperoleh izin relokasi dengan mekanisme yang telah disetujui oleh masyarakat.
Tata juga menyayangkan potensi pengairan irigasi dari Bendungan Kuningan justru belum dirasakan warga sekitar khususnya di Randusari. Padahal, secara geografis wilayah Randusari-lah yang beririsan langsung dengan Bendungan Kuningan.
Dari pengamatannya, saluran irigasi untuk wilayah Kuningan Timur meliputi Cibeureum dan Cibingbin belum dibuat secara menyeluruh. Sehingga potensi pengairan dari bendungan masih belum dapat dilakukan.
Alhasil, petani di desa Randusari masih memanfaatkan potensi hujan yang menjadi sumber utama pengairan sawah. Sekali pun yang berdekatan dengan pinggiran sungai Cikaro, petani harus mengeluarkan biaya ekstra dengan menggunakan diesel agar air dapat mengalir ke sawahnya.
Pemanfaatan air menggunakan diesel pun terbatas untuk warga yang sawahnya berada di pinggiran sungai. Selebihnya, menjadi sawah tadah hujan.
“Justru yang sudah merasakan langsung yaitu Jawa Tengah bagian Barat, Brebes Barat, Banjarharjo, Cibendung, Cikaka, Randegan, Negla, apalagi memang irigasinya sudah rapi,” tutur Tata.
“Saat ini, semua pihak harus sama-sama mendorong pemda maupun pusat untuk mendengar aspirasi masyarakat di wilayah terdampak Bendungan Kuningan,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat Wahyudin menerangkan dalam Permen PUPR Nomor 27/2023 tentang Bendungan, hanya mengatur tentang batas patok dari sempadan atau bendungan sejauh 50 meter, dan tidak mengatur secara spesifik batas antara bendungan dengan pemukiman warga.
Artinya, kebijakan tentang bendungan tidak mengatur tentang hak rakyat atas ruang serta kenyamanan maupun keamanan warga di sekitar proyek bendungan.
Menurut Wahyudin, jarak ideal antara pemukiman dengan bendungan atau rencana proyek apapun yaitu 200 meter. Karena hal itu semestinya mempertimbangkan hak rakyat meliputi hidup tenang dalam menjalani aktivitas dan mendapatkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
Ia juga juga menyayangkan atas dampak yang dirasakan warga atas pembukaan pintu bendungan yang menimbulkan bau menyengat. Pasalnya, hal itu dapat mengindikasikan tidak dijalankannya AMDAL sebagai panduan utama dalam menjalankan pembangunan.
Wahyudin juga mengimbau kepada warga dapat segera melapor kepada Gakkum DLH Provinsi dan mencantumkan tembusan ke Gakum DLH Kabupaten terkait temuan bau serupa atau potensi ancaman lain.
“Setiap gangguan yang muncul, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melaporkan kondisi tersebut kepada pemangku kebijakan dan pemerintah wajib sifatnya merespons dari setiap pengaduan warga, sebagai amanat dari undang-undang 32 tahun 2009 tentang PPLH,” katanya.
Masih Wahyudin, imbas adanya bendungan Kuningan juga akan berpengaruh terhadap kenaikan suhu di sekitar lokasi. Sebab, kawasan tersebut berubah menjadi danau sehingga penguapan air juga akan mempengaruhi iklim sekitar. Perubahan iklim ini juga akan berdampak terhadap kualitas pertanian masyarakat sekitar, dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.
Ia juga menekankan, setiap kegiatan PSN sepatutnya dapat meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya yang membuat kesenjangan serta kemiskinan makin berkepanjangan.
“Patutnya setiap kegiatan proyek strategis nasional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan malah cenderung masyarakat semakin terampas haknya serta semakin menimbulkan kesenjangan hingga kemiskinan yang berkepanjangan,” tutur Wahyudin.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung Dwi Agus Kuncoro menerangkan, pembangunan Bendungan Kuningan telah berlangsung sejak 2012 dengan persiapan desain konstruksi bangunan. Lalu pada tahun 2014 mulai dibangun dan diresmikan langsung oleh presiden pada tahun 2021.
Menurut Kuncoro, Bendungan Kuningan memiliki sejumlah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat. Seperti pengairan irigasi, penyedia air baku, peredam banjir, hingga potensi wisata daerah di sekitar bendungan.
Meski sudah diresmikan sejak tahun 2021, bendungan baru dibuka per Desember 2023 lalu dengan pembukaan air yang dikeluarkan maksimal 2 meter kubik per detik selama delapan jam per hari dari pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore.
“Sejak diresmikan, sertifikasi operasi baru keluar di tahun 2024 setelah melewati beberapa tahapan peresmian, hingga pengisian air di waduknya,” kata Kuncoro saat ditemui di kantornya.
“Hal itu pula yang menyebabkan terjadinya bau menyengat yang dirasakan warga sekitar bendungan. Sebab, adanya pengendapan berupa pepohonan dan benda lain di dasar waduk yang mempengaruhi kualitas air di atasnya,” tambahnya.
Berkaitan dengan itu, ia juga menjelaskan bahwa sebelum adanya bendungan, pihaknya telah berkomunikasi dengan masyarakat perihal relokasi daerah tersebut. Akan tetapi, masyarakat menolak dipindah sehingga jarak antara pintu air bendungan dengan pemukiman warga hanya terpaut 30 hingga 50 meter.
Ia pun menjelaskan, saat ini kondisi tersebut perlahan berkurang karena kondisi air endapan sudah dikeluarkan dari waduk. Selebihnya, mengantisipasi terjadinya abrasi, dibangun bronjong sepanjang tepi pemukiman yang berbatasan langsung dengan pintu bendungan.
Di lain sisi, berkaitan dengan air sumur di sekitar Dusun Wanaasih Desa Randusari, Kuncoro menyebut bahwa kualitas air di sana termasuk kurang baik statusnya. Sehingga ketika bendungan mulai beroperasi, kualitas air sumur yang ada makin tidak layak konsumsi.
Mengatasi itu, BBWS mengklaim telah membangun tiga titik hidran jet di Dusun Wanaasih sebagai bak penampungan air baku yang dapat dikonsumsi warga. Nantinya air akan dialirkan melalui pipa transmisi yang disiapkan BBWS melalui Water Treatment Processes (WTP) atau Instalasi Pipa Air (IPA).
Secara keseluruhan, penyaluran air baku terbagi ke dua daerah. Pertama di Kabupaten Kuningan sebanyak 100 liter per detik, dan di Brebes Jawa Tengah sebanyak 200 liter per detik. Hanya saja, untuk wilayah Brebes instalasi pipa air belum selesai dibangun.
“Kami tugasnya hanya menyiapkan pipa transmisi ke WTP. Kalau WTP itu bagian dari Direktorat Cipta Karya Air Minum dengan PDAM setempat. Sekarang posisi sudah terbangun, juga sudah running test, berupa pengecekan kualitas air yang dialirkan ke hidran jet,” tutur Kuncoro.
“Sedangkan untuk permasalahan air di perumahan Kawungsari, memang kondisi cadangan air di sana tidak terlalu banyak. Kami juga berharap, Direktorat Jendral Cipta Karya bersama PDAM dapat segera membangun pipa instalasi ke Kawungsari,” tambahnya.
Sementara itu, menyikapi daerah irigasi yang belum dirasakan warga sekitar bendungan, Kuncoro mengakui bahwa untuk daerah irigasi Cileuweung di Kabupaten Kuningan belum dibangun saluran irigasi yang memadai. Sehingga, salah satu dampaknya yaitu belum dirasakannya manfaat irigasi bagi para petani di Randusari yang memiliki sawah.
Sedangkan untuk daerah irigasi Jangkelok Brebes, justru sudah teraliri maksimal karena saluran irigasi yang memadai untuk mengairi lahan seluas 2000 hektar bagi petani bawang.
“Saluran irigasi Jangkelok sudah ada, dulu tinggal rehabilitasi aja. Sedangkan di Cileuweung belum ada, tapi desain konstruksi sudah siap. Tinggal menunggu alokasi anggaran, paling cepat dibangun tahun 2026. Maka, posisi saat ini sawah di Randusari termasuk tadah hujan,” terangnya.
Kuncoro juga menjelaskan, dalam pembangunan saluran irigasi baru harus menggunakan mekanisme multi year contract. Artinya, kontrak untuk pembelian perlengkapan serta pekerjaan pembangunan irigasi dibebankan kepada APBN berjalan selama lebih dari satu tahun tapi tidak lebih dari lima tahun anggaran.
“Memang, sekilas di Randusari belum merasakan manfaat air irigasi, gak kayak Brebes. Kita membangun juga perlu dana, dan paling cepat 2026. Itu pun gak langsung jadi, tapi tiga tahun kemudian. Mungkin 2029 baru selesai,” tuturnya.
*) Tulisan ini merupakan republikasi berita yang naik di portal CirebonersID, pada 2 November 2024. Liputan ini merupakan bagian dari program Fellowship “Mengawasi Proyek Strategis Nasional” yang didukung Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.