Catatan Suram Kebebasan Pers 2024, Jurnalis Terjepit di Antara Ancaman dan Ketidakpastian

INDEPENDEN- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis catatan tahunan 2024 dengan tajuk "Keluar dari Mulut Harimau, Masuk ke Mulut Buaya”.  Laporan ini menyoroti kondisi kebebasan pers, kesejahteraan jurnalis, dan profesionalisme media di Indonesia, yang dinilai semakin terpuruk.

Ketua AJI Indonesia, Nani Afrida, dalam konferensi pers menegaskan bahwa tahun 2024 menjadi periode kelam bagi dunia pers. “Perubahan kepemimpinan nasional tidak membawa harapan bagi kebebasan pers. Justru, tekanan terhadap jurnalis semakin meningkat, sementara bisnis media menghadapi tantangan besar,” ujarnya.

Kekerasan terhadap Jurnalis Masih Tinggi

AJI mencatat sepanjang tahun 2024 terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, termasuk satu kasus pembunuhan. Rincian lain meliputi kekerasan fisik (19 kasus), teror dan intimidasi (17 kasus), serta serangan digital (10 kasus).

“Walaupun jumlah kasus kekerasan menurun dibandingkan tahun sebelumnya, kualitas serangannya semakin berat. Kita kehilangan satu jurnalis yang terbunuh. Ini membuktikan bahwa satu kasus pun tidak boleh dianggap remeh karena menyangkut demokrasi kita,” tambah Nani.

Dari segi pelaku kekerasan, aparat kepolisian menduduki peringkat tertinggi dengan 19 kasus, disusul oleh TNI (11 kasus) serta warga dan organisasi masyarakat (11 kasus).

“Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat negara adalah preseden buruk bagi kebebasan pers. Seharusnya, mereka menjadi pelindung, bukan ancaman,” tegas Nani.

Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya terjadi di daerah perkotaan, tetapi juga di wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh jaringan hukum dan advokasi yang kuat. Jurnalis yang meliput isu-isu sensitif seperti korupsi, lingkungan, dan hak asasi manusia menjadi target utama serangan ini. Menurut AJI, banyak jurnalis di daerah mengalami ancaman tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Ancaman Baru: Sensor dan Swasensor

Selain kekerasan fisik, AJI juga menyoroti meningkatnya kasus sensor dan swasensor di ruang redaksi. Modusnya beragam, mulai dari tekanan untuk menghapus berita, mengubah judul, hingga membatalkan liputan.

“Kita melihat bagaimana media dipaksa menghapus berita yang mengkritik kebijakan pemerintah, bahkan ada yang tiba-tiba berubah judul dengan nada lebih lunak. Ini berbahaya bagi independensi pers,” ujar Bayu Wardana, Sekjen AJI Indonesia.

Fenomena swasensor terjadi karena tekanan ekonomi dan politik. Banyak media merasa harus berhati-hati dalam memberitakan isu-isu tertentu karena takut kehilangan iklan atau mengalami tekanan dari pihak yang lebih berkuasa. Bahkan, dalam beberapa kasus, redaksi media memilih untuk tidak menerbitkan berita sama sekali daripada menghadapi risiko hukum atau ekonomi yang berat.

PHK Massal dan Ketimpangan Kesejahteraan

Situasi ekonomi media yang memburuk juga berdampak langsung pada kesejahteraan jurnalis. AJI mencatat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai perusahaan media sepanjang 2024.

“Kami menerima laporan tentang PHK di berbagai media, mulai dari CNN Indonesia, Kompas, MNC Group, hingga Tribun Group. Selain itu, banyak jurnalis yang menerima gaji di bawah upah minimum dan hak-haknya tidak dipenuhi,” ungkap Koordinator Divisi Ketenagakerjaan AJI, Edi Faisol.

AJI menyebut kondisi ini sebagai ‘kekerasan ekonomi’ terhadap jurnalis. “Kita bicara soal upah yang dipotong sepihak, pesangon yang tidak dibayarkan, hingga praktik union busting (pembubaran serikat pekerja). Ini masalah serius yang harus segera ditangani,” tambahnya.

Dampak dari kondisi ini juga terlihat pada kualitas jurnalisme.

Banyak jurnalis yang terpaksa mencari pekerjaan tambahan di luar media, atau bahkan meninggalkan profesinya karena tidak lagi bisa bertahan dengan gaji yang minim. Di sisi lain, jurnalis yang tetap bertahan harus bekerja dalam kondisi yang semakin berat, dengan beban kerja tinggi dan tekanan dari berbagai pihak.

Rekomendasi untuk Masa Depan

Melihat kondisi suram ini, AJI menuntut pemerintah dan pemangku kepentingan untuk segera melakukan perbaikan. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain: (1) Penyelesaian kasus kekerasan terhadap jurnalis untuk mencegah impunitas, (2) Perlindungan hukum bagi jurnalis dan media independen, (3) Revisi kebijakan ketenagakerjaan agar menjamin kesejahteraan jurnalis.

Kemudian (4) Penghentian intervensi pemerintah terhadap isi pemberitaan media, (5) Peningkatan literasi media agar masyarakat bisa membedakan berita dari propaganda, (6) Mendorong transparansi dalam kepemilikan media agar tidak didominasi oleh kelompok tertentu yang dapat mengendalikan narasi pemberitaan. Serta (7) Memastikan bahwa media independen memiliki akses terhadap dana dan iklan tanpa adanya tekanan politik.

“AJI akan terus mengawal isu-isu ini dan memastikan kebebasan pers di Indonesia tidak semakin tergerus,” tutup Nani.

Konferensi pers ini juga dihadiri oleh berbagai organisasi jurnalis dan lembaga advokasi kebebasan pers. AJI Indonesia berharap catatan tahunan  ini bisa menjadi acuan bagi pemerintah dalam membenahi ekosistem media di Indonesia. Keberadaan pers yang bebas dan independen bukan hanya kepentingan jurnalis, tetapi juga hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berkualitas.  AJI Indonesia mengajak masyarakat untuk lebih kritis dalam mengonsumsi informasi dan mendukung media yang berintegritas.

Berkaca dari kondisi saat ini, solidaritas antara jurnalis, organisasi media, dan publik menjadi kunci utama dalam mempertahankan kebebasan pers di Indonesia.

kali dilihat