INDEPENDEN- Suara media alternatif dari berbagai daerah di Indonesia menggema di Festival Media 2025 yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sabtu (13/9/2025). Momentum tahunan jurnalis independen ini, mereka secara resmi melahirkan Deklarasi Makassar, sebuah komitmen kolektif untuk memperjuangkan kebebasan pers dan menjaga keberlanjutan jurnalisme independen di tengah berbagai tekanan.
Deklarasi ini lahir dari kegelisahan bersama akan semakin menyempitnya ruang kebebasan berekspresi, meningkatnya ancaman terhadap jurnalis, serta rapuhnya keberlanjutan media alternatif. Ada empat utama yang diperjuangkan Koalisi Media Alternatif sebagai komitmen menjaga pilar demokrasi di Indonesia.
Yakni, (1) Menuntut pengakuan, perlindungan, dan jaminan keberlanjutan bagi media alternatif sebagai bagian dari ekosistem pers nasional. (2) Mendesak Dewan Pers segera melakukan verifikasi sebagai bentuk legitimasi sekaligus perlindungan hukum bagi media alternatif. (2) Menolak segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan intimidasi terhadap jurnalis, terutama mereka yang bekerja di ruang-ruang alternatif. (4) Berkomitmen menjaga profesionalisme, memperkuat narasi alternatif, serta terus menyuarakan gerakan sosial kritis demi menjaga pers sebagai salah satu tiang demokrasi.
Deklarasi Makassar tidak hanya simbolik, melainkan juga langkah strategis. Dokumen ini ditandatangani oleh belasan media alternatif, di antaranya Bandung Bergerak, Bollo.id, Ekuatorial.com, Floresa.co, Idenera.com, Independen.id, Jaring.id, KatongNTT.com, Konde.co, Koreksi.org, Prohealth.id, ProgreSIP, dan Project Multatuli.
Media Alternatif di Tengah Tekanan
Dalam diskusi yang mengiringi deklarasi, sejumlah persoalan mendasar yang dihadapi media alternatif mengemuka. Didit Haryadi, Pemimpin Redaksi Bollo.id, menyoroti minimnya jumlah media alternatif di Makassar sehingga kolaborasi dan jaringan dukungan masih sangat terbatas.
“Berbeda dengan media arus utama yang kerap terikat kepentingan bisnis, media alternatif justru lebih bebas menulis isu-isu sensitif. Tapi konsekuensinya, kami lebih rentan intimidasi karena payung hukum yang melindungi kami juga tidak jelas,” kata Didit.
Selain kerentanan hukum, masalah finansial menjadi beban terbesar. Sebagian besar media alternatif lahir dari inisiatif penulis, jurnalis, dan aktivis yang bekerja dengan semangat idealisme, namun dengan minim pengalaman dalam manajemen organisasi dan pengelolaan keuangan. Situasi ini membuat keberlanjutan media alternatif sering berada di ujung tanduk.
Perkuat Posisi Media Alternatif
Koalisi Media Alternatif menegaskan perlunya langkah konkret untuk memperkuat posisi mereka dalam lanskap pers Indonesia. Ada tiga agenda utama yang diusung, yakni (1) Penguatan posisi di Dewan Pers, agar media alternatif memiliki legitimasi yang jelas dan bisa mendapatkan akses perlindungan hukum. (2), Perlindungan hukum dan keamanan jurnalis, yakni memastikan keselamatan kerja bagi jurnalis yang kerap menghadapi ancaman ketika mengangkat isu-isu kritis. Serta (3), Komitmen jurnalisme berkualitas, dengan tetap menyajikan berita independen, kritis, dan berpihak pada kepentingan publik serta lingkungan hidup.
“Media alternatif berperan penting menjaga ruang publik tetap kritis, independen, dan berpihak pada masyarakat serta lingkungan. Tanpa keberadaan media alternatif, demokrasi bisa makin rapuh karena publik kehilangan sumber informasi yang berani menyuarakan hal-hal yang kerap diabaikan media arus utama,” tegas Nany Afrida, pemred Independen.id.(**)