Dampak Krisis Iklim terhadap Produksi Pangan di Indonesia

Oleh :  Betty Herlina

Independen-  "Tadinya kita memperkirakan tahun 2042 akan tembus 1,5 derajat, tapi ternyata malah lebih cepat," ungkap  Prof. Edvin Aldrian, Vice Chair Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam Webinar Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim, minggu lalu. 

Aldrian mengatakan akibat kenaikan suhu tersebut menjadikan sepanjang tahun 2023 mencatat rekor terbaru sebagai tahun terpanas. 

Sebelumnya, lanjut Aldrian kondisi ini sudah disampaikan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada 27 Juli 2023, di mana memburuknya permasalahan perubahan iklim saat ini telah membuat berakhirnya era global warming, dan membuat dunia memasuki masa global boiling

Yakni, kondisi di mana bumi sudah mengalami pemanasan secara ekstrem yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan efek rumah kaca. Hal ini menjadi berdampak berbagai sektor kehidupan, termasuk produksi pangan. 

Mengutip laman BMKG, Rabu (13/03/2025) laju perubahan suhu udara diperoleh dengan menggunakan data observasi BMKG mulai dari tahun 1981-2022 yaitu suhu udara rata-rata, maksimum dan minimum. Laju perubahan suhu udara rata-rata secara nasional di Indonesia meningkat sebesar 0,6°C/30 tahun. 

Di Indonesia, kata Aldrian, kondisinya tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan suhu, namun ada pengaruh lain yang dikenal dengan  The Indonesian Throughflow.  Dimana ada aliran samudera yang hampir permanen mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera India melalui wilayah Indonesia. Arus laut ini merupakan sumber energi yang sangat besar sekali dan hanya ada di wilayah Indonesia.  

Aliran ini memberi sinyal akan adanya El Nino Southern Oscillation atau ENSO yang turut mempengaruhi kondisi alam di Indonesia selain perubahan iklim global yang terjadi di wilayah Indonesia.  

"El Nino ini sangat mempengaruhi ketersediaan pangan di Indonesia. Pada saat El Nino prediktabilitas iklim Indonesia sangat tinggi, ini menjadi blessing bagi kita, karena bisa memprediksi iklim enam bulan sebelumnya dengan tingkat akurasi yang tinggi dan enam bulan sesudahnya, sehingga bisa melakukan persiapan," imbuhnya. 

Aldrian menambahkan, dengan memanfaatkan sinyal di laut Indonesia untuk memprediksi kedatangan ENSO baik itu El Nino dan La Nina, dapat membantu ketahanan pangan di Indonesia.

El Nino umumnya berdampak pada berkurangnya curah hujan di Indonesia. Sementara dampaknya tergantung pada intensitas El Nino itu sendiri, lamanya durasi El Nino serta musim yang sedang berlangsung. 

"Indonesia dapat menjadi swasembada dalam hal pangan dan ekspor impor pertanian selain itu untuk antisipasi bencana kekeringan terutama soal bahaya kebakaran hutan," papar profesor Meteorologi dan Klimatologi BRIN tersebut. 

El Nino diprediksi berakhir April 

Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG),  Dr. Supari mengatakan Indonesia mengalami El Nino jenis moderate dengan indeks anomali suhu muka laut di Pasifik tengah mencapai nilai 2,0 pada Desember 2023. Dimana kategori tertinggi El Nino dirasakan dampak cukup luar biasa sepanjang Agustus, September dan Oktober dengan curah hujan sangat rendah.

Berdasarkan prediksi curah hujan bulanan BMKG, beberapa wilayah akan mengalami curah hujan bulanan dengan kategori rendah (0 - 100 mm/bulan), utamanya pada Agustus - September - Oktober, meliputi Sumatera bagian tengah hingga selatan, pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.

Dampak El Nino umumnya terasa kuat pada musim kemarau yaitu pada bulan-bulan Juli - Agustus - September - Oktober. Sehingga perlu meningkatkan kewaspadaan pada bulan-bulan tersebut. Terlebih lagi, ada banyak wilayah di Indonesia yang akan memasuki puncak musim kemarau pada bulan-bulan tersebut. Sedangkan ketika di musim hujan dampak El Nino tidak akan terasa besar. 

Kondisi sebaliknya, lanjut Supari dirasakan ketika terjadi La Nina. 

“Sepanjang tahun 2023 lalu di Lombok itu selama tujuh bulan tidak terjadi hujan atau sekitar 222 hari, secara secara generik wilayah di Indonesia dua bulan tidak mengalami hujan. Dan ini berdampak pada produksi pangan menjadi tidak maksimal,” katanya. 

“El Nino selalu berakhir di tahun ke dua, seperti yang akan terjadi di 2024 El Nino berakhir diprediksi di April, dan ini memang siklusnya,” lanjutnya.  

Supari mengatakan,  ada indikasi akan terjadi La Nina pada semester kedua 2024 di mana berbagai model laut sudah mengindikasikan akan terjadi pendinginan di Samudera Pasifik mengindikasikan La Nina, bila demikian maka akan ada kondisi ekstrem. 

Jika La Nina benar akan hadir pada tahun 2024, maka musim kemarau akan terjadi dengan sifat lebih basah. Hal ini akan baik untuk tanaman padi karena air tercukup, namun mungkin tidak cukup baik untuk tanaman hortikultura seperti sayuran dan cabai karena curah hujan yang berlebihan.

“Kondisi iklim apapun yang terjadi akan menimbulkan dampak pada sektor pangan. Dimana gagal panen yang dipicu kekeringan saat El Nino serta gagal panen yang dipicu curah hujan berlebihan saat La Nina,” katanya. 

Untuk mencegah hal tersebut terjadi, Supari mengatakan perlu dilakukan penyesuaian jadwal tanam dan pengembangan varitas tanaman lebih tahan iklim, serta peningkatan pemahaman masyarakat tentang iklim hingga potensi asuransi pertanian. 

Musim paceklik yang luar biasa 

Plt. Direktur Ketersediaan Badan Pangan Nasional (Bapanas)  Dr. Ir. Budi Waryanto, M.Si mengatakan terjadi penurunan produksi total beras pada tahun 2024, di mana prediksi produksi total beras periode Januari-April 2024 mencapai 10,70 juta ton. Sedangkan produksi total beras tahun 2023 pada  periode yang sama mencapai 12,98 juta ton.

Artinya, produksi beras tahun ini (2024) lebih rendah 2,28 juta ton atau 17,57 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2023. Diketahui rincian produksi beras pada tahun 2024  mencapai 0,86 juta ton (Januari), 1,38 juta ton (Februari), 3,54 juta ton (Maret), dan 4,92 juta  ton (April). Sedangkan pada tahun 2023, beras yang diproduksi adalah 1,34 juta ton (Januari),  2,85 juta ton (Februari), 5,13 juta ton (Maret), dan 3,66 juta ton (April). 

“Jadi, volume produksi beras dari Januari hingga Maret 2024 diprediksi lebih rendah dibanding  produksi beras pada dua atau tiga tahun lalu. Sehingga, kondisi ini merupakan musim paceklik yang luar biasa, yang pada saat  bersamaan tanaman padi itu baru vegetatif, biasanya kalau kondisinya normal Oktober itu sudah terjadi musim penanaman di seluruh wilayah sentral, namun ini mundur rata-rata di Desember hingga Januari,  diperkirakan nanti berdampak pada kenaikan harga mulai Maret pertengahan seterusnya akan turun, sehingga wajar kalau sekarang terjadi harga yang tinggi,” katanya. 

Sementara itu berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi di Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan tren penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) pada tahun 2023 mencapai total 53,98 juta ton, mengalami penurunan sebesar 1,41 persen dari jumlah produksi pada tahun sebelumnya yang mencapai 54,75 juta ton. Penurunan ini mencerminkan berbagai faktor yang mempengaruhi pertanian, seperti cuaca ekstrem, perubahan iklim, dan praktik pertanian yang beragam di seluruh wilayah Indonesia.

Di sisi lain, jika dikonversi menjadi beras, produksi padi secara nasional pada tahun 2023 mencapai 31,10 juta ton. Meskipun jumlahnya masih cukup besar, penurunan sebesar 1,40 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 31,54 juta ton menunjukkan adanya tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian dalam mempertahankan produksi padi yang stabil.

Perubahan ini memberikan gambaran tentang kondisi pertanian di Indonesia dan menyoroti pentingnya upaya untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh petani dalam rangka menjaga ketahanan pangan negara.

Pemerintah kata Budi,  telah melakukan beberapa langkah untuk menjaga  ketersediaan pangan yaitu dengan menyediakan 2,4 juta ton setiap tahunnya, melakukan  bantuan pangan untuk 22 juta masyarakat yang rawan pangan, melakukan stabilisasi pasokan  dan harga untuk retail modern serta melakukan sinergi dengan pemerintah daerah melalui  program gerai pangan murah di bawah program Kementerian Dalam Negeri untuk mengendalikan inflasi di daerah.

Selain itu, Bapanas juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk melakukan  percepatan tanam di semester II tahun 2024 dimana telah diprediksi bahwa fenomena La Nina akan terjadi dan menyebabkan kondisi iklim lebih basah untuk pertumbuhan padi.

Pengelolaan pangan berkelanjutan 

Dosen dan Peneliti Pangan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Angga Dwiartama mengatakan kondisi ketahanan pangan di Indonesia rentan terhadap guncangan seperti El Nino. Angga mengungkapkan kekhawatirannya mengingat El Nino merupakan bagian dari siklus iklim, dan kemungkinan adanya El Nino dan La Nina dengan intensitas yang lebih besar di masa depan terkait fenomena perubahan iklim. Menurutnya, pendekatan 'business as usual' dalam produksi pangan harus ditinggalkan demi mengantisipasi krisis iklim dan beralih ke arah keberlanjutan pangan.

Dalam konteks adaptasi terhadap perubahan iklim di sektor pertanian padi, Angga merekomendasikan pemerintah untuk membangun infrastruktur lokal yang sesuai dengan karakteristik sosio ekologis setiap wilayah. Ia menegaskan perlunya menghindari sentralisasi produksi pertanian dan membangun infrastruktur yang tangguh sesuai dengan sistem ekologis-sosial setempat. 

Angga juga menyoroti kondisi mayoritas petani padi Indonesia yang termasuk dalam kategori petani gurem (memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar,red) yang rentan terhadap guncangan. Untuk itu, pemerintah harus meningkatkan akses mereka terhadap sumber daya pertanian yang mencukupi, seperti lahan, air, dan sarana produksi. Selain itu, penguatan kapasitas masyarakat pedesaan dalam praktik adaptasi perubahan iklim juga dianggap penting. 

“Pemahaman yang lebih luas tentang strategi penghidupan dan adaptasi terhadap perubahan iklim di pedesaan dapat memperkuat ketangguhan masyarakat terhadap perubahan iklim secara keseluruhan,” pungkasnya. 

kali dilihat