Oleh: Nani Afrida dan Betty Herlina
INDEPENDEN- Sejak awal Februari, Prabowo memang tengah memangkas anggaran kementerian dan lembaga. Ia menargetkan Rp750 triliun penghematan dalam tiga putaran kebijakan fiskal. Langkah ini diklaim sebagai strategi untuk meningkatkan efisiensi belanja negara tanpa mengorbankan program prioritas seperti pertahanan, pendidikan, dan infrastruktur.
Efisiensi tahap satu dilakukan mengacu Inpres Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Penghematan anggaran sebesar Rp306,69 triliun diambil dari pos anggaran belanja Kementerian/Lembaga Rp256 triliun dan Transfer ke Daerah Rp50,59 triliun.
Putaran kedua, efisiensi ditargetkan Rp308 triliun, dimana Rp58 triliun akan dikembalikan lagi ke Kementerian/Lembaga. Sedangkan tahap ketiga, efisiensi diambil dari dividen BUMN sebesar Rp300 triliun dialokasikan Rp200 triliun untuk negara dan Rp100 triliun kembali ke BUMN.
Dari jumlah tersebut Prabowo mengatakan akan mengalokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan investasi di Danantara (Daya Anagata Nusantara). Danantara atau Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara dibentuk Prabowo dengan dalih untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan investasi di luar APBN, serta meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dengan mengkoordinasikan dan mengoptimalkan aset-aset milik negara.
Kehadiran program Danantara ini cukup mengejutkan, sebab tidak pernah disebut Prabowo-Gibran dalam kampanye Pilpres 2024. Berbeda dengan MBG merupakan satu dari 10 janji politik yang disampaikan pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Program ini ditargetkan untuk memberikan makan siang gratis kepada 82,9 juta warga miskin, termasuk 74,2 juta anak sekolah, 4,3 juta santri, dan 4,4 juta ibu hamil.
Selain MBG, pasangan Prabowo-Gibran masih memiliki sederet janji politik lainnya, di antaranya melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

Sayangnya, efisiensi anggaran yang dilakukan Prabowo berdampak pada mata anggaran yang bersinggungan dengan janji politiknya. Seperti, pemangkasan anggaran di Otorita Ibukota Nusantara dari pagu Rp6,3 triliun dipangkas Rp1,15 triliun. Hal ini menyebabkan pembangunan IKN di Kalimantan Timur terancam tidak dilanjutkan.
Ada juga pemangkasan di Kementerian Pertanian dari pagu Rp29,3 triliun dipangkas Rp10,28 triliun. Sisa dana yang hanya berjumlah Rp19,02 triliun tersebut membuat publik sangsi Prabowo dapat merealisasikan janji kampanye berupa Program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian untuk mencapai swasembada pangan. Mengingat dalam postur APBN 2024 Pagu Kementan saja sudah sebesar Rp15,56 triliun tanpa embel-embel swasembada pangan.
Kemudian ada juga pemangkasan di Kementerian Kesehatan dari pagu Rp105,7 triliun dipangkas Rp19,6 triliun. Di Kementerian ini Prabowo menjanjikan akan ada Program kesehatan gratis untuk masyarakat/Pemeriksaan gratis salah satunya dalam bentuk Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) saat ulang tahun adalah program pemerintah untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Program ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, mulai dari bayi hingga lansia. Serta Program pendidikan untuk meningkatkan jumlah dokter di Indonesia.
Lalu, di Kemendiktisainstek dari pagu Rp56,6 triliun dipangkas Rp14,3 triliun menyisakan Rp42,3 triliun. Serta Kemendikdasmen dari pagi Rp33,5 triliun dipangkas Rp7,27 triliun menyisakan 26,23 triliun. Dua kementerian tersebut jelas bersinggungan dengan janji Prabowo untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam bentuk membangun sekolah unggul terintegrasi, membangun 300 Fakultas Kedokteran, beasiswa bagi 20 ribu pelajar serta perbaikan gedung sekolah yang rusak se-Indonesia.
Pemangkasan ini juga menimbulkan kegelisahan di antara mahasiswa penerima KIP Kuliah, dimana tahun 2024 saja pemerintah menggelontorkan Rp13,7 triliun untuk 985.577 penerima, nyaris satu juta. Termasuk penerima Program Indonesia Pintar (PIP) Rp13,4 triliun untuk 18,6 juta siswa jenjang SMA, SMP dan SD.
Prabowo juga memangkas pagu Kemensos Rp970 miliar dari total pagu Rp79,6 triliun. Padahal dalam kampanyenya Prabowo berjanji akan melanjutkan program Dana Desa, BLT, dan Rumah Murah.
MBG dan Inkonsistensi Janji Politik
Melihat kondisi ini, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan memang sudah seharusnya Prabowo fokus merealisasikan janji politik yang sudah disampaikan saat kampanye. Namun tentunya tidak harus fokus hanya ke MBG saja. Sehingga efisiensi anggaran tidak semua dialokasikan untuk MBG. Sebaliknya tetap mengalokasikan dana untuk janji-janji lain, seperti hilirisasi diberbagai sektor dan lainnya.
“Kenapa MBG jadi prioritas, ini yang harus dijadikan pertanyaan, not only focus in MBG, tapi harus juga fokus ke program. Ini menunjukan inkonsistensi Prabowo,” kata Esther.
Shofie Azzahrah peneliti yang berafiliasi dengan lembaga think tank Next Policy mengatakan untuk menyeimbangkan janji kampanye dan kebutuhan efisiensi anggaran. Pemerintah seharusnya memfokuskan dulu pada peningkatan penerimaan negara terlebih dahulu.
“Perlu mencari sumber pendapatan baru, baik melalui optimalisasi pajak, peningkatan penerimaan negara bukan pajak, atau strategi lain yang tidak membebani masyarakat. Selain itu, pemerintah harus memprioritaskan program-program yang memiliki dampak ekonomi jangka panjang, bukan hanya sekadar memenuhi janji politik,” katanya.
Untuk membiayai program MBG dan berbagai janji lainnya, Shofie mengatakan pemerintah perlu mencari sumber pendanaan tambahan yang jika tidak tersedia, dapat berujung pada pemangkasan anggaran di sektor-sektor lain.
“Pemangkasan ini juga bisa menjadi pertanda bahwa ruang fiskal semakin sempit, dan pemerintah harus memilih antara menjalankan program populis atau menjaga stabilitas anggaran negara,” terangnya.
Terpisah, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar mengatakan efisiensi anggaran senilai Rp392 triliun untuk program MBG menimbulkan persoalan signifikan, karena dapat berdampak pada belanja untuk kepentingan publik. Ia mencontohkan pagu Kemendikdasmen yang dipangkas hingga Rp7,27 triliun berdampak dengan dukungan dana untuk vokasi, sehingga berimplikasi dengan kualitas pendidikan.
“APBN yang dikorban untuk janji politik,” katanya.
Media mengatakan, masih ada ruang untuk efisiensi anggaran jika pemerintah memang ingin merealisasikan MBG tanpa mengorbankan janji-janji politik lainnya.
Riset yang dilakukan CELIOS, kebutuhan untuk MBG apabila dilakukan tepat sasaran dengan peruntukan anak-anak di wilayah 3T, keluarga miskin, serta balita dan ibu hamil, maka negara cukup mengalokasikan Rp117,93 triliun. Sehingga masih ada sisa dana Rp259,76 triliun yang bisa dialokasikan untuk program sosial lain sesuai janji kampanye Prabowo.
“Bisa untuk bantuan pelajar, atau pembayaran tukin dosen dan lainnya,”katanya.
Media mengatakan jika anggaran penghematan yang ada seluruhnya dialokasikan untuk mendanai program MBG hal ini berisiko mengarah pada pemborosan fiskal yang besar. Sebaliknya ketika MBG ditargetkan ke rumah tangga miskin dengan distribusinya lebih mirip dengan bantuan sosial lainnya, akan menunjukan efisiensi yang lebih tinggi.
Media menambahkan, Pemerintah Indonesia seharusnya bisa belajar dari kegagalan program free lunch yang diterapkan di Columbia. Dimana program tersebut malah memunculkan korupsi akibat penyaluran yang tidak tepat.
“MBG ini coverage-nya besar, jadi melibatkan vendor yang besar dan tidak bisa dikelola oleh UMKM. Sehingga dikhawatirkan tidak melahirkan nilai tambah bagi masyarakat,” terangnya.
Kontradiksi Kebijakan Kabinet Gemuk
Efisiensi anggaran yang dilakukan Prabowo sekarang ini terlihat bertolak belakang dengan keputusannya membuat kabinet gemuk pada awal kepemimpinan. Prabowo mengisi kabinet Merah Putih dengan jumlah hampir dua kali lipat dari periode sebelumnya. Yakni, 48 orang menteri, 59 orang wakil menteri, 5 orang pejabat setingkat menteri, 7 orang utusan presiden dan 13 orang staf khusus. Jumlah tersebut terbesar sepanjang pemerintah Indonesia.
Membengkaknya komposisi kabinet Merah Putih, tentunya berimbas pada pengeluaran untuk pembayaran gaji para menteri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP Nomor 50 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Menteri Negara dan Bekas Menteri Negara serta Janda/Dudanya, gaji pokok menteri negara adalah sebesar Rp5,040,000 per bulan.
Selain itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 68 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres Nomor 168 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara Tertentu, menteri berhak mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp13,608,000 per bulan.
Berdasarkan hitungan itu total gaji menteri adalah Rp18.648.000 per bulan.
Untuk wakil Menteri, mereka berhak mendapatkan hak keuangan sebesar 85 persen dari tunjangan jabatan menteri. Jika dihitung, maka diperkirakan wakil menteri mendapatkan tunjangan sebesar Rp11.566.800 per bulan. Dasar perhitungan ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 176/PMK.02/2015 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Wakil Menteri.
Jumlah itu belum termasuk operasional/kinerja menteri yang diterima setiap bulan. Mengutip Kompas.id, bila mengacu pada tunjangan kinerja 100% Menteri Keuangan, maka bisa memperoleh pendapatan bulanan Rp150 juta hingga Rp200 juta. Sedangkan wakil Menteri memperoleh Rp80 juta hingga Rp150 juta, tergantung keputusan presiden mengenai tunjangan kinerja di tiap kementerian dan lembaga.
Jika dihitung totalnya, untuk satu tahun untuk gaji Menteri dan Wakilnya mencapai Rp243 miliar. Nominal ini bila digunakan untuk biaya pendidikan dapat menyasar 135,000 orang siswa kelas XII dimana masing-masing akan mendapatkan Rp1,8 juta (mengacu besaran PIP tahun 2025).
Termasuk bisa mengatasi stunting lewat 81 ribu orang ibu hamil dengan masing-masing menerima Rp3 juta. Mengingat berdasarkan data BKKBN ada 4,8 juta ibu hamil setiap tahun yang jika tidak mendapatkan layanan gizi yang layak bisa menyebabkan 20% kelahiran stunting.
Sementara itu untuk Stafsus berhak menerima gaji dan fasilitas setara dengan pimpinan tinggi madya (eselon IA), dengan batas tertinggi gaji Rp36.500.000 per bulan, sesuai Perpres No 80 Tahun 2015.
Sedangkan untuk Utusan Khusus Presiden di Indonesia ditetapkan setara dengan gaji menteri. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2000, gaji pokok menteri adalah Rp5,040,000 per bulan. Selain gaji pokok, mereka juga menerima tunjangan jabatan sebesar Rp13,608,000 per bulan. Jadi, total gaji dan tunjangan yang diterima oleh Utusan Khusus Presiden mencapai Rp18,648,000 per bulan.

Media Wahyudi Askar mengatakan, jika Prabowo ingin melakukan efisiensi, seharusnya juga melakukan efisiensi gaji pejabat dan mengurangi fasilitas mobil mewah. Termasuk mengurangi perjalanan dinas ke luar negeri, serta fasilitas-fasilitas pendukung lainnya yang bisa dipangkas.
“Itu yang seharusnya di hemat, bahkan jika mau lebih fair lagi ya Prabowo bisa memberlakukan pajak kekayaan 1%-2% untuk orang-orang terkaya di Indonesia,” katanya.
Berdasarkan penelusuran Independen, ditengah upaya Prabowo “mengencangkan ikat pinggang APBN” dengan mengurangi perjalanan dinas keluar negeri, ternyata masih ada sejumlah menteri dan pejabat negara yang terkesan mengabaikan hal tersebut. Diantaranya Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid yang terang-terangan menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi Aksi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence Action Summit (KTT AIAS) di Paris, Prancis, pada 10-11 Februari 2025. Kemudian ada juga Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dikabarkan berkunjung ke Kairo, Mesir, selama 3 hari, yakni pada 11-13 Februari 2025.
Tak hanya anggaran gaji yang fantastis, diketahui komposisi kabinet Merah Putih era Prabowo-Gibran adalah tergemuk untuk negara-negara di ASEAN dengan rasio yang masih relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, yakni 0,44.
Janji Pertumbuhan Ekonomi 8% Hanya Angan
Sementara itu Shofie Azzahrah mengatakan untuk melaksanakan MBG pemerintah membutuhkan kapasitas fiskal yang sangat besar. Sedangkan kapasitas fiskal di Indonesia sangat terbatas, sehingga pelaksanaan program ini dilakukan dengan melakukan efisiensi anggaran yang sangat besar.
Efisiensi anggaran yang berlebihan bisa berdampak pada daya beli masyarakat, karena belanja pemerintah adalah salah satu komponen utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika belanja ini dikurangi secara signifikan, permintaan agregat dapat melemah, yang berakibat pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
“Dengan demikian, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang dicanangkan Prabowo-Gibran akan sulit tercapai, karena faktor utama yang mendukung pertumbuhan, seperti konsumsi dan investasi, justru mengalami tekanan,” katanya.
Dalam jangka pendek, berkurangnya subsidi dapat mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa, yang berujung pada penurunan pendapatan riil masyarakat. Masyarakat akan menghadapi kenaikan harga untuk berbagai kebutuhan pokok yang sebelumnya mendapat bantuan dari pemerintah.
Dalam jangka menengah, jika pemangkasan anggaran juga menyentuh belanja produktif seperti infrastruktur dan program sosial, maka efek negatifnya bisa lebih luas. Penurunan investasi di sektor infrastruktur dapat menghambat penciptaan lapangan kerja dan memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sektor-sektor yang bergantung pada belanja pemerintah, seperti konstruksi dan industri pendukungnya, juga akan mengalami perlambatan.
“Hal ini pada akhirnya dapat berdampak pada sektor lain seperti jasa, perdagangan, dan konsumsi rumah tangga,” lanjut Shofie.
Serupa disampaikan Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi. Meskipun belum ada informasi resmi dari pemerintah terkait sektor apa yang dipangkas, namun ada kemungkinan akan menyasar belanja modal dan lain-lain.
Hal ini akan berkaitan dengan kegiatan seperti perawatan jalan, infrastruktur, termasuk “mesin penggerak” ekonomi di daerah seperti perawatan irigasi, yang akan berimplikasi secara signifikan pada ekonomi masyarakat
Dengan berkurangnya transfer dari pusat, pemerintah daerah mungkin harus memangkas belanja operasional dan pembangunan, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal. Selain itu proyek pembangunan yang bergantung pada dana pusat bisa tertunda atau dibatalkan, menghambat peningkatan konektivitas dan layanan publik.
Termasuk jika anggaran daerah untuk bantuan sosial dan subsidi berkurang, masyarakat yang bergantung pada program pemerintah bisa mengalami kesulitan ekonomi. “Kami memprediksikan jika ini terus terjadi maka pertumbuhan ekonomi hanya menyentuh angka 4,7%,” katanya.
Media menambahkan, masih ada skema lain yang bisa dilakukan pemerintah yakni dengan penguatan pajak alternatif, yang akan memperluas basis penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada sektor yang sudah jenuh.
“Seperti memberlakukan pajak Harta Orang Super Kaya, pajak Produksi Batu Bara dan lainnya," pungkasnya.
Independen.id sudah mencoba menghubungi juru bicara Partai Gerindra selaku partai pengusung pasangan Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad, namun hingga berita ini diturunkan, pesan singkat Independen tak kunjung mendapatkan balasan.