Dipukul Sewaktu Meliput, Sudah Biasa

Zaman itu media online baru-baru ngetop. Media online nasional pertama saat itu adalah detik.com. Ketika Aceh punya media sekelas detik.com hanya satu hal yang terpikir oleh Nursafri yaitu harus memperoleh kesempatan menulis di acehkita.com karean dia pasti akan terlihat keren. Bagi Nursafri acehkita.com layaknya wadah penyampaian aspirasi.

Awal Darurat Militer, Nursafri bersama Alif reporter Radio 68 H Jakarta, berangkat menuju Aceh Selatan. Tujuannya yaitu meliput daerah pedalaman Kluet Raya, Menggamat dengan harapan dapat bertemu langsung panglima GAM wilayah Selatan Aceh itu.

Jarak Banda Aceh ke Aceh selatan bisa menghabiskan waktu hampir 12 jam perjalanan. Belum lagi sampai ke tempat tujuan, di Blang Pidie (sekarang Aceh Barat Daya) malam itu mereka mendapat kabar bahwa ada penyerangan di Gunung Ketek. Dalam pertempuran itu seorang Marinir tewas.

Mereka tak mempertimbangkan bahwa mungkin pagi hari di kawasan itu belum dilakukan sterilisasi akibat kejadian semalam. Mobil wartawan itu terus melengang masuk ke lokasi kejadian dengan santainya. Mereka tak sadar sedang diikuti intelijen.

Saat hendak bergerak pulang, mobil mereka disetop. Mereka diminta turun dari mobil. Tanpa aba-aba Nursafri dan beberapa temannya dipukul tentara. Karena tak terima dipukul, akhirnya mereka diboyong ke Markas Kodim terdekat.

Mereka sempat diancam bunuh kalau berani menyiarkan kabar pemukulan tersebut. Nursafri ingat betul ucapan tentara itu kepadanya “Kami ini tentara, kalau sudah dibilang damai ya damai. Ke depan kalian banyak ngomong, risiko tanggung sendiri!”

Pada zaman Darurat Militer, merekalah yang pertama mengalami kekerasan terhadap wartawan. Bagi Nursafri saat itu, tak ada sikap mengalah jika itu kasus kekerasan pers. Sesampai di Banda Aceh mereka berniat melakukan konferensi pers, dan baru terlaksana di Jakarta.

“Anak muda kalau digertak sama tetara, ya balas gertaklah,” kata Nursafri mengenang masa itu sambil tesenyum.

kali dilihat