Independen --- Lorong-lorong di gedung Pasar 16 Ilir Palembang lengang. Hilir-mudik warga yang hendak berbelanja tak tampak. Rolling door di depan sebagian besar dari ratusan kios tampak tertutup. Sahut-menyahut pekikan para pedagang yang memancing pembeli datang ke lapaknya nihil. Hanya ajakan lirih yang terlontar dari mulut sebagian pedagang, yang masih memilih bertahan berjualan di pasar di tengah pandemi. Saat itu, pertengahan Mei 2020 merupakan masa-masa menjelang Idul Fitri.
Tak ada lautan manusia yang memenuhi pasar untuk berbelanja kebutuhan hari raya. Pandemi Covid-19 memaksa warga berdiam diri di rumah, bukan hanya patuh imbauan pemerintah untuk menghindari kerumunan, namun juga keterbatasan pendapatan yang memukul warga untuk berhemat dan tidak menghamburkan uang demi kesenangan sekejap.
“Lebaran tahun ini banyak pedagang yang nggak ikut lebaran. Semua serba susah, jualan lakunya susah. Yang jualan juga sepi banyak yang tutup kios karena yang beli sedikit,” keluh Winda Febria (29), salah satu pedagang di Pasar 16 Ilir.
Pandemi Covid-19 merupakan pukulan telak bagi para pedagang pasar, yang berharap banyaknya kerumunan untuk meningkatkan omset jualan. Kebijakan jaga jarak diimbau pemerintah untuk menekan penyebaran Covid-29, menjadi bumerang bagi pedagang pasar. Pedagang seperti Winda terjaga dari penularan virus, namun kesejahteraannya tidak terlindungi. Perekonomian keluarga Winda ambruk.
Winda telah berjualan pakaian daster di Pasar 16 Ilir sejak 2015. Sehari berjualan, Winda minimal dapat mengantongi omset Rp500 ribu, paling ramai dirinya meraup Rp1 juta. Saat pandemi, omset Winda jeblok. Dirinya dan suami kelimpungan cari pemasukan karena tidak memiliki pemasukan lain di luar berjualan. Keluarga WInda pasrah untuk berlebaran dengan kondisi seadanya.
Ibu dua anak ini pun mulai mencari cara agar bisa kembali berjualan di tengah kondisi keterbatasan pandemi. Winda melirik Facebook, tren jualan live streaming di media sosial tersebut sedang in di tengah masyarakat. Peminatnya pun banyak. Winda mulai banyak bertanya kepada mereka yang sudah duluan melakoni gaya jualan baru tersebut.
“Ada teman sesama pedagang di Pasar 16 yang juga mulai live Facebook. Teman lama yang dulunya nggak jualan juga, dia sudah jualan di live Facebook. Saya mulai belajar supaya bisa jualan normal lagi,” tutur dia.
Juni 2020, Winda mulai berani berjualan dengan cara live stream Facebook. Saat itu pandemi di Palembang masih membatasi aktivitas masyarakat. Meskipun prinsipnya sama, namun berjualan dengan live stream Facebook merupakan dunia yang berbeda bagi dirinya yang sudah lima tahun berjualan di pasar. Di depan kamera, Winda dituntut luwes beraksi. Barang jualan yang tidak bisa secara langsung dilihat dan dicoba oleh pelanggan, harus bisa dijelaskan secara verbal. Selain harga, kualitas produk dan bahannya pun secara terperinci harus dijelaskan Winda kepada para calon pembeli di depan kamera.
Namun setelah beberapa pekan berjualan dengan cara baru, WInda mulai bisa merasakan angin segar. Jualannya laris manis, bahkan omsetnya melampaui rekor pencapaiannya sendiri saat berjualan secara konvensional di pasar. Winda bisa mengantongi omset Rp1 juta-Rp1,5 juta setiap melakukan live stream. Winda menyadari, orang mulai banyak beralih berbelanja daring ketimbang ke pasar di tengah pandemi. Dirinya pun mulai secara rutin melakukan live stream untuk menjaring lebih banyak pembeli.
Dirinya pun mulai berkenalan dengan jasa-jasa kurir paket dalam kota yang melengkapi usahanya tersebut. Tanpa kurir, barang dagangannya tidak dapat dikonversikan menjadi rupiah.
“Kalau dulu di pasar kita langsung terima uang setelah ada yang beli, kalau di Facebook harus menunggu satu hari. Tapi itu tidak masalah kalau sudah dapat kurir yang bisa dipercaya, pendapatan kita pun jadi naik,” ujar dia.
Modal yang dikeluarkan untuk berjualan live stream pun tidak banyak. Winda merinci, dirinya perlu merogoh kocek Rp800 per bulan dan Rp20 ribu per hari untuk biaya sewa kios serta biaya keamanan juga kebersihan untuk memiliki lapak di Pasar 16 Ilir. Sementara untuk berjualan live stream, dirinya hanya perlu mempersiapkan ponsel yang mumpuni plus paket data yang digunakan selama mengudara.
Gawai ponsel dirinya menggunakan yang sudah dipakainya sehari-hari karena sudah mumpuni, belanja paket data pun masih lebih kecil daripada membayar biaya untuk mendapatkan lapak di pasar. Secara kasar, pendapatannya bertambah karena modal yang diperlukan berkurang.
Hampir setiap hari Winda sekarang terus berjualan live stream. Pembeli pun selalu ada, karena setiap hari pengguna media sosial pun sudah mencari kebutuhan-kebutuhan di Facebook. Perekonomian keluarganya pun sekarang terangkat kembali. Namun meskipun sudah terbuai dengan berjualan secara digital, Winda masih enggan meninggalkan cara berjualan di pasar. Dirinya masih menanti kondisi kembali normal kembali dan berjualan di pasar kembali kondusif seperti sedia kala.
“Lapak di pasar masih dipertahankan karena kalau dilepas sayang, susah dapatnya lagi. Kalau secara kenyamanan, sama saja, jualan di pasar dan di Facebook sama-sama nyaman. Cuma cara yang sedikit berbeda. Kadang saya jualan di pasar, juga sekalian live Facebook. Jadi pemasarannya lebih luas,” ungkap Winda.
Terpuruknya kondisi UMKM akibat pandemi membuat pemerintah pun menyalurkan bantuan-bantuan uang segar kepada pedagang berbentuk BLT. Namun jumlah UMKM yang masih banyak belum terdata, membuat penyaluran bantuan dana tersebut belum merata.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sumsel Musiawati mengatakan, pelaku UMKM merupakan kalangan yang paling terdampak dari merebaknya pandemi Covid-19. Dorongan pemerintah agar pelaku UMKM memaksimalkan teknologi dan berjualan daring terus dipacu dengan disertai bantuan uang tunai untuk menambah modal.
Pemprov Sumsel mendapatkan jatah kredit usaha rakyat (KUR) dari pemerintah pusat sebesar Rp4,4 triliun. Dana tersebut akan disalurkan kepada para UMKM yang terdampak Covid-19 dengan cara bekerja sama dengan instansi lain seperti dinas perdagangan, industri, serta perbankan. Selain KUR, Pemprov Sumsel pun telah mengusulkan jatah 36 ribu pelaku UMKM mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah pusat.
Sementara Dinas Perindustrian Sumsel pun menggelar program pelatihan pemasaran secara daring serta pengemasan bagi para pelaku industri kecil menengah. Penguasaan teknologi digital menjadi kunci agar pelaku IKM dan UMKM tetap bisa bertahan di tengah segala keterbatasan kondisi pandemi.
Penguasaan teknologi dan digitalisasi usaha menjadi modal penting bagi pelaku UMKM seperti Winda yang sempat tak bisa bernapas terjepit kondisi pandemi. Meskipun geliat pasar tradisional perlu dipertahankan karena masih menjadi sentral dari perekonomian rakyat, penguasaan digital menjadi keniscayaan agar bisa bertahan dalam iklim bisnis modern.
“Saya usahakan sebisa mungkin jualan di pasar masih, jualan lewat Facebook juga jangan tinggal. Karena dua-duanya menghasilkan. Orang yang belanja di pasar juga masih banyak, apalagi sekarang sudah mulai normal kembali. Tapi saya juga mau terus coba jualan online, live streaming juga. Soalnya orang tidak ada yang tahu ke depannya seperti gini lagi atau nggak,” ungkap Winda.
Penulis: Hafidz Trijatnika Januar/D02