Penulis: Sekar Suci
Independen.id --- Konflik atau kerusuhan Ambon 1999 sudah 26 tahun berlalu, namun kengerian kejadian itu masih teringat jelas dalam ingatan Mariana, 48 tahun, seorang guru di Kota Ambon, Maluku. Dia mencatat konflik berdarah itu telah menyebabkan penderitaan pada banyak pihak.
Dari ujung telepon, Mariana, yang tak dipublikasikan nama lengkapnya, menceritakan kerusuhan Ambon pecah pada hari pertama Lebaran 1999 atau persisnya pada 19 Januari 1999. Ketika itu, warga di Desa Batu Merah saling melempar batu dengan warga di Desa Mardika.
Warga di kedua desa ini disebut-sebut sudah lama sering cekcok, yang di antaranya karena isu sengketa tanah. Percekcokan ini lalu menyebar hingga disebut sebagai konflik agama karena warga di kedua kampung itu berbeda agama yakni agama Islam dan Kristen.
“Di Maluku prinsip agama sangat kuat. Orang-orang kemudian dengan mudah terpancing,” kata Mariana, Sabtu, 19 Juli 2025, di Jakarta.
Menurut Mariana, sampai sekarang masih menjadi pertanyaan siapa aktor dibalik kerusuhan Ambon 1999. Banyak jurnal meneliti konflik ini, tetapi kebanyakan hanya mengulang riset-riset sebelumnya tanpa bisa mengungkap dalang kerusuhan.
Ketika kerusuhan pecah, Mariana, yang ketika itu masih berusia awal 20-an, dievakuasi dengan truk militer bersama warga Ambon lainnya, mengungsi ke tempat aman. Kondisi sangat kacau, banyak rumah dibakar.
Dampak luas dari kerusuhan Ambon 1999 di antaranya banyak sekolah dan perguruan tinggi tutup sementara. Walhasil, proses belajar-mengajar pun terhenti.
Kerusuhan Ambon berlangsung pada 1999 sampai 2002, namun Mariana menyebut konflik masih berkecamuk beberapa kali setelahnya bahkan pada awal 2025 masih ada kerusuhan yang terjadi. Hanya saja, konflik-konflik itu tidak seintensif pada 1999-2002.
Jumlah pasti korban tewas dalam konflik Ambon 1999-2002 sulit ditentukan. Ada sejumlah buku dan jurnal yang menyebut korban jiwa dalam konflik ini tembus 10 ribu jiwa, namun ada pula sumber lain yang menyebut korban tewas lebih dari 2 ribu jiwa.
Sedangkan data yang diungkap Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2012 dan juga dimuat sipeg.ui.ac.id menyebut korban jiwa akibat konflik di kepulauan Maluku ini sekitar 8.000-9.000 jiwa.
Disebutkan pula, kerusuhan Ambon 1999 telah memaksa lebih dari 70.000 orang mengungsi, lebih dari 29.000 rumah terbakar, sebanyak 7.046 rumah rusak, termasuk 46 masjid, 47 gereja, 719 toko, dan 38 gedung pemerintah.
Perempuan dalam perdamaian kerusuhan Ambon 1999
Mariana memastikan perempuan-perempuan di Kota Ambon, termasuk teman-teman baiknya, berkontribusi dalam meredam bekecamuknya konflik atau kerusuhan ini. Bahkan, didirikan beberapa organisasi perempuan di wilayah konflik.
Perempuan-perempuan di Desa Batu Merah dan Desa Mardika menyadari, kerusuhan ini telah berdampak psikologis dan mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka.
Kerusuhan telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa sehingga ada ibu-ibu yang terpaksa menjadi janda dan anak-anak kehilangan ayah mereka. Kehilangan ini, berarti pula kehilangan pencari nafkah utama di keluarga. Kerusuhan telah menghentikan aktivitas karena warga waswas ada razia oleh oknum-oknum.
Mariana mengatakan di antara upaya yang dilakukan perempuan-perempuan di Kota Ambon adalah menyampaikan pada para suami dan anak laki-laki mereka untuk jangan berperang karena semua itu hanyalah provokasi dan propaganda.
Bukan hanya itu, ibu-ibu juga saling bertelepon dan mengkonfirmasi setiap kejadian, supaya bapak-bapak tidak saling tersulut emosi.
Meski terlibat dalam upaya-upaya damai tersebut, namun perempuan-perempuan di Desa Batu Merah dan Desa Mardika tidak diketahui pasti apakah dilibatkan secara langsung dalam penanda-tanganan kesepakatan damai, atau hanya tokoh-tokoh agama saja. Untuk meredam kerusuhan Ambon 1999, di antaranya diterbitkan Perjanjian Damai Malino 2.
Mariana menegaskan generasi muda sekarang harus belajar bahwa peran ibu sangat penting. Dalam sebuah konflik, perempuan memang tidak mungkin pergi berperang, selalu laki-laki yang berperang. Akan tetapi, peran perempuan dalam konflik Ambon 1999 cukup krusial, yakni memberikan ketenangan dalam keluarga.
Setali tiga uang dengan Mariana, Ruth Saiyah, 45 tahun, pendeta, juga memastikan perempuan-perempuan Ambon berkontribusi dalam perdamaian saat kerusuhan Ambon 1999 berkecamuk. Ruth menyebut dosen perempuannya di Universitas Kristen Indonesia Maluku, yang juga seorang pendeta, ikut terlibat dalam perjanjian damai Malino 2. Hanya saja, dia tak bisa mengingat apakah kehadiran dosen perempuannya itu ikut menandatangani perjanjian damai atau sekadar hadir (dalam kapasitas sebagai pendeta).
“Awalnya, yang kami fahami ini konflik agama karena ada simbol-simbol agama yang digunakan, misalnya teriakkan takbir dan ada yang teriak syalom. Padahal simbol-simbol itu untuk memprovokasi. Dosen kami memberi tahu ini (konflik) enggak murni agama,” ujar Ruth, Minggu, 11 Agustus 2025.
Ruth mengatakan warga Ambon jenuh dengan situasi konflik Ambon 1999, yang bahkan sampai 2005 ketegangan itu masih ada sebenarnya.
“Kalau saya pelajari dari dosen yang ada di Gerakan Perempuan Maluku yakni kelompok lintas iman, mereka sampai turun ke jalan untuk menyerukan perdamaian. Mama-mama papalele (sebutan perempuan Maluku yang keliling berjualan hasil kebun), mereka mengambil risiko dengan tetap berjualan dan bertemu pembeli di zona nyaman untuk bertransaksi,” ujar Ruth.
Rekonsiliasi kerusuhan Ambon 1999 juga dimotori oleh para mama papalele tersebut. Mereka mendesak dimulainya dialog lintas agama mengingat sudah banyak orang yang takut keluar rumah, termasuk sekadar mendapatkan kebutuhan makanan.
“Walau mereka (mama papalele) bukan satu-satunya aktor, tapi peran mereka tak bisa dikesampingkan juga,” kata Ruth.
Ruth menekankan keterlibatan perempuan dalam negosiasi damai mencakup banyak aspek yang disuarakan, yakni tak cuma menyuarakan kondisi keluarga, tetapi juga nasib desanya. Banyak aspek yang dipikirkan oleh perempuan, tetapi Ruth mengkritik perempuan kadang tak diberi ruang, sehingga starategi yang diutarakan tidak pernah masuk dalam starategi pembangunan.
Konflik telah membuat upaya membangun kepercayaan antar kelompok sulit karena orang masih saling curiga. Buntutnya, selain kerusuhan Ambon 1999, di antara rentetan kerusuhan yang pernah terjadi adalah kerusuhan pada 2021 di Pulau Haruku dan pada 2023 kerusuhan di Pulau Kei, Maluku. Dalam kerusuhan itu, Ruth yang seorang pendeta perempuan dilibatkan untuk membantu trauma healing para korban.
Pada Januari 2025, terjadi pula konflik batas tanah di pulau seram, Maluku. Bukan hanya itu, pada tahun yang sama kerusuhan sempat terjadi di Tugu Trikora, Ambon, yang dipicu aksi balap liar anak-anak muda. Dalam kerusuhan itu, terjadi aksi pembakaran motor dan gereja dilempari. Untungnya situasi ini lekas dikendalikan polisi.
Minim perhatian
Direktur Eksekutif ASEAN-IPR I Gusti Agung Wesaka Puja mengakui peran perempuan dalam upaya perdamaian sering terabaikan dan kurang disorot, termasuk dalam pemulihan konflik.
“Perempuan itu akan mikirin soal keluarganya, lingkungannya, sebelum dia memikirkan dirinya sendiri. Sebegitunya mereka memikirkan lingkungannya, tapi sayang mereka (perempuan) enggak dipandang perannya. Perwakilan perempuan dalam negosiasi perdamaian sangat rendah,” kata Puja, 5 Agustus 2025, di Jakarta.
Puja meyakini perdamaian berkesinambungan mustahil dicapai tanpa partisipasi perempuan. Di wilayah Asia Tenggara, perempuan - mulai dari ketua komunitas, negosiator dan pihak yang membangun perdamaian - sudah lama berada di garda depan dalam upaya membangun perdamaian. Namun kisah-kisah perjuangan dan kontribusi mereka (perempuan) jarang terdengar.
Puja mengingatkan pula, Michelle Bachelet mantan Komisi Tinggi HAM PBB pernah menegaskan suara perempuan harus didengar karena perempuan bukan sekadar korban konflik tetapi juga agen perdamaian.
ASEAN sudah mencoba menyoroti kisah-kisah perempuan dan anak-anak muda yang kurang tersorot dan termarjinalkan. Di antaranya berkolaborasi dengan UN Women membangun komunitas ASEAN Women, Peace and Security.
Sementara itu, Arifah Rahmawati akademisi dari Center for Peace Study Universitas Gajah Mada, mengkritisi tim keamanan yang kadang tidak memberi ruang pada perempuan untuk menyampaikan kekhawatiran mereka dalam kerusuhan Ambon 1999.
Arifah menceritakan pernah ke Maluku, salah satu wilayah konflik di Indonesia selama masa transformasi pemerintahan dan dikenal sebagai wilayah konflik komunal, termasuk konflik terkait dengan agama. Dalam kunjungan itu, Arifah berdialog dengan perempuan-perempuan yang mengungsi di kamp-kamp pengungsian sementara yang terdampak konflik Ambon 1999.
“Saya bingung kenapa hanya perempuan yang ada di kamp. Hampir tak ada laki-laki di kamp ini,” ujarnya, 5 Agustus 2025, di Jakarta.
Dalam dialog itu, perempuan-perempuan korban konflik mengeluhkan soal lingkungan yang tak aman dan terpaksa harus menjadi kepala keluarga. Di tengah konflik yang berkecamuk, mereka juga harus tetap merawat orang tua yang sudah lansia dan anak-anak. Saat yang sama, mereka harus mencari pekerjaan untuk memberikan nafkah pada keluarga karena kehilangan suami. Arifah mengatakan cerita-cerita seperti ini hampir tak pernah didengarnya dari kalangan laki-laki.
Perempuan-perempuan di pengungsian saat kerusuhan Ambon 1999 berkecamuk, ingin mendapat perlakuan baik dari otoritas sesederhana diberikan senyuman karena senyum bisa menimbulkan rasa aman. Arifah lalu bertanya pada laki-laki di Ambon apa yang mereka inginkan dari militer dan para pembuat kebijakan untuk menciptakan keamanan? Mereka menjawab, pemerintah harus mempersenjatai polisi dengan peralatan yang memadai dan mengirim lebih banyak persenjataan agar mereka bisa mengamankan lingkungan (bukan minta diberi senyuman).
Gerakan Perempuan Maluku
Ruth mengatakan di Ambon sekarang sudah ada politikus dan akademisi perempuan yang berafiliasi ke LSM. Mereka juga membuat WhatsApp Group Gerakan Perempuan Maluku untuk saling cross-check informasi ketika meletup kerusuhan di berbagai wilayah di Maluku.
Contohnya, saat peristiwa kerusuhan di Tugu Trikora, Ambon, meletup pada awal 2025, informasi yang beredar segera diluruskan oleh Gerakan Perempuan Maluku supaya tidak tersebar hoaks dan oknum-oknum memanfaatkan situasi untuk memprovokasi.
“Ada orang live (siaran langsung) di lokasi tanpa informasi yang jelas, itu bisa menimbulkan salah penafsiran. Apalagi live di depan gereja atau masjid, itu bahaya terlebih tanpa memberikan penjelasan. Orang di luar TKP akan menerjemahkan dengan pandangan masing-masing, bisa-bisa kacau,” ujar Ruth.
Ruth meyakinkan masyarakat Maluku sudah punya kemampuan yang baik mencerna informasi, sehingga seharusnya tak mudah terprovokasi. Konflik Ambon 1999 telah menjadi pembelajaran yang luar biasa agar tidak terburu-buru reaktif merespon suatu kejadian.