Perempuan Hadapi Kerasnya Hidup di Pohon Batu, Seram
oleh: Yolis Atikah Putri
INDEPENDEN --Tersisa tiga ekor sapi yang diternak Wa Ani, jumlahnya jauh berkurang terhitung sejak ekskavator milik PT. Spice Island Maluku (SIM) mengeruk masuk lahan di Dusun Pohon Batu, Desa Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat.
Kemungkinan sapi itu menghilang pada September 2021. Namun Wa Ani baru sadar sepekan setelah perluasan lahan untuk budidaya Pisang Abaka berlangsung.
"Ada 39 ekor, tersisa tiga. Mungkin karena mendengar suara alat berat perusahaan saat menggusur lahan, sapi saja mendengar suara manusia kaget," ujar Wa Ina, Rabu (24/8/2024).

Bersama suami dan kedua anaknya, Wa Ani menelusuri belukar hingga menyeberangi sungai mencari sapinya yang hilang. Usaha itu dilakukan nyaris setiap hari dalam sepekan. Keluarga itu mencari hingga hingga melewati perbatasan lahan dusun Pelita Jaya, namun nihil.
Wa Ani bukan satu-satunya peternak yang kehilangan sapi, Setidaknya 20 perempuan di Dusun Pohon Batu mengalami hal serupa.
Pikiran Wa Ani semakin berat setelah anak perempuannya putus kuliah di tahun kedua karena tidak ada biaya.
"Sekarang anak saya minta uang semester, Rp 5.350.000 mau dapat darimana uang sebesar itu?" ucapnya sedih.
Wa Ani berencana sisa sapi yang dimilikinya untuk keperluan si Bungsu.
“Itu juga kalau tanah kita kembali, kalau tidak? Bagaimana masa depan anak kami?” ujar Wa Ani.
Perhitungannya, tiga ekor sapi itu investasi kedepan si putri bisa lanjut belajar dan si bungsu untuk biaya awal perkuliahan.
Sementara untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan harian, Wa Ani pun jualan ikan di Pasar Negeri (Desa) Kawa.

Hasilnya tidak seberapa lantaran jumlah tangkapan nelayan pun berkurangan sangat.
Lagi-lagi menurutnya itu imbas pembukaan lahan oleh perusahaan yang kini izinnya dicabut pemerintah daerah per-1 Juli 2024 lalu.
"Pembukaan lahan membuat air makin keruh, tangkapan jadi berkurang," tandas Wa Ani.
Dampak aktivitas PT. SIM juga dikesalkan Dasmin Samal. Kepala Dusun Pohon Batu itu dengan tegas menyatakan penolakan terhadap keberadaan perusahaan yang beroperasi pada pertengahan 2022 itu.
Hutan sagu Kasawarihunu adalah salah satu contoh terparah, puluhan pohon ditebang paksa hingga nyaris tak tersisa, itu pun belum termasuk kebun singkongnya yang dibabat habis.
Alhasil, dia bersama warga pun turun berhadapan dengan mesin-mesin berat dan aparat bersenjata hanya untuk mempertahankan sisa lahan.
Diketahui, satu orang warga Dusun Pohon batu tewas dihantam alat berat yang dikemudikan pegawai PT. SIM.
“Dulu disini anakan sagu sangat banyak, sampai kesulitan untuk masuk, tapi sekarang setelah perusahaan masuk, pohon-pohon sagu dan anakannya banyak ditebang, dan hanya disisakan beberapa saja sebagai tanaman pelindung untuk pisang,” kata Dasmin.

Tak hanya kehilangan hutan sagu, masyarakat Dusun Pohon Batu juga kehilangan mata air bersih.
Sementara itu, Head of Operational PT. SIM, Eko Anshari membantah dampak aktivitas perusahaan, termasuk tudingan penyerobotan lahan milik warga Dusun Pohon Batu dan Pelita Jaya.
Dia menjelaskan sektor perkebunan sudah menerapkan sistem yang ramah lingkungan dengan penggunaan pestisida dan pupuk yang tepat dosis, serta sudah mengantongi izin sejumlah izin, termasuk izin lokasi di Kabupaten Seram Bagian Barat seluas 2.484,04 Hektar yaitu Divisi Raja di Desa Hatusua, Divisi Tanduk di Desa Nuruwe dan Divisi Emas di Desa Kawa.
Dari luasan lahan itu, PT. SIM telah menggarap 709,61 Hektar dengan luas perkebunan yang telah ditanami pisang abaka seluas 172 Hektar.
Dalam perjalanannya, perusahaan ini juga telah mengantongi izin Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKP/UPL), termasuk izin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional dan izin kelayakan usaha pertanian.
Anshari mengatakan pihaknya sudah mengontrak tanah dari Desa Kawa serta mengganti rugi lahan dan tanaman kepada pemilik lahan, namun tidak semuanya.
“Tidak semua itu mereka bersedia ikut ganti rugi ini, inilah yang masih kendala sama kita,” katanya.
Dia membantah tudingan perusahaan mengambil alih lahan masyarakat secara paksa, karena menurutnya saat menggarap lahan perusahaan juga mengedepankan pendekatan persuasif.
“Kita nggak langsung menurunkan alat berat kita, tapi kita pendekatan persuasif kepada pemiliknya jadi. Kita selalu menanyakan ini tanah siapa, status kepemilikannya bagaimana, apakah dia sertifikat atau SKT atau yang lainnya atau surat garap atau yang lain,” bantahnya.
Dirinya juga menampik keluhan masyarakat Dusun Pohon Batu soal hilangnya ternak sapi serta kerusakan mangrove yang berujung gagal panen rumput laut dan berkurangnya hasil perikanan.
“Soal sapi hilang itu nggak ada, saya pikir itu, berita hoaks yang dibesar-besarkan karena kenyataan itu tidak ada,” cetusnya.
Sebaliknya, dikatakan bahwa sapi masuk ke areal perkebunan memakan daun pisang.
“Sapi itu memakan daun-daun dari pada tanaman apalagi tanaman itu baru kita tanam, baru tumbuh kira-kira tinggi apa 50, 60 senti sudah dimakan sehingga pertumbuhannya stagnan, nggak berkembang,” katanya.
Dia tegas membantah ketika ditanya soal kerusakan mangrove saat perusahaan menggusur lahan dan membangun tanggul penahan air laut.
“Merusak mangrove itu isu lama sudah dari 2023, gakkum dari kehutanan melihat langsung di lapangan tapi kenyataannya tidak terjadi kerusakan mangrove,” jelasnya, sambil menambahkan jumlah tangkapan ikan dan permasalahan lain di laut bukan menjadi tanggung jawab perusahaan.
Pernyataan itu bertolak belakang dengan tanggapan dari Manager Perkebunan PT. SIM, Bambang E. Prasetyo.
Saat diwawancarai Bambang mengaku dirinya diminta oleh Dinas Kehutanan untuk mereboisasi mangrove yang digusur.
”Kalau untuk mangrove itu Pak, kemarin itu yang dibilang waktu datangnya kehutanan mengecek di sana kemudian orang kehutanan juga meminta kita untuk coba kita tanam kembali. Kita sudah lakukan tanaman-tanaman di pinggir lubang, di pinggir yang kita bikinnya tanggul itu, kita ada tanam juga,” ungkap Bambang.
Menyoal dampak ekologi, akademisi Dr. Ir. Wardis Girsang, M.Si menduga kuat kerusakan terjadi seperti yang ditudingkan warga terhadap PT. SIM.
Wardis menjelaskan, ekologi Maluku adalah ekologi pulau kecil, dimana landscape dan seascape merupakan satu kesatuan dan saling terhubung. Dimana sistem tata kelola hutan merupakan bentuk agroforestri yang sudah sustainable selama beratus tahun, sehingga jika landscape hutan berubah maka akan berdampak terhadap sirkulasi air.
Berubahnya sirkulasi air kemudian akan berdampak kerusakan ekosistem di bawahnya, terlebih wilayah pesisir yang menjadi bagian konsentrasi ekonomi masyarakat.
"Mengubah sungai dan mengubah laut juga yang mana justru lebih banyak dampak negatif daripada positifnya. Meskipun mungkin ada penyerapan tenaga kerja, yang membantu ekonomi tapi saya kira itu hanya ada dalam jangka pendek saja” ujar Kaprodi Pasca Sarjana Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Pattimura itu.
==
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu/Ambon dan Deutsche Welle (DW) Akademie