Media Menjadi Rujukan dalam Memberantas Hoaks Seputar Covid 19

Independen --- Informasi palsu atau hoaks terkait vaksinasi Covid-19 masih banyak bermunculan. Keberadaan hoaks tersebut menjadi salah satu penyebab masyarakat enggan melakukan vaksin/imunisasi. Hoaks yang banyak beredar di masyarakat terkait Covid-19 di antaranya terkait Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).

KIPI merupakan gejala yang dapat terjadi ketika seseorang mengikuti imunisasi/vaksin yang diduga terkait vaksinasi/imunisasi yang diberikan. Kejadian ini tidak dialami semua orang yang mengikuti vaksinasi Covid-19 dan memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan ketika seseorang terinfeksi Covid-19 (Sumber: UNICEF).

Baru-baru ini, UNICEF bersama lembaga survei Nielsen melakukan sebuah survei publik di 6 kota besar di Indonesia terkait KIPI dan Hoaks, survei ini dilakukan dengan mengukur pengetahuan, sikap, dan norma sosial terkait vaksinasi dengan metode wawancara tatap muka pada 2.198 responden. Dalam survei ini, UNICEF menemukan bahwa 92 persen masyarakat sudah memiliki keinginan untuk divaksinasi. Peningkatan sikap ini dikarenakan adanya lonjakan kasus, melihat/mengikuti orang lain, edukasi/kesadaran/pemahaman, persyaratan/ketentuan, dan hadiah.

Hanya saja, peningkatan keinginan vaksinasi pada masyarakat tak serta merta menjadikan mereka memperbolehkan anaknya divaksin. Dalam survei tersebut, 31 persen orangtua yang memiliki keinginan divaksinasi merasa ragu atau tidak mau anaknya divaksinasi. 76 persen orangtua yang ragu tersebut mengatakan bahwa mereka khawatir atau takut akan adanya efek samping vaksin.

Plt. Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan, Prima Yosephine mengatakan bahwa hoaks terkait imunisasi tersebut menjadikan masyarakat menganggap bahwa vaksinasi tidak aman. Hoaks tersebut, kata Prima, didapatkan dari media sosial dan orang-orang di sekitar mereka.

“Hoaks terkait vaksinasi tidak hanya pada vaksinasi Covid-19, tetapi juga pada vaksin campak rubella. Padahal ketika seorang anak tidak mendapatkan imunisasi dasar akan mengakibatkan anak-anak lain yang berada di sekitar dia itu menjadi kelompok individu berisiko karena herd immunity tidak tercapai. Hal ini bisa menjadikan adanya kejadian luar biasa (KLB),” tutur Prima dalam Editor Meeting yang diselenggarakan oleh AJI dan UNICEF, Selasa (12/04/2022).

Donny B.U, Koordinator Sekretariat Komunikasi Publik Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), menjelaskan bahwa penyebaran hoaks di Indonesia terbanyak berasal dari media sosial. Di Indonesia, persebaran hoaks dari sosial media banyak terjadi di wilayah Indonesia bagian barat karena memiliki pengguna yang lebih banyak.

Selain model penyebaran melalui media sosial, hoaks terkait Covid-19 di Indonesia juga menyebar dari mulut ke mulut. Di daerah yang belum terpapar akses internet misalnya, masyarakat pun tak luput dari sasaran penyebar hoaks yang dibawa oleh pihak di luar komunitas.

“Hoaks itu hanya butuh waktu 24 jam untuk menyebar, tetapi memerlukan klarifikasi selama 20 hari. Untuk daerah yang belum terpapar akses internet, kita membuat klarifikasi on site,” ujar Donny.

Edukasi, pendampingan komunitas, dan penegakkan hukum menjadi strategi dari untuk menangkal penyebaran hoaks terkait Covid-19. Harry Sufehmi dari MAFINDO menyampaikan bahwa media juga seringkali terjebak dalam pembentukan hoaks di masyarakat terkait vaksinasi karena menggunakan testimonial based untuk menggeneralisasi sebuah kejadian pasca vaksin. Padahal berdasarkan survei UNICEF, 67 persen responden mengatakan bahwa mereka masih membutuhkan informasi terkait vaksinasi.

Para editor media mengatakan bahwa mereka pun memiliki kendala atas akses informasi terkait vaksinasi. Bagi media daring misalnya, mereka seringkali dikejar dengan kecepatan, hanya saja ketika terjadi sebuah kasus yang diduga akibat vaksinasi, jurnalis kerap kali mengalami kesulitan untuk mengakses narasumber yang kredibel untuk mengklarifikasi KIPI secara komprehensif. Bagi media, kecepatan konfirmasi dari narasumber kredibel diperlukan karena biasanya kasus tersebut akan cepat menyebar di media sosial.

Selain itu, dalam pemberitaan terkait Covid-19, media seringkali mengalami kesulitan dalam menerjemahkan penelitian terbaru menjadi bahasa yang lebih dipahami oleh publik.

kali dilihat