(Memperingati Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2025)
Ati Nurbaiti*
“Ging... kita salah, Ging...” Begitu gumam saya dalam hati, meski sahabat saya, Ging Ginanjar, telah berpulang pada 20 Januari 2019. Di awal Februari 2025 lalu, saya baru saja membaca berita tentang keikutsertaan remaja putri dalam turnamen MilkLife Soccer Challenge All Stars 2025 di Kudus, Jawa Tengah.

Gumaman ini selalu muncul setiap kali saya membaca berita tentang sepak bola perempuan, baik di dalam maupun luar negeri.
Pasalnya, di akhir 2017, saya dan Ging ditunjuk sebagai fasilitator dan mentor dalam program AJI Indonesia dan Indonesian Business Coalition for Women Empowerment. Program di bawah divisi Gender ini merupakan kursus tentang kesetaraan gender di dunia kerja. Para peserta—termasuk mantan Ketua Umum AJI, Sasmito—mengajukan usulan liputan. Seingat saya, hanya ada satu usulan yang awalnya kami tolak, yakni liputan tentang perempuan yang ingin menjadi atlet sepak bola.
“Waduh... Carilah topik yang lebih luas peminatnya dan berpotensi memberikan dampak lebih besar,” begitu ringkasnya komentar para mentor yang sok tahu. Namun, sang wartawan muda berkacamata itu bersikeras. Kami pun menghargai keputusannya, memberikan masukan, serta mengedit semampu kami.
Akhirnya, liputan Suci Sekarwati dari Koran Jakarta berhasil dimuat dalam kumpulan tulisan peserta. Tulisan berjudul Masih Banyak yang Ingin Harumkan Nama Bangsa! turut dimasukkan dalam buku Jejak Kesetaraan di Dunia Kerja (bisa dibaca di sini).
Liputan Suci, seperti tulisan peserta lainnya, begitu berkesan. Ia menyoroti upaya perempuan meniti karier di berbagai cabang olahraga, termasuk sepak bola, serta tantangan yang mereka hadapi. Ia juga mewawancarai Ratu Tisha Destria, perempuan pertama yang menjabat sebagai Sekjen PSSI (2017–2020), yang kini menjadi Wakil Ketua Umum PSSI.
Waktu itu, dunia sudah sedikit lebih terbuka terhadap keterlibatan perempuan dalam olahraga yang dianggap ‘maskulin’, termasuk sepak bola. Suci pun mengulas berbagai perkembangan, seperti izin yang diberikan pemerintah Arab Saudi bagi perempuan untuk menonton pertandingan olahraga secara langsung di stadion pada awal 2018.
Betapa picik bin primitif dunia patriarki. Nonton saja kok dilarang?
Suci juga mencatat kebijakan International Volleyball Federation pada 2012 yang memperbolehkan variasi pakaian atlet perempuan. Tanpa aturan ini, mungkin cabang voli Korea Selatan tidak akan bersinar seperti sekarang, dengan kehadiran Megatron asal Jember—Megawati Hangestri—yang berhijab.

Betapa membanggakan Ibu Pertiwi! Si jangkung ini baru saja dinobatkan sebagai Pemain Voli Putri Terbaik Dunia versi Volleybox, serta menempati peringkat teratas dalam polling wartawan Korea Selatan, V-League, sebagai pemain terbaik putaran keempat musim 2024–2025.
Pada Kongres AJI di Palembang tahun lalu, beberapa peserta kongres bahkan sempat berpapasan dengan Megawati di hotel yang juga ditempati timnya.
Sejak tulisan Suci itu, saya semakin tertarik membaca liputan tentang atlet perempuan, khususnya di cabang sepak bola. Setiap berita mengingatkan betapa sempitnya wawasan dan pengetahuan kami sebagai mentor kala itu!
Beberapa kali saya mengirim pesan ke Suci dengan tautan berita terkait, sambil mengakui bahwa ia benar—aspirasi perempuan menjadi atlet sepak bola adalah topik penting, baik secara global maupun lokal!
Pada 2011, ketika sedang studi, saya ikut merasakan kebahagiaan saat seorang dosen dari Jepang menyela kelasnya sendiri dengan pengumuman penting: “Jepang menang Women’s World Cup!” Namun, saat membimbing peserta kursus AJI, saya masih ragu apakah liputan tentang sepak bola perempuan memiliki dampak yang signifikan di Indonesia.
Ternyata, keterlibatan perempuan dalam sepak bola berkembang dengan amat perlahan. Kisah-kisah dari berbagai belahan dunia menjadi sumber harapan akan masa depan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, pembaca juga dibuat waswas akan nasib tim sepak bola perempuan Afghanistan yang mungkin telah mati suri sejak Taliban kembali menguasai Kabul pada 2021.
Inggris sendiri termasuk lamban dalam memberi perhatian pada sepak bola perempuan dibanding Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Sampai akhirnya Lionesses memenangkan UEFA Women’s Euro pada Juli 2022. Sebelumnya, sepak bola perempuan kerap dicibir di Inggris dan dianggap tidak akan cukup menguntungkan secara finansial. Namun, siapa sangka? Lebih dari 87.000 penonton memenuhi Stadion Wembley! Sejak itu, ekstrakurikuler sepak bola mulai ditawarkan untuk anak perempuan di sekolah dasar, dan klub-klub sepak bola perempuan pun bermunculan. Lionesses terus menjadi sumber inspirasi, meski masih ada yang menganggap perempuan tak pantas bermain bola.
Saya sendiri terkejut saat melihat dua anak perempuan lincah bermain sepak bola di tengah anak laki-laki di dekat rumah... Rupanya, stereotip olahraga ‘maskulin’ masih menempel di kepala saya!
Ketika di Aceh, saya juga bahagia melihat pemandangan langka bagi saya—anak-anak perempuan dengan lincahnya jungkir balik dan berputar-putar seperti roda gerobak (cartwheels) di halaman sekolah.
Terbukti, jika kesempatan dibuka, anak-anak dapat mengejar hobi dan cita-cita apa saja, tanpa dibebani stigma dan mitos yang diwariskan oleh orang tua dan penguasa. Saya tetap bukan penggemar sepak bola, tetapi perjuangan para atlet di cabang olahraga ‘maskulin’, serta wasit perempuan dan mereka yang gagal meraih mimpi, sungguh luar biasa. Menjadi atlet saja sudah sulit, apalagi jika harus menghadapi berbagai tantangan hanya karena pandangan picik.
Maka, berita tentang olahraga ‘maskulin’ selalu mengharubiru—membahagiakan, sekaligus bisa membuat kesal. Perjuangan para atlet seringkali terhambat oleh hal ‘remeh’ seperti anggapan tentang apa yang pantas bagi perempuan. Namun, sebenarnya ini bukan perkara remeh—berbagai mitos sengaja dikembangkan untuk menekan ekspresi perempuan. Padahal, jika perempuan tidak diberi kesempatan untuk maju, yang rugi adalah masyarakat sendiri.
Terima kasih, Suci. Si mantan mentor ini akhirnya sedikit lebih terbuka...
Dan untuk mengobati rasa rindu pada Ging, saya membaca tulisan kawan Heyder Affan, rekan sekantornya, yang bisa diakses di sini.
Salam sayang untuk Ging, yang selalu mendorong wartawan muda agar lebih baik dari kami, yang kepalanya masih dipengaruhi warisan Orde Baru!
==
Penulis adalah jurnalis senior dan juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI)