Dampak Berlapis dan Peran Perempuan Asia Tenggara dalam Perubahan Iklim

Diterjemahkan oleh:  Ais Fahira 

INDEPENDEN-  Perubahan iklim bukan hanya tentang naiknya suhu bumi, mencairnya es, atau meningkatnya permukaan laut. Di balik semua itu, ada kehidupan manusia yang terguncang, terutama perempuan di Asia Tenggara. Mereka hidup di garis depan bencana mulai dari banjir, kekeringan, badai, dan gagal panen. Namun, di saat yang sama, perempuan juga memegang peran kunci untuk bertahan dan menyesuaikan diri.

Di kawasan Asia Tenggara pemerintah telah membangun infrastruktur, memasang sistem peringatan dini, mencoba pertanian berkelanjutan, menjaga sumber air, dan mencari cara agar komunitas bisa lebih kuat menghadapi bencana. Tujuannya agar tetap hidup, melindungi yang paling rentan, dan menjaga ekonomi agar tak runtuh.

Namun laporan The Lancet Countdown on Health and Climate Change 2024 menunjukkan bahwa metode kita masih gagal menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai target. Akibatnya, pemanasan global semakin parah, dan kita tak bisa lagi berharap pada pencegahan. Adaptasi cara kita bertahan menghadapi dampaknya.

Masalahnya, dana adaptasi itu masih jauh dari cukup, apalagi di negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara. Ada dana internasional yang namanya loss and damage fund (dana kerugian dan kerusakan) yang digagas PBB pada konferensi iklim tahun 2023, tapi masih sering terlambat atau jumlahnya kecil.

Perempuan Alami Dampak Berlapis 

Lambannya pemerintah dan pelaku usaha, membuat masyarakat terutama perempuan mengalami dampak berlapis. Oleh karena itu adaptasi perlu mempertimbangkan peran sosial dan identitas mereka, termasuk faktor usia, status ekonomi, status perkawinan, lokasi tinggal (desa atau kota), etnis, dan agama. Semua faktor ini memengaruhi tingkat kerentanan dengan cara yang berbeda-beda.

Karena dampak berlapis perubahan iklim juga dipengaruhi norma gender tradisional. Norma patriarki membuat perempuan sulit mengakses sumber daya dan ikut serta dalam pengambilan keputusan. Padahal, sektor pertanian di Asia Tenggara sangat bergantung pada perempuan. Di beberapa negara, hingga 64% tenaga kerja pertanian adalah perempuan. Karena itu, peran mereka harus diakui dalam strategi adaptasi iklim.

Peran Penting Perempuan dalam Perubahan Iklim

Tren terbaru dalam rencana adaptasi nasional menunjukkan peningkatan perhatian pada isu gender. Banyak negara sudah memasukkan kebutuhan perempuan sebagai pertimbangan utama, termasuk kesehatan dan perlindungan khusus. 

Hampir semua negara berkembang dengan rencana adaptasi terbaru kini mencantumkan isu gender, dan sekitar 30% membahas secara eksplisit tentang responsivitas gender—angka ini meningkat tajam dibandingkan 2018.

Beberapa negara juga sudah mulai menempatkan perempuan sebagai pemimpin dalam adaptasi iklim. Fiji, misalnya, mengakui perempuan dan gadis sebagai agen perubahan yang penting dalam ketahanan sistem pangan dan perikanan, serta membuka ruang bagi mereka untuk terlibat aktif dalam program adaptasi. 

Tenaga kesehatan komunitas di Indonesia, yang fokus pada kesehatan ibu dan anak. Mereka berinisiatif menggunakan pengetahuan lokal untuk mengorganisir evakuasi perempuan hamil, ibu baru, dan anak-anak ke tempat perlindungan yang aman.

Vietnam melatih perempuan di pedesaan dalam pertanian berkelanjutan dan keamanan energi, sebagai respon terhadap ancaman cuaca ekstrem yang makin sering terjadi.

Celah yang Masih Ada

Meski begitu, masih ada kekurangan. Banyak rencana adaptasi belum konkret menyasar kesehatan perempuan, misalnya di bidang kesehatan seksual dan reproduksi, dukungan kesehatan mental, serta pencegahan penyakit menular di tengah tekanan iklim. 

Selain itu, peran perempuan dalam pekerjaan domestik seperti merawat anak, orang tua lansia, serta menjaga ketahanan pangan keluarga—sering tidak diakui dalam kebijakan resmi.

Penelitian tentang perempuan dan adaptasi perubahan iklim di Asia Tenggara masih terbatas. Di Jawa Barat, Indonesia, sebuah studi menyoroti kondisi sosial-ekonomi perempuan, seperti akses terhadap sumber daya, pekerjaan, dan tingkat literasi. Hasil awal menunjukkan bahwa di perkotaan, kebijakan gender mainstreaming lebih mudah dijalankan dibanding pedesaan, karena tingkat pendidikan dan kesadaran para pengambil kebijakan lebih tinggi.

Sementara itu, di Malaysia, riset di bidang ini hampir belum dilakukan. Namun ada upaya awal melalui proyek yang didanai WHO dan dipimpin oleh Monash Malaysia. Proyek ini berfokus pada pemberdayaan perempuan lewat pendidikan dan pelatihan terkait iklim dan kesehatan. Tim risetnya akan mengadakan lokakarya bersama perempuan di Malaysia dan Indonesia, untuk mengetahui apa yang dianggap penting oleh mereka dalam isu kesehatan dan iklim—yang bisa jadi berbeda dari perspektif para ahli. 

Semua temuan ini menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim tidak bisa dilepaskan dari perspektif gender. Memberdayakan perempuan, khususnya di daerah yang masih terikat cara hidup tradisional, adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh menghadapi iklim.(**)

Artikel ini pertama kali terbit di 360info dengan judul “Women are central to climate change adaptation in Southeast Asia”. Ditulis oleh: Raksha Pandya-Wood, Monash University Malaysia, Gabriela Fernando, Monash University dan Azliyana Azhari, Monash University Malaysia

 

kali dilihat