Oleh: Ais Fahira
INDEPENDEN- Bayangkan suatu pagi ketika hujan deras turun berhari-hari tanpa henti. Sungai meluap, rumah-rumah terendam, sekolah ditutup, dan ribuan orang harus mengungsi. Di tempat lain, orang-orang harus berjalan jauh hanya untuk mencari air bersih karena sumur mereka mengering. Sementara itu, suhu udara semakin panas, membuat banyak orang sakit dan tidak nyaman beraktivitas. Semua ini bukan hanya bencana alam, tetapi adalah tanda bahwa bumi sedang menghadapi krisis iklim.
Krisis iklim terjadi ketika suhu bumi meningkat karena aktivitas manusia. Aktivitas utama yang jadi penyumbang terbesar adalah pembakaran bahan bakar fosil seperti bensin, batu bara, dan gas alam untuk—listrik, transportasi, dan industri. Energi fosil ini melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar ke atmosfer.
Selain itu, deforestasi atau penebangan hutan juga memperburuk keadaan. Padahal hutan berfungsi seperti paru-paru bumi yang menyerap karbon dioksida. Ketika hutan ditebang atau dibakar, bukan hanya kemampuan bumi menyerap emisi berkurang, tetapi pohon yang terbakar juga ikut melepaskan karbon yang tersimpan selama ratusan tahun. Selain itu perubahan tata guna lahan, misalnya hutan dialihfungsikan menjadi perkebunan atau kawasan industri. Lahan yang tadinya bisa menyerap karbon justru berubah jadi sumber emisi baru.
Akibatnya, bumi seperti tertutup selimut yang terlalu tebal semakin panas dan tidak nyaman. Ketika udara makin panas, air laut dan danau lebih cepat menguap. Uap air yang terkumpul di atmosfer lalu turun menjadi hujan super deras, menyebabkan banjir. Tapi di tempat lain, hujan justru jarang turun, tanah retak, sawah kering, dan terjadilah kekeringan.
Di kutub, es mencair lebih cepat, membuat permukaan laut naik dan pelan-pelan menelan kota-kota pesisir. Laut yang makin panas juga menjadi pemicu terjadinya badai, membuat angin topan lebih kuat dan lebih sering muncul.
Namun, krisis iklim bukan hanya soal lingkungan yang rusak atau cuaca yang makin ekstrem. Karena balik semua itu, ada jutaan orang yang kehilangan rumah, kesulitan mendapatkan makanan, terancam kesehatannya, bahkan nyawanya. Artinya, krisis iklim juga berdampak terhadap hak asasi manusia.
Mengapa Krisis Iklim adalah Isu HAM?
Menurut Amnesty International, krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, melainkan juga ancaman langsung terhadap hak-hak asasi manusia dan pada akhirnya kelangsungan hidup kita yang meliputi:
Hak untuk Hidup
Setiap orang berhak hidup dalam kebebasan dan keamanan. Namun, krisis iklim membuat hak ini semakin rapuh. Krisis iklim menimbulkan cuaca ekstrem seperti badai, banjir, dan kebakaran hutan yang bisa merenggut ribuan nyawa setiap tahunnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan tambahan 250.000 kematian per tahun di rentang waktu antara 2030 hingga 2050.
Hak atas Kesehatan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mencatat dampak serius krisis iklim terhadap kesehatan, seperti meningkatnya risiko cedera, penyakit, dan kematian akibat gelombang panas serta kebakaran; kekurangan gizi karena produksi pangan yang menurun; dan meningkatnya penyebaran penyakit menular. Anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana juga rentan mengalami gangguan stres pasca-trauma. Selain itu, polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil terbukti berkontribusi terhadap lebih dari 1,2 juta kematian pada tahun 2020.
Hak atas Atas Tempat Tinggal yang Layak
Setiap orang berhak atas tempat tinggal yang layak. Tetapi krisis iklim membuat hak ini terancam. Banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan menghancurkan rumah-rumah, sementara kenaikan permukaan laut mengancam jutaan orang yang tinggal di daerah pesisir.
Hak atas Air dan Sanitasi
Air bersih dan sanitasi adalah hak dasar manusia. Namun, perubahan iklim memperburuk krisis air global. Es mencair, curah hujan berkurang, suhu meningkat, dan permukaan laut naik—semua ini menggerus kualitas serta kuantitas sumber daya air. Amnesty mencatat, saat ini sudah ada 785 juta orang yang tidak memiliki akses aman ke air dan sanitasi, dan angka itu akan terus bertambah jika krisis iklim dibiarkan tanpa solusi.
Oleh karena itu, krisis iklim jelas bukan sekadar urusan lingkungan, tapi juga soal keadilan. Karena mengancam hak-hak dasar manusia. Namun, dampaknya tidak dirasakan sama rata. Ada orang-orang yang bisa lebih mudah bertahan karena punya akses pada uang, teknologi, atau perlindungan, sementara kelompok lain justru paling menderita.
Mereka yang hidup di garis kemiskinan, komunitas adat yang bergantung pada alam, perempuan, anak-anak, dan kelompok yang sering mengalami diskriminasi, adalah yang paling rentan menghadapi dampak krisis iklim. Ironisnya, mereka inilah yang paling sedikit berkontribusi terhadap penyebab krisis iklim.
Dari sinilah lahir gagasan tentang keadilan iklim (climate justice), yaitu gerakan yang menempatkan manusia di pusat kebijakan. Keadilan iklim menuntut agar solusi iklim tidak hanya fokus pada pengurangan emisi, tapi juga memperhatikan siapa yang paling terdampak, melindungi kelompok rentan, dan memastikan masa depan yang lebih adil lintas generasi, gender, kelas, maupun etnis.