Mengapa Sampah Plastik adalah Isu Kemanusiaan?

Oleh: Ais Fahira

INDEPENDEN- Plastik adalah bahan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kita menenteng kantong kresek dari warung, membuka bungkus makanan instan, menyimpan baju dalam lemari berbahan plastik, bahkan minum air dari gelas plastik sekali pakai. Rasanya, hampir semua aktivitas manusia modern melibatkan plastik.

Namun, di balik kemudahan itu, ada masalah besar yang jarang kita pikirkan. Plastik adalah bahan yang sangat sulit terurai. Dibutuhkan ratusan hingga ribuan tahun agar sampah plastik benar-benar hancur. Itu pun tidak berarti hilang sepenuhnya, melainkan hanya pecah menjadi potongan kecil yang disebut mikroplastik partikel berukuran kurang dari 5 milimeter—dan bahkan nanoplastik yang ukurannya jauh lebih kecil lagi.

Proses penghancuran ini terjadi karena paparan sinar matahari, gesekan, atau reaksi kimia alami. Tapi hasil akhirnya bukan kembali menjadi bahan yang ramah alam, melainkan butiran kecil plastik yang tetap ada di tanah, air, udara, dan akhirnya tubuh manusia.

Plastik yang Masuk Ke Tubuh Kita

Salah satu penelitian memperkirakan bahwa rata-rata manusia di dunia bisa menelan 0,1–5 gram mikroplastik setiap minggu. Jumlah itu setara dengan ukuran kartu kredit yang kita telan secara tidak sadar setiap tujuh hari. Jalurnya pun beragam seperti makanan, minuman, udara yang kita hirup, bahkan kontak melalui kulit.

Begitu masuk, partikel ini tidak berhenti di perut saja. Mikroplastik dapat berpindah ke sistem pernapasan hingga peredaran darah. Inilah yang membuatnya berbahaya, karena tubuh manusia tidak dirancang untuk mengolah partikel plastik.

Banyak peneliti bahkan menyebut mikroplastik sebagai “cocktail of contaminants”. Alasannya, partikel ini bisa membawa zat tambahan kimia, logam berat, pestisida, sisa obat-obatan, hingga polutan lain. Kombinasi tersebut membuat mikroplastik dikaitkan dengan berbagai penyakit serius: gangguan hormon, obesitas, diabetes, masalah jantung, gangguan reproduksi, bahkan kanker.

Dari Makanan, Minuman, hingga Udara Rumah

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa mikroplastik masuk lewat makanan sehari-hari seperti air minum, kerang, ikan, garam, bir, madu, dan gula. Secara global, manusia diperkirakan menelan antara 11.845 hingga 193.200 partikel mikroplastik per tahun. Jika ditimbang, jumlahnya berkisar antara 7,7 gram hingga 287 gram per orang setiap tahun.

Penyumbang kandungan mikroplastik terbanyak datang dari air minum, baik yang berasal dari air kemasan maupun air keran. Yang mengejutkan, air mentah pun ternyata memiliki jumlah mikroplastik yang setara dengan air kemasan. Bedanya, pada air kemasan, risiko bisa lebih tinggi karena plastik berasal dari proses pengemasan itu sendiri.

Tidak hanya lewat makanan dan minuman, udara rumah tangga juga menyimpan ancaman. Studi lain menunjukkan paru-paru manusia bisa menghirup tambahan 26–130 partikel mikroplastik per hari hanya dari debu rumah atau aerosol dalam ruangan. Artinya, saat kita menyapu rumah atau sekadar bernafas di kamar, partikel plastik sudah ikut masuk ke dalam tubuh.

Sulit Dideteksi, Tapi Nyata

Meskipun demikian, mendeteksi jumlah mikroplastik yang masuk ke tubuh bukan hal mudah. Teknologi seperti Raman spectroscopy atau FTIR memang bisa digunakan, tapi kadang justru merusak partikel yang diteliti. Selain itu, ukuran partikel terbukti lebih berpengaruh pada seberapa mudah tubuh menyerapnya.

Meski penelitian masih terbatas, bukti yang ada sudah cukup mengkhawatirkan. Mikroplastik telah ditemukan dalam darah manusia, plasenta ibu hamil, hingga air susu ibu. Itu artinya, sejak dalam kandungan pun manusia bisa terpapar plastik.

Siapa yang Paling Rentan?

Tidak semua orang terpapar mikroplastik dengan jumlah sama. Ada kelompok yang lebih berisiko:

  • Mereka yang banyak mengonsumsi makanan laut, air kemasan, atau makanan berkalori tinggi.
  • Individu yang sering mengonsumsi makanan dan minuman dalam kemasan plastik sekali pakai.
  • Anak-anak, karena sistem tubuh mereka masih berkembang dan lebih rentan terhadap zat beracun.

Sebaliknya, orang yang tinggal di wilayah dengan pengelolaan sampah yang baik, sumber air bersih, dan aturan ketat di bidang pangan cenderung lebih terlindungi. Tapi, di negara berkembang di mana sampah menumpuk, pengelolaan limbah lemah, dan konsumsi plastik sekali pakai tinggi, risikonya jauh lebih besar.

Dari Isu Lingkungan ke Isu Kemanusiaan

Ketika berbicara tentang sampah plastik, orang sering menganggapnya sebagai isu lingkungan semata. Padahal, dampaknya jelas menembus ranah kemanusiaan. Karena plastik mencemari pangan kita. Hak setiap orang atas makanan sehat dan bergizi terancam jika sumber makanan sudah penuh mikroplastik.

Selain itu plastik mencemari air. Air bersih adalah hak dasar manusia, tapi kini bahkan air minum justru menjadi saluran utama masuknya mikroplastik. Dan plastik juga mengancam kesehatan generasi mendatang. Bayi bisa terpapar mikroplastik sejak dalam kandungan, anak-anak bisa mengonsumsi lewat makanan sehari-hari, dan risiko penyakit serius bisa menumpuk seiring waktu.

Dengan kata lain, sampah plastik bukan sebatas masalah polusi.Tetapi juga ancaman terhadap hak dasar manusia yaitu hak atas hidup sehat, lingkungan aman, dan masa depan yang layak.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Kita sering mendengar slogan “Reduce, Reuse, Recycle”. Tiga langkah ini tetap penting, tetapi jelas tidak lagi cukup menghadapi skala krisis plastik saat ini. 

Diperlukan upaya yang lebih serius seperti mengurangi produksi plastik sekali pakai di tingkat industri, memperbaiki sistem pengelolaan sampah agar plastik tidak menumpuk di sungai atau laut, mendorong riset tentang dampak jangka panjang mikroplastik terhadap tubuh manusia, serta meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa memilih alternatif selain plastik bukan hanya sebatas gaya hidup tetapi  juga langkah nyata melindungi kesehatan kita bersama.

Artikel ini pertama kali terbit di 360info dengan judul “How Much Plastic We Ingesting?”
Ditulis oleh: Thava Palanisami, University of Newcastle, Australia

kali dilihat