Oleh Triyo Handoko
INDEPENDEN --Kebingungan menggelayuti wajah Rani, bukan nama sebenarnya, seorang pekerja seks di Bong Suwung, Yogyakarta. Ia ingin menggunakan hak pilihnya, tapi tak tahu harus mencoblos di mana.
Rani sudah jadi pekerja seks di Bong Suwung sejak 20 tahun yang lalu. Perempuan yang lahir di Magelang ini terdaftar sebagai warga Wonogiri, Jawa Tengah, setelah menikah dengan suaminya belasan tahun yang lalu.
Menjelang 12 hari sebelum hari pencoblosan, Jumat (2/2) kemarin, Rani sudah mengecek lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang disediakan KPU untuknya. "Saya cek dengan NIK itu lokasinya ternyata di Wonogiri, duh saya langsung bingung karena jauh dan perlu ongkos ke sana," keluhnya.
Karena bingung dan tidak punya biaya, Rani terpikir untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
"Kalau harus ke Wonogiri terlalu jauh, ekonomi lagi sulit juga sekarang, jadi enggak nyoblos dulu aja deh, coba nanti bisa balik kalau ada rezeki ya pasti akan nyoblos," ungkapnya pada Independen.id.
Sejak 20 tahun yang lalu ketika memulai jadi pekerja seks, Rani sudah menetap secara indekos di Badran, Kelurahan Bumijo.
"Saya tinggal disana sudah dari lama sekali, dari awal sampai sekarang. Ikut arisan warga juga, tapi tidak dapat sosialisasi soal Pemilu itu," jelas Rani.
Meski diterima warga sekitarnya, Rani kadang merasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan karena profesinya sebagai pekerja seks. "Yang enggak suka begitu ada, sesama tetangga kos banyak yang enggak suka juga, tapi sebisa mungkin berbaur juga, lumayan juga sekarang sudah banyak yang bisa menerima jadi bisa ikut arisan juga," ungkapnya.
Usaha bersosilisasi Rani sementara ini hanya membuahkan pengakuan sosial saja, namun pengakuan administratif dan ekonomi belum diterimanya. Ketika semua orang dapat bantuan Covid-19 dari pemerintah itu, Rani malah tidak dapat apa-apa.
“Tidak tahu kenapa, padahal jelas membutuhkan [bantuan]. Pernah diminta pindah KTP disini tapi saya enggak mau," tuturnya.
Rani punya alasan kuat kenapa dia enggan pindah KTP. Sedari awal Rani sudah bertekad tidak ingin menjadi pekerja seks selamanya.
"Enggak mungkin saya disini terus, saya juga pengin jadi warga biasa yang bisa nyoblos saat Pemilu kalau disini kan susah," ucap Rani sambil tertawa.
Pemilu terakhir yang diikuti Rani adalah Pemilu 2004 lalu saat tinggal di Magelang. Setelah itu dia tidak pernah lagi mencoblos.
Pekerja seks di Bong Suwung biasanya punya dua tempat tinggal, yaity di selatan rel kereta api yang masuk Jlagran, Kelurahan Pringgokusuman dan di utara rel seperti yang ditinggal Rani.
Secara administratif, Bong Suwung lebih dekat dengan Kelurahan Pringgokusuman lantaran satu-satunya jalan menuju lokalisasi ini lewat sana.
Paguyuban yang menaungi para pekerja seks di Bong Suwung, Arum Dalu Sehat (ADS) ternyata pernah mendapat sosialisasi Pemilu dari panitia pemungutan kecamatan (PPK) Gedongtengen.
"Pernah ada sosialisasi dari kecamatan dan pengurus wilayah Pringgokusuman, ada tawaran untuk bisa mengakses pindah memilih juga," kata Bendahara ADS, Tini pada Independen.id Selasa (23/1) lalu.
Sosialisasi Pemilu Pertama Sejak Puluhan Tahun
Seingat Tini yang sudah berdagang makanan di Bong Suwung 30 tahun yang lalu, baru kali itu ada sosialisasi Pemilu di lokalisasi.
"Baru kemarin ini ada sosialisasi sebelum-sebelumnya tidak ada," katanya.
Sekitar 70 orang dari Bong Suwung pada Senin sore (31/7) silam meriung di Balai Pertemuan. Suasana tampak ramai, dari pekerja seks, pemilik warung, hingga berbagai orang yang saban hari beraktivitas di lokalisasi itu tampak khusus mendengarkan penjelasan PPK Gedongtengen.
Semua orang tampak antusias mendengarkan penjelasan tahapan Pemilu 2024 hingga proses pindah memilih. "Semuanya memperhatikan dengan serius, tapi memang tidak semua pekerja seks ikut hadir," kata Tini.
Misalnya Rani.
"Tapi setelah pertemuan, ADS membuka pendataan pindah memilih, yang tidak ikut pertemuan juga kami infokan hasil-hasil pertemuan itu," Tini menjelaskan.
Tini menganggap dilibatkannya penghuni Bong Suwung, terutama pekerja seksnya dalam Pemilu, adalah langkah progresif pengakuan kelompok marjinal di lokalisasi itu selain kerja keras ADS sendiri juga.
Banyak usaha yang dilakukan ADS agar Bong Suwung dilihat dan diakui dan itu sudah sejak belasan tahun lalu. ADS dianggap berhasil memastikan kesehatan reproduksi para pekerja seks di tempat itu dilindungi dan terlayani.
Selain itu, Bong Suwung rutin memberikan bantuan dana pengembangan di Jlagran.
"Kalau ada proposal masuk sini pasti kami berikan, entah untuk pembangunan apa, atau kegiatan apa, seperti setiap 17 Agustus itu kami nyumbang biaya juga. Sehingga memang mestinya kami juga diperhatikan, dilihat, dan diakui keberadaanya," kata Tini.
Salah satu petugas PPK Gedongtengen, Daryati mengklaim rutin mengada sosialisasi tiap Pemilu di Bong Suwung.
"Tidak hanya Bong Suwung, di daerah kami juga ada Pasar Kembang yang juga kami sosialisasikan," kata Daryati, Senin (5/2).
Rumah Daryati yang hanya dua lemparan batu dari Bong Suwung ini menyebut dia melakukan sosialisasi Pemilu sejak Pemilu 2014 silam.
"Saya jadi PPK Gedongtengen sejak 2014, sejak itu saya pastikan untuk melayani hak pilih warga di sana," klaimnya.
Daryati menolak kalau informasi Pemilu baru dilakukan tahun ini. Dia beranggapan penghuni Bong Suwung mungkin berpindah-pindah sehingga penghuni baru tak tahu soal ini.
Kendati demikian dia mengakui kalau hasil sosialisasi memang belum ada yang mengakses layanan pindah memilih dari Bong Suwung, baru ada yang di Pasar Kembang.
Pindah untuk Memilih
Dari ratusan pekerja seks di Pasar Kembang terdapat 13 orang yang mengakses layanan pindah memilih pada Pemilu 2024 ini.
"Karena di Pasar Kembang kami sosialisasikan beberapa kali, ada layanan pindah memilih juga. Kalau di Bong Suwung hanya sekali itu saja," kata Daryati yang mengaku sosialisasi pemilu di lokalisasi Pasar Kembang butuh empat kali.
Secara sosiologis pengelompokan pekerja seks di lokalisasi barat Malioboro ini memang berbeda dengan Bong Suwung.
"Kalau di Bong Suwung cenderung kompak dan mudah diorganisir, kalau di Pasar Kembang memang harus mendatangi tiap kelompok karena banyak juga di sana," kata Daryati.
Meskipun demikian ada 13 Pekerja seks yang mengakses layanan tersebut dan setuju menggunakan hak pilih di lokasi terdekat domisilinya. Daryati meyakinkan kalau ke-13 orang ini akan terlayani dengan baik.
Menurut Daryati, memang perlu ada ketelatenan mengajak kelompok marjinal untuk menggunakan hak pilihnya.
Kelompok Waria Tak Diperhatikan
Berbeda dengan pekerja seks, kelompok waria di Yogyakarta malah tak tersentuh sama sekali oleh Komisi Pemiluhan Umum (KPU). Hingga jelang pemilu belum ada yang mengadakan sosialisasi.
Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo), Ayu Kusuma menjelaskan kondisi waria di Yogyakarta masih rentan menghadapi diskriminasi dan kekerasan.
"Sampai akhir 2023 kemarin ada beberapa kasus diskriminasi bahkan kekerasan terhadap waria di Yogya, ada yang diusir dari kosnya, ada yang karena ekspresinya dilarang di lingkungan pendidikan," kata Ayu.
Kondisi diskriminasi dan kekerasan terhadap waria itu menyebabkan sulitnya mengakses hak-hak dasar, termasuk hak pilih dalam Pemilu 2024 ini.
"Ada kemungkinan karena stigma dan diskriminasi ini, teman-teman juga memilih tidak berpartisipasi. Mungkin saja mereka terdaftar tapi karena kondisi yang tak ramah menyebabkan mereka mengurungkan haknya," kata Ayu lagi.
Padahal pemenuhan kartu identitas bagi kelompok waria di Yogya sudah cukup baik dimana hampir 90 persen transpuan memiliki KTP. Iwayo melakukan advokasi untuk kepemilikan KTP ini dan respons dinas kependudukan dan catatan sipil di Yogya juga sudah cukup ramah.
Tak adanya sosialisasi terkait Pemilu 2024 untuk kelompok waria ini juga dikonfirmasi Ketua Pondok Pesantren Al-fatah Yogya, Bunda YS.
"Kami rutin berkegiatan tiap minggu, partisipan teman-teman juga tinggi setiap pengajian tiap Minggu minimal ada 20 waria yang ikut. Tapi belum dapat ajakan sosialisasi juga di sini," kata Bunda YS pada Independen.id baru-baru ini.
Dengan mayoritas waria sudah memiliki KTP mestinya dipermudah layanan pindah untuk mencoblos.
"Kami sendiri akhirnya yang meminta teman-teman mengecek apakah terdaftar sebagai pemilih tidak, hasilnya semua yang memiliki KTP terdaftar sebagai pemilih," ungkapnya.
Sayangnya masalah yang sama seperti yang dialami pekerja seks muncul, dimana seluruh waria dengan KTP luar Yogya terdaftar di alamat asalnya.
"Kebanyakan tidak bisa balik ke alamat asalnya yang terdaftar sebagai pemilih, lalu kami minta mereka untuk mendaftar ke domisilinya di Yogya, karena memang mereka ingin berpartisipasi dalam Pemilu" ucap kata Bunya YS.
Lastri, waria asal Temanggung, Jawa Tengah yang sudah menetap di Yogya sejak 1987, mengaku kemungkinan tidak bisa mencoblos karena TPS yang harus didatangi jauh dari tempatnya sekarang.
“Butuh biaya,” ujar Lastri.
Sejak memutuskan jalan hidup sebagai waria, pemilu terakhir yang pernah diikuti Lastri adalah Pemilu 1999 silam.
"Bukannya tidak mau nyoblos, tapi memang tidak mendukung saja bagi kami yang tinggal jauh dari daerah domisili, penginnya ada kemudahan begitu," katanya.
Rini juga senasib dengan Lastri. Dia sudah menetap di Yogya sejak 1997.
Rini ingin sekali menggunakan hak pilihnya. Ia berniat memilih di Yogya dan sudah mendaftarkan ke Ketua RT di lokasi terdekat indekosnya.
"Tapi belum terdaftar juga karena terlambat daftarnya, ini masih menunggu kemungkinan apakah masih bisa nyoblos di dekat tempat tinggal," kata Rini.
Pemetaan KPU Yogya Tak Menyadari Keberadaan Waria
KPU Yogyakarta memang memiliki niat untuk melindungi hak pilih kelompok marjinal. Usaha itu dilakukan dengan memetakan kelompok-kelompok marjinal di wilayah Yogyakarta untuk kemudian diberikan sosialisasi dan pelayanan untuk memastikan hak pilih kelompok ini terlayani dengan baik.
"Seperti sosialisasi ke Pasar Kembang dan Bong Suwung itu, kami juga sosialisasi ke kelompok difabel juga di beberapa SLB, mereka kami libatkan," jelas Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat, KPU Jogja Agus Muhamad Yasin, Rabu (7/2) kepada Independen.id.
Namun Agus menyadari belum melakukannya ke kelompok waria.
"Kami baru tahu ada Pondok Pesantren Al-Fatah yang menaungi kelompok waria berada di Kota Yogya," kata Agus. "Akan jadi evaluasi buat kami agar selanjutnya segera mungkin ada PPK Jetis yang mensosialisasikannya ke sana.”
Pondok Pesantren Al-Fatah memang berada di Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis.
Keberadaan TPS Khusus di Yogya juga belum dioptimalkan untuk kelompok marjinal seperti pekerja seks dan waria.
"Memungkinkan saja sebenarnya, jika memenuhi syarat, tapi belum ada di tempat seperti itu. Baru di kampus, pondok pesantren, dan lapas," balas Agus.
Bawaslu juga memberikan informasi yang sama bahwa belum ada pembentukan TPS Khusus di lokalisasi, Pondok Pesantren Al-fatah, atau tempat lain yang banyak kelompok marjinal.
"Sementara ini baru kampus, lapas, dan pondok pesantren karena di lokasi tersebut memiliki legalitas dan penanggung jawabnya, sementara di lokalisasi seperti Pasar Kembang dan Bong Suwung belum ada TPS Khusus karena belum ada legalitas dan penanggung jawabnya," terang Ketua Divisi Hukum, Pencegahan, dan Partisipasi Masyarakat Bawaslu Jogja, Siti Nurhayati baru-batu ini.
Siti menyebut syarat lainnya agar bisa mendirikan TPS Khusus adalah pengajuan dari tempat terkait dan populasi pemilih di tempat tersebut.
"Meskipun begitu kami juga melakukan pengawasan agar hak pilih kelompok marjinal ini dilindungi, seperti saat pendataan di Pasar Kembang itu kami juga ikut mengikuti pendataannya," tandasnya.
CATATAN REDAKSI
Liputan ini merupakan kolaborasi Independen.id, AJI dengan media penerima beasiswa liputan Pemilu 2024 didukung USAID MEDIA - Internews