Independen – Jilbab putih dan coklat itu masih terlipat rapi di lemari J. Terasa kaku dan masih ‘baru’ sebab tidak pernah dibuka apalagi dipakai. Jilbab diterima J sebagai bagian dari atribut sekolahnya di SMKN 2 Padang.
Meskipun ada aturan yang mengharuskan menggunakan jilbab, J tidak pernah mengeluarkan atau mencoba memakai jilbab tersebut. Bagi J yang beragama Kristen, memakai jilbab sama saja dengan mempermainkan agama.
“Tidak pernah coba pakai, khawatir mempermainkan agama,” kata J, siswa SMKN 2 Padang saat ditemui di rumahnya, Minggu (19/9/2021) lalu.
Akan tetapi, tidak semua orang dapat memahami prinsip J, sekalipun guru-guru di sekolahnya. Atas dalih peraturan, guru J sering kali bertanya kenapa J tidak memakai jilbab. Dari bertanya, berlanjut dengan menegur, bahkan J dipanggil menghadap pihak sekolah.
Juli 2020, saat semester pertama J di bangku kelas X dimulai. J ke sekolah tidak memakai jilbab. Hari itu pula menjadi hari J dipanggil dan diberi peringatan soal jilbab sebagai peraturan oleh pihak sekolah.
Berselang satu semester pembelajaran secara daring, tepatnya pada awal Januari 2021 sekolah tatap muka diberlakukan kembali. J kembali dipanggil pihak sekolah. Persoalannya masih sama, J tidak juga memakai jilbab.
Guru kemudian menyarankan agar dirinya memakai jilbab di lingkungan sekolah. Ke luar dari gerbang sekolah, ia boleh menanggalkan jilbab tersebut. J tidak mau begitu, apalagi buka tutup jilbab.
Ia sempat diberi waktu sepekan lamanya untuk mengambil keputusan apakah masih tetap pada pendiriannya atau tidak. Waktu yang diberikan sama sekali tidak membuat J goyah ataupun mengubah keputusannya. Keyakinannya satu, memakai jilbab berarti mempermainkan pakaian dan agama orang lain.
Puncaknya 21 Januari 2021 lalu, orangtuanya dipanggil pihak sekolah hingga terjadi perdebatan yang kemudian viral di media sosial.
Dalam video itu, ayahnya, EH menjelaskan dirinya dan anaknya adalah Kristiani, ia mempertanyakan alasan sekolah negeri membuat aturan tersebut. EH mengaku dipanggil melalui pesan lisan pihak sekolah kepada anaknya.
“Dipanggil sekolah lisan melalui anak saya. Alasannya karena anak saya tidak pakai jilbab, Saya hadiri, terjadilah insiden itu,” kata EH.
EH mengatakan pihak sekolah mengklaim tidak ada unsur paksaan kepada anaknya untuk mamakai jilbab. Akan tetapi, ia klaim sekolah seolah paradoks. Tidak ada unsur paksaan, namun meminta J membuat surat pernyataan.
“Kenapa sekolah sampai memanggil saya?” tutur EH
Kini, api padam namun puntung tak hanyut. Persoalan tersebut tidak benar-benar selesai, justru terkesan didiamkan begitu saja. Tidak ada keputusan yang jelas bagaimana seragam siswi, SKB tiga menteri yang dimunculkan pasca-mencuatnya isu pemaksaaan itu pun sudah dicabut. Kekhwatiran pun masih ada. J merasa sendiri menghadapi kondisi itu.
Orangtuanya was-was. Hingga beberapa menit sebelum jadwal pulang sekolah, orangtua menunggunya di luar sekolah. Meyakinkan, mereka tetap bersama J. Selain itu juga bentuk perlindungan, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal sebelum kejadian itu, J selalu pulang sendiri menaiki angkutan kota.
“Saya sangat khawatir, yang namanya sebagai orangtua ya, sebab ada intimidasi dengan nada mengancam, menghabisi satu persatu, ada foto keluarga di media soal facebook, dikirimkan ke kami, mereka mengatakan sudah paham wajah-wajah kami,” ungkap EH.
Beruntung banyak pihak yang memberi dukungan kepada J dan keluarga, termasuk putri Gus Dur Alissa Wahid. Mendapat dukungan itu, J tampak semakin kuat. Ia mencoba untuk tidak ambil pusing. Tapi perasaan tidak enak masih menyelimutinya. Meyakinkan diri, ia beranggapan sekolah untuk belajar bukan cari teman.
Sementara itu, EH mengatakan jika kedepannya J mengalami hal serupa. Ia menegaskan ia tidak akan diam saja. “Sudah biasa-biasa saja. Anak saya (dua orang) tetap sekolah di sana. Kalau terjadi lagi masalah serupa, lapor lagi," sambungnya.
Seorang alumnus beragama Kristen di salah satu SMK Negeri di Padang, A bercerita selama belajar di sana ia melihat ada aturan yang tidak jelas dan tegas soal seragam di sekolah itu. Aturan sekolah yang ia tahu, siswi harus memakai atribut sekolah lengkap mulai dari lambang, jilbab, rok, dan baju.
“Kami mengikuti peraturan yang ada saja dan sudah terbiasa juga. Kita kan punya atribut kan, sudah disediakan langsung di sana jilbabnya, di aturan sekolah tidak tertera kalau yang nonmuslim tidak diwajibkan, tidak ada aturan jelas dan tegasnya,” sebutnya.
Di akhir masa sekolah A berbarengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri. Merasa ada aturan yang membuat aman, ia sempat melepas jilbab ke sekolah. Menurutnya, keputusan itu sempat membuat teman-temannya kaget. “Mungkin mereka kaget dulu di awal, soalnya masih jarang untuk melepas jilbab di area sekolah,” ucap A.
Tak hanya di SMKN 2 Padang, sikap diskriminatif juga pernah dialami oleh siswi di daerah lainnya di Sumatera Barat (Sumbar). Seperti kisah Helen (bukan nama sebenarnya) yang intens mengenakan jilbab sejak bersekolah di SMP Negeri di Pasaman Barat.
Sempat terbesit olehnya yang bukan pemeluk agama Islam kenapa mengenakan jilbab. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu kepada guru-gurunya di sekolah.
Di usianya yang terbilang sangat muda, pada waktu itu kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP), Helen menanyakan kepada guru Bimbingan Konseling (BK), kenapa diwajibkan memakai jilbab sementara ia beragama Kristen. Sikap kritis tersebut alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru diminta pindah ke sekolah lain.
“Kalau misalnya kamu emang nggak mau makai, ya udah kamu keluar aja dari sekolah ini,” ungkap Helen menirukan jawaban gurunya saat itu.
Pengalaman tidak mengenakkan itu ia ceritakan kepada ibunya. Sang ibu memintanya agar mengikuti saja aturan yang ada daripada dikeluarkan dari sekolah. Oleh karena pertimbangan, tidak ingin ibu kecewa serta rasa khawatir mendapat masalah baru, Helen tetap menggunakan jilbab hingga tamat sekolah SMP.
Di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), ia kembali menghadapi aturan seragam. Seakan tidak lelah untuk mencari tahu, Helen kembali menanyakan peraturan tersebut kenapa juga dibebankan kepada siswi Kristiani.
Bukan mendapatkan jawaban yang menjelaskan tegak duduk persoalan, guru di sekolah Helen hanya mengatakan jika peraturan telah lama diterapkan. Serta siswi nonmuslim selama ini tidak keberatan dan tidak pernah protes kepada sekolah.
“Guru tersebut mengatakan kepada saya, kalau misalnya ada teman-teman kamu yang lain datang, bertanya dengan pertanyaan yang sama, kamu yang saya cari,” ucap Helen dengan suara getir.
Tidak hanya ancaman, nilai Helen anjlok gara-gara menarasikan apa yang ada di pikirannya. Ia juga mendapatkan perlakuan berbeda dibandingkan siswa lain. Serta seringkali dipandang sinis. Contohnya ketika bertanya sekaitan dengan materi pelajaran, ia tidak direspon baik.
“Pandangan guru banyak yang sinis, bahkan juga berpengaruh ke peringkat dan nilai. Seharusnya nilai membuat saya masuk peringkat 1-3. Tapi menjadi turun karena pernah melapor ke Wakil Kesiswaan,” terang Helen.
Tidak hanya di sekolah, Helen juga diminta memakai jilbab di luar sekolah. Pernah secara tidak sengaja ia bertemu dengan gurunya di pasar. Saat ia menyapa, lagi-lagi guru menanyakan jilbab.
Helen mengatakan jika ia berada di luar lingkungan sekolah, namun guru tersebut kukuh mengatakan tetap harus berjilbab sebab ia bertemu guru walaupun pertemuan itu sebenarnya terjadi secara tidak sengaja.
“Setelah bertemu guru itu, esoknya nilai saya dikasih C, makanya setelah itu saya menghindari sekali bertemu guru,” ungkap Helen.
Pemaksaan itu terus berlanjut, puncaknya itu ketika kelas 3 SMK, momen pembuatan KTP gratis 2019 silam. Daripada jauh-jauh ke kecamatan, Helen memilih melakukan perekaman diri di sekolah. Ia lagi-lagi mempertanyakan bolehkah untuk melepaskan jilbab. Sebab foto KTP berlaku seumur hidup.
“Gurunya bilang, tidak apa-apa, semua wajib pakai hijab, jangan dilepas ya,” begitu kata guru kepada Helen.
Jelang difoto, Helen berusaha memastikan kepada petugas perekaman sebaiknya ia tidak menggunakan jilbab. Namun, petugas manut terhadap perkataan guru.
Situasi sulit yang dikhawatirkan Helen terjadi, meski telah bebas berpakaian saat kuliah, Helen menerima persoalan lain. Ulah foto di KTP-nya yang menggunakan jilbab, ia dianggap keluar dari Islam atau murtad.
Tidak berhenti di situ, ucapan yang sama juga dilontarkan teman-temannya. Dengan dalih candaan, teman-teman Helen seringkali melontarkan ujaran yang mengusik keyakinannya, seperti diajak memeluk agama tertentu.
“Saya seringkali mendapatkan ujaran, ‘kamu cantik loh pakai jilbab’, ‘kamu masuk Islam aja’, atau ‘kamu tidak cocok jadi Kristen’. Ada juga, ‘kok Kristen pakai jilbab?” sambung Helen.
Ujaran tersebut tidak sesederhana niat bercanda atau untuk membuat akrab dengan rekan sebaya. Lebih dari itu, ujaran teman-temannya soal agama membuat Helen terbebani. Ia kerap merasa tertekan.
Beberapa kali ia mencoba untuk memaklumi dan memaafkan. Namun, rasa trauma karena bully yang menahun dari guru dan teman-teman, membuatnya jadi lebih menarik diri. Ia juga tidak bisa bercerita banyak, orang tuanya kerap berpesan agar hidupnya lebih tenang, sebagai minoritas harus lebih banyak menerima.
“Saya tertekan karena bully-an, dibilang murtad dan segala macam. Setiap kali perasaan tersebut muncul dan mengadu ke Mama, jawaban Mama selalu terima saja, jangan melawan, kita tidak bisa apa-apa,” aku Helen, Rabu (22/9/2021) lalu.
Kondisi itu terus berlarut-larut, Helen hanya bisa menangis sampai tertidur. Ketika bangun ia sudah merasa agak tenang. Ia tahu dengan begitu, tak mampu menyelesaikan masalah. Tapi setidaknya bisa lega, walaupun sementara.
Memakai jilbab memang tidak berpengaruh kepada keimanannya, namun membuat Helen tidak percaya diri. Helen merasa identitasnya menjadi tidak jelas, orang berulang kali menanyakan agamanya.
Seandainya diberikan pilihan untuk tidak menggunakan jilbab waktu sekolah, ia akan memilih tidak menggunakan. Sebab dengan begitu ia bisa menunjukkan identitasnya sebagai penganut Kristiani. Namun, tidak ada pilihan untuk Helen, yang ada hanyalah aturan.
“Kalau tidak pakai hijab, itu pembeda antara yang berbeda gitu, nggak menyamakan semuanya kan kita punya punya hak untuk tampil beda untuk mengekspresikan diri,” tutur Helen.
Saat diterbitkannya SKB soal seragam sekolah, Helen jadi salah satu orang yang paling bahagia dengan keputusan tersebut. Mulanya ia berharap SKB tiga menteri itu mampu menguatkan sikap toleransi dan saling kesepahaman antar pemeluk agama. Namun, SKB tiga menteri tersebut hanya oase di tengah gurun pasir. Beberapa bulan setelahnya kembali dicabut atas gugatan yang dilayangkan beberapa pihak.
“Saya tersakiti ketika tahu SKB tiga menteri dicabut lagi. Kok bisa? Apa yang ada di pikiran mereka, sampai mereka berpikir SKB tiga menteri itu mengganggu budaya Minangkabau. Apa yang membuat mereka berpikir itu bakalan merusak adat istiadat Minangkabau,” ujar Helen bertanya-tanya.
Helen masih berharap SKB tiga menteri atau peraturan serupa ditegakkan. Ia juga berharap peraturan-peraturan yang mendiskriminasi minoritas diharapkan juga dicabut. Kedepannya agar bisa lebih baik lagi, pemerintah itu menurutnya harus memberikan ruang untuk mengekspresikan diri meski berbeda-beda agama.
“Tak ada yang mustahil jika benar-benar berjuang, jika tak berubah, generasi selanjutnya akan merasakan hal yang sama,” tukas Helen.
Mahkamah Agung Tidak Melihat Deritanya Minoritas
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani menduga lebih banyak lagi kasus pemaksaan jilbab yang terjadi di berbagai daerah di Sumbar. Ia mengatakan sering berdiskusi dengan kaum minoritas yang mengeluh soal dipaksa pakai jilbab.
Mereka dipanggil, disentil oleh gurunya, dan ditanya kenapa tidak berjilbab. Pernyataan itu sering dilontarkan. “Jangan dipandang sepele kasus jilbab yang kemarin. Bahkan dia dipanggil ke sekolah dan dibandingkan dengan kakak kelasnya yang nonmuslim tapi pakai jilbab, pilihan dia diintervensi. Itu juga terjadi ke teman-teman yang lain,” terang Indira, Sabtu (7/8/2021) lalu.
Tak hanya di Padang, LBH juga menemukan kasus serupa di daerah lain di Sumbar seperti Dharmasraya dan Pasaman Barat. Hampir semua siswi minoritas di sekolah negeri itu sulit untuk menghadapi situasi tersebut.
Ada ketakutan siswi nonmuslim ketika dianggap berbeda oleh gurunya. Selain takut, siswi juga cemas sehingga terpaksa mengambil pilihan untuk mengenakan jilbab.
Indira mengatakan Sumbar punya 15 regulasi daerah dalam bentuk imbauan, surat edaran, dan Perda yang kemudian memaksakan atribut keagamaan di ruang-ruang publik. Tak hanya mencakup Padang, tetapi juga Sumbar.
“Sumbar itu juara satu pokoknya,” tutur Indira.
LBH mendesak Kemendikbud menyelesaikan masalah tersebut. Persoalan jilbab dianggap bukan masalah kecil tetapi masalah besar yang sudah lama ada. Tak bisa dibayangkan jika di setiap wilayah muncul regulasi yang lahir dari suatu agama tertentu. Dipastikan regulasi tersebut akan mendiskriminasi.
Jika hal demikian terjadi, Indonesia dinilai tidak menghargai keberagaman dan terpecah belah. Namun hal tersebut bukanlah mimpi bersama. Indira tak ingin ada aturan hukum yang lahir dari segmentasi agama tertentu yang dipastikan berbeda dan akan mendiskriminasi agama lain.
“Kami cukup prihatin dengan MA, seolah-olah MA tidak melihat deritanya minoritas, seolah-olah hakim tidak menguji realitas yang dihadapi oleh anak-anak perempuan minoritas yang bersekolah di sekolah negeri, kami sangat kecewa dengan putusan MA,” kata Indira.
Istilah Toleransi Dipersepsikan Keliru
Pakar Hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 3 Mei 2021 lalu yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah hanya bertumpu pada satu penafsiran tertentu.
“Memprihatinkan jika meletakkan argumentasi dalam putusannya lebih kepada nilai-nilai agama dan moralitas yang bertumpu pada penafsiran tertentu,” kata Sri saat Sidang Eksaminasi Publik yang digelar virtual, Kamis (12/8/2021) lalu.
Sementara, argumentasi filosofis diabaikan terutama terutama dalam prinsip keadilan, prinsip HAM, prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan, hingga prinsip kewajiban dalam pencegahan pelanggaran HAM.
“Adanya pelanggaran hak anak, perempuan, kelompok minoritas yang sudah dilaporkan lembaga HAM yang sudah diakui dalam UU juga diabaikan oleh MA,” sambung Sri.
Menurut Sri, landasan yuridis berupa Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional digunakan sangat sempit dan mengabaikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang setara seperti UU HAM, UU Perlindungan Anak, Konvensi Hak Perempuan, serta UU hasil ratifikasi berbagai konvensi mengenai HAM lainnya.
Ia menegaskan MA adalah lembaga peradilan yang berdasarkan pada hukum keadilan dan kemanfaatan serta kepastian hukum, bukan sebagai lembaga agama. “Ini prihatin sekali kalau MA berubah haluannnya, dan saya kira ini tidak tepat dan sangat disayangkan,” ujar Sri.
Pengajar Fakultas Hukum UGM ini juga menilai beberapa hal yang keliru di balik pertimbangan hakim MA, antara lain mengenai intoleransi yang digunakan berdasarkan agama justru mengakomodasi intoleransi. “Istilah intoleransi dipersepsikan sangat keliru menurut saya,” tukas Sri.
Selain itu menurutnya hakim juga mengabaikan perspektif keberagaman. Bahkan ada pengambilalihan tugas orangtua dalam menanamkan nilai nilai religius sehingga seolah-olah sekolah dan pemerintah berkewajiban menggantikan orangtua dan melakukan intervensi terhadap kebebasan beragama yang sangat hakiki dan privat.
“Yang menjadi sangat penting ialah mengabaikan realitas terhadap perempuan sebagai korban atas kebijakan yang diskriminatif. Kemudian juga adanya prasangka buruk terhadap perempuan yang tidak pakai jibab, dianggap tidak bermoral,” kata dia.
Pertimbangan Terhadap Nilai-nilai HAM Sangat Kering
Sementara itu, ahli hukum dari Universitas Muhammadiyah Malang, Cekli Setya Pratiwi mengatakan Mahkamah Agung Republik Indonesia belum memahami, mempertimbangkan dimensi HAM, khususnya kebebasan beragama secara tepat dan komprehensif.
Ia menegaskan putusan hakim itu adalah produk tidak hanya integritas intelektual penegak hukum tetapi juga merupakan produk integritas moral. Sehingga seorang penegak hukum khususnya hakim diharapkan mampu memaknai fakta-fakta sosial dan hukum dengan melihat bukti-bukti yang memadai untuk mengkritalisasi asas, nilai-nilai dan norma hukum yang ada.
“Saya melihat sangat kering sekali pertimbangan hakim terhadap nilai nilai HAM. Mungkin barangkali juga dipengaruhi oleh pemahaman yang minim para hakim terhadap konsep dasar norma maupun prinsip HAM,” ujarnya.
Dalam kebebasan beragama, lanjutnya, seyogyanya tanpa paksaan, setiap orang berhak menentukan apa yang terbaik. Segala bentuk tindakan atau peraturan atau kebijakan yang menghalangi, memaksa, mengecualikan, dan membatasi itu merupakan bagian dari bentuk diskriminatif kalau itu diasarkan pada perbedaan agama.
“Pembatasan itu harus bersumber pada UU, artinya bukan peraturan level di bawah UU. Kalaupun peraturan di bawah level UU, itu merupakan tindaklanjut apa yang dituangkan dalam UU,” tegasnya.
Ia juga mengatakan tidak boleh ada kebijakaan di bawah UU yang menghasilkan norma baru yang sesungguhnya tidak pernah ada dalam UU. “Posisi negara seharusnya netral, tetapi juga akomodatif dalam artian negara tidak ikut campur tetapi negara mengakomodasi kepentingan semua agama termasuk kepercayaan,” imbuhnya.
Putusan MA itu juga membuat Ketua Dewan Pengurus Cahaya Guru, Henny Supolo prihatin. “Tampak sekali majelis hakim kurang teliti membaca isi pasal dan membuat pertimbangan yang sama sekali tidak relevan dengan isi seungguhnya pasal tersebut,” tegasnya.
Di satu sisi MA berharap ada pembiasaan dalam proses belajar mengajar bagi peserta didik yang belum dewasa sehingga bisa untuk mencapai tujuan pendidikan anak didik menjadi cerdas. Akan tetapi mewajibkan anak didik memakai seragam tertentu merupakan suatu pembenaran yang tidak mencerdaskan peserta didik.
Bahkan cenderung meniadakan sebagian dari proses perkembangan anak yang justru sangat penting. “Membiasakan murid memlih dan bertanggung jawab atas pilihannya akan mengembangkan potensi kepemimpinannya pun hal ini berkaitan dengan kemandirian,” ujarnya.
Ia juga menyorot soal pandangan MA mengenai sepatutnya pemerintah tidak membebaskan orang yang belum dewasa untuk memilih seragam yang sesuai atau tidak dengan agamanya. Karena hal itu tidak sensitif dengan realitas di masyarakat dan dapat meyimpang dari nilai-nilai dasar dan budaya dari masyarakat yang sudah tumbuh sejak lama.
Dalam hal ini, terangnya, sangat terasa semangat sebagai pendidik menghilang, ketika peserta didik tidak dipandang patut diberi kepercayaan. “Realitasnya masyarakaa Indonesia beragam bahkan juga dalam satu kepercayaan yang sama,” tukasnya.
Ia mengatakan anak adalah subjek sekaligus pusat perhatian dan pusat kegiatan, ruh dalam pendidikan adalah sikap yang menumbuhkan dan memberikan kesempatan anak didik tumbuh dan berkembang mandiri.
“Seorang anak dilahirkan dengan kodratnya, dengan kekuatannya sendiri sebagai garis tipis dan tugas pendidik ialah menebalkan garis itu,” tuturnya.
Picu Intoleransi di Sekolah
Keputusan MA membatalkan SKB tiga menteri disesalkan banyak pihak. Peneliti Senior Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan pembatalan itu berpotensi dapat memicu intoleransi di sekolah.
Dia menilai aturan yang memaksa perempuan mengenakan jilbab sebagai aturan yang diskriminatif dan merugikan perempuan. Apapun alasannya baik untuk agama maupun adat, kata dia, sama saja intinya memaksa anak-anak perempuan untuk memakai jilbab.
“Itu melanggar hak anak dan perempuan untuk memilih pakaian mereka,” tegasnya, Jumat (23/9/2021) lalu.
Beberapa kasus, lanjutnya, aturan itu bahkan telah mendorong sejumlah siswi yang tidak mengikuti aturan itu untuk mundur atau keluar dari sekolah. Ancaman mengeluarkan anak atau guru dari sekolah bila tak memakai jilbab, menurutnya hal itu ialah bentuk sederhana pemaksaan.
Andreas mendorong siapapun yang bilang tidak ada paksaan dalam berjilbab, silakan membuktikan dengan membiarkan siswi atau guru perempuan memilih dengan bebas. “Buktikan bila tak ada pemaksaan,” ucap Andreas.
Menurut Andreas, pemerintah harus mencabut berbagai peraturan wajib jilbab yang ada di Sumbar. Sejak 2001, sebut Andreas, Sumbar mulai mewajibkan jilbab di sekolah-sekolah. Bahkan Sumbar adalah provinsi pertama di Indonesia yang bikin aturan wajib jilbab.
Aceh nomor dua pada 2004 namun lebih banyak perhatian diberikan kepada Aceh dengan segala pelanggaran dan aturan yang beracun. Sumbar baru mulai diperhatikan sesudah kasus SMKN 2 Padang.
“Itu seharusnya dicabut semua bila benar tak ada paksaan dalam memakai jilbab di Sumbar ,” tukas Andreas.
Sementara Ketua Tanfidziyah PWNU Sumatera Barat, Prof Ganefri menyatakan terbitnya SKB tiga menteri pada awalnya sudah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam.
PWNU menilai SKB tiga menteri dihadirkan untuk melindungi umat muslim di daerah minoritas. Supaya umat muslim yang ada di daerah-daerah minoritas, bisa menggunakan atribut keagamaannya.
“Kita harus menyadari kalau kita ini masyarakat yang multietnis, multi budaya, kalau tidak bisa menyadari itu susah juga. Soal berpakaian itu kan hak dari setiap warga negara,” sebut Ganefri.
Jilbab Masuk Kearifan Lokal, Bagaimana Komitmen Dinas Pendidikan Pastikan Tidak Ada Pemaksaan?
Setelah Mahkamah Agung membatalkan SKB Tiga Menteri terkait seragam sekolah, Kepala Sekolah SMKN 2 Padang Rusmadi memastikan tidak ada lagi pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah. Kegiatan di sekolah dilaksanakan sesuai norma yang berlaku dan disesuaikan dengan petunjuk teknis (Juknis) yang ada. Hal itu sesuai dengan Peraturan Mendikbud (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014.
“Kita tidak terlalu berpolemik dengan keluar dan dicabutnya SKB tiga menteri. Kita tetap sesuai pedoman dan aturan yang berlaku,” tutur Rusmadi baru-baru ini.
Disampaikan Rusmadi juga hal ini sudah disepakati bersama dengan komite sekolah sebagai perwakilan orang tua dan alumni. Hal itu sudah disepakati bersama dengan komite sekolah sebagai perwakilan dari orangtua dan alumni.
Akan tetapi, lanjutnya, bagaimanapun juga Sumbar punya kearifan lokal, karena itu menurutnya kalau bisa menyesuaikan dan saling menghargai. “Kita tidak memaksakan, tapi silakan disesuaikan,” tambahnya.
Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Adib Alfikri berpendapat pembatalan SKB tiga menteri tidak memberi dampak terhadap proses belajar mengajar di sekolah. Ia melihat tidak ada yang berbeda, sehingga tidak mempersoalkan dibatalkan atau tidaknya SKB tiga menteri.
Bagi Adib, Sumbar adalah wilayah yang toleran. “Tidak ada pemaksaan di sana (sekolah). Yang muslim gunakan pakaian muslim sesuai budaya kita, yang nonmuslim silakan dipilih, mau pakai atau tidak, mau seragam atau tidak, tidak ada masalah,” aku Adib.
Hal serupa juga ditegaskan Kabid SMK Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar Raymond. Aturan yang berlaku sekarang, kata Raymond, sama dengan aturan sebelumnya, tidak ada pemaksaan-pemaksaan.
“Tidak ada diskriminasi, tidak ada suatu yang ganjil, berjalan nomal saja, si anak tidak pernah dijentik, dijatuhkan sanksi tidak pernah dan anak bersekolah seperti biasa, tidak ada masalah,” tegasnya, Rabu (21/7/2021).
Perempuan Punya Hak Memilih Pakai Jilbab atau Tidak
Apa yang disampaikan Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, Kepala Dinas Pendidikan Sumbar , dan Kabid SMK Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar sebenarnya masih bisa coba ditelaah secara perlahan dan mendalam.
Karena seperti yang disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah pilihan menggunakan jilbab atau tidak adalah bagian dari ekspresi yang dijamin dan dilindungi konstitusi dan HAM. Namun, lanjut Alimatul, persoalannya sekarang di tengah masyarakat ialah ketika sebuah isu merebak suara mayoritas itu dianggap sebuah kebenaran.
Sementara suara minoritas yang menganggap jilbab itu tidak wajib justru dianggap sebagai kesalahan. Seharusnya, kata Alimatul, sebagai warga negara di bawah konstitusi mestinya itu mengakomodir dua-duanya.
“Mereka yang mau memakai jilbab silakan, yang tidak mau silakan, semestinya begitu kalau di bawah konstitusi. Tapi enggak tahu, kemarin kayaknya mau dibawa ke bukan pada persoalan konstitusi. Sebaliknya akan dibawa ke kearifan lokal masing-masing daerah. Padang (Sumbar) itu punya falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,” ujarnya.
Menurut dia, berjilbab atau tidak berjilbab untuk pelajar muslim dibebaskan saja kepada individunya. Lebih-lebih kepada pelajar yang bukan beragama Islam. Harus memberi ruang yang sama tanpa memandang perbedaan SARA.
“Menurut saya monggo-monggo saja Padang mengambil sikap itu, tapi bisa enggak dipastikan di situ tidak ada pemaksaan atau pelarangan terhadap orang-orang yang mempunyai beda pendapat walaupun mungkin itu hanya dua persen?” sambungnya.
Hal serupa juga disampaikan WCC Nurani Perempuan Rahmi Merri Yenti. Menurutnya, salah satu hak perempuan adalah memilih untuk menggunakan jilbab atau tidak karena itu ialah ekspresi perempuan. Tidak boleh negara mengaturnya, sama halnya dengan memeluk agama.
Kata dia, memang tidak sedikit ditemukan kondisi di mana perempuan di Minang menggunakan jilbab karena aturan yang dibuat baik itu oleh instansi tempatnya bekerja atau tempatnya bersekolah.
“Kita lihat saja, di kampus misalnya, mahasiswi itu berjilbab saat ikut kelas dan di luar itu tidak lagi, saat pergi ke tempat berbelanja dia membuka jilbabnya. Artinya dia berjilbab karena mematuhi aturan yang ada di instansinya,” sambung Merri.
Terkait apakah perempuan yang berjilbab akan terhindar dari kejahatan seksual menurutnya tidak serta merta seperti itu. Merri mengatakan Nurani Perempuan menemukan yang mengalami kekerasan seksual tidak selalu perempuan yang pakaiannya terbuka, perempuan yang memakai jilbab pun banyak. Tapi yang lebih banyak lagi adalah anak-anak.
"Apalah yang menarik dari tubuh anak-anak, kenapa mereka mendapatkan kekerasan seksual, jadi itu intinya otak pelaku yang tidak benar," jelasnya.
Selain itu ia menambahkan berbagai bentuk pemaksaan penggunaan jilbab yang terjadi, seperti halnya peraturan sekolah yang mewajibkan siswi berjilbab. Juga aturan atau kebijakan pemerintah bahwa yang muslimah harus menggunakan jilbab.
Sementara terkait siswi tidak beragama Islam yang menggunakan jilbab hanya sebagai penutup kepala agar tidak berbeda dengan yang lain, bagi Merri itu tetap dikatakan sebagai pelanggaran hak minoritas sebab non muslim minoritas di Sumbar. Ia mempertanyakan aplikasi HAM jika itu tetap diberlakukan.
“Semua orang harus tahu apa saja HAM dan bagaimana itu ditegakkan di tengah masyarakat termasuk pilihan untuk menggunakan jilbab ataupun tidak,” tegas Merri.
Di sisi lain, menurut Merri perempuan Minang selalu diagungkan di luar daerah karena menerapkan sistem matrilineal. Tidak ada daerah lain selain Minangkabau yang menerapkan itu.
Akan tetapi pada kenyataannya dapat dilihat hal tersebut belum terimplementasi sesuai yang digaungkan. Perempuan Minang sering direndahkan padahal dia punya 'Sako' harta warisan. Perempuan berada di posisi lemah walaupun dielukan.
Para Ninik Mamak selayaknya menetapkan tempat yang baik untuk perempuan. Jika kemenakannya mengalami kekerasan, seharusnya niniak mamak mengadukan ke pihak berwajib. Lalu menanggung kehidupan keponakannya, membantu perekonomian keponakannya bukan lepas tangan.
Perempuan di Minang harus sadar saat dia memiliki posisi sebagai bundo kanduang seharusnya turut berpendapat dan berhak mengambil keputusan. Merri menyampaikan harapannya kalau paham kesetaraan gender posisi perempuan bukan di nomor dua.
“Kita lihat sudah banyak di berbagai instansi kepalanya perempuan atau yang mengambil keputusan perempuan tapi masih banyak yang memandang remeh. Pemikiran menyalahkan perempuan, ubah cara pandang itu, perempuan jangan melegalkan nilai patriarki,” tegas Merri.
Alasan Berbusana Sudutkan Perempuan
Ketua Pemuda Lintas Iman (Pelita) Padang, Angelique Maria Cuaca menilai adanya SKB tiga menteri awalnya bentuk penegasan karena dari penyelenggara pendidikan tidak memahami isi Peraturan Menteri Pendidikan nomor 45 tahun 2014, setiap sekolah dapat mengatur pakaian seragam bagi peserta didik mereka.
Namun, seperti tertuang dalam pasal 3 ayat (4) huruf d, sekolah harus memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya.
“Padahal di situ sudah dijelaskan, setiap pendidik ataupun peserta didik berhak memilih menggunakan busana sesuai dengan keyakinan dan kepercayaanya. Hanya saja persoalannya bukan di payungnya, tapi di persoalan aturan turunannya. Itu yang bermasalah, sudah sejak lama dan dibiarkan,” ujar like.
Ia menyatakan memang akhir-akhir pasca reformasi ini, ada yang menjadikan agama itu sebagai identitas bukan sebagai nilai. Sehingga orang itu melihat kereligiusan seseorang itu dari identitas dia, padahal tidak menentukan sama sekali.
“Padang mewajibkan pakai jilbab kan salah satunya supaya menekan angka kekerasan seksual, padahal sama saja. Malah lebih banyak sekarang daripada dulu,” ungkap Like.
Like menegaskan, seringkali alasan-alasan berbusana bernuansa kegaamaan itu menyudutkan perempuan. Menghindari pemerkosaan hingga alasan untuk tidak terkena gigitan nyamuk demam berdarah.
Ditegaskan Like, seharusnya bukan pakaian orangnya yang ditutup, tapi sarang nyamuknya yang diberantas.
Akan tetapi karena kebijakan itu dituangkan melalui Peraturan Wali Kota Padang dan diubah menjadi Peraturan Daerah (Perda) Kota Padang sehingga itu menjadi praktik yang berjalanan sangat cepat.
Menurut Like, SKB tiga menteri itu respon cepat atas kondisi yang memang sudah menahun dan sudah menjemukkan. Akan tetapi sekarang dibatalkan dengan pertimbangan yang sangat tidak masuk akal.
“Akhirnya kita memutuskan ya sudah gitu, meski SKB dibatalkan kita harus memperkuat pemahaman masyarakat terkait peraturan Permendikbud yang isinya tidak jauh beda dengan SKB tiga menteri.”
“Untuk mensosialisasikannya itu tidak hanya Pelita, tapi juga butuh dukungan dari stakeholder lainnya. Terutama media, bahwa kebebasan berbusana itu diatur di Permendikbud,” tukas Like.
Like berpandangan di tengah masyarakat yang beragam yang diperlukan itu tata kelola. Dia mengibaratkan seperti jalan raya, kalau jalan raya itu tidak ada rambu-rambu, maka akan berbenturan. Begitu juga hal yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ketika di tengah masyarakat terjadi gejolak, terjadi kesalahpahaman yang harus dicek ialah tata kelola.
Dimulai dari cara mengelola tata kelola keberagaman di sebuah kota, apakah diskriminatif atau tidak, apakah menguntungkan beberapa kelompok atau tidak, itu sangat mempengaruhi.
Lalu yang harus dilihat juga tentang respon penyelenggara layanan publik ketika mulai terjadi konflik. Apakah membiarkan atau tidak karena di beberapa kasus mereka membiarkan, bahkan menjadi pelaku.
“Itu yang membuat masyarakat saling mencurigai. Satu merasa paling benar dan satu merasa dianaktirikan karena kebijakan. Padahal, keberagaman ini anugerah, itu yang tidak bisa dipungkiri,” jelasnya. (*)
Penulis: Rizka Desri Yusfita
****
Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.