Independen --- Enam orang mengenakan pakaian serba putih dengan muka dibebat kain merah muncul di panggung dan berputar-putar pelan. Masing-masing membawa sebuah boneka teddy bear dan gulungan-gulungan koran yang kemudian dijatuhkan.
Salah satu dari mereka adalah Rita, anak dari pasangan Pedro dan Sofia yang pernah dipenjara dan disiksa ketika pemerintahan diktator militer berkuasa di Uruguay (1973-1985). Pada masa itu, Uruguay yang berependuduk sekira 3,5 juta dikenal dengan “ruang penyiksaan di Amerika Latin.” Sekira 6000 orang dipenjara dan disiksa serta 230 lainnya diculik dan hilang.
“Aku ingat. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Tidak bisa ingat apa-apa. Ibuku dan ayah belum pernah mengatakan apa-apa. Hanya bercerita bahwa mereka pernah dipenjara karena mereka percaya pada sesuatu yang lain,” ujar Rita.
Itulah sepenggal penampilan dalam film teater berjudul “Waktu Tanpa Buku” persembahan Kala Teater dari Makassar yang ditayangkan secara daring (dalam jaringan), tanggal 1 dan 2 Desember 2020. Institut Ungu sebagai penyelenggara juga menampilkan kelompok teater Ruang Kala (Jakarta), Sapu Lidi (Aceh), Mainteater (Bandung) dan grup teater (tanpa nama) dari Yogyakarta yang semua sutradaranya perempuan. Semua menampilkan kisah “Waktu Tanpa Buku” yang ditayangkan dua kali dan berakhir pada 10 Desember bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia.
“Waktu Tanpa Buku” adalah hasil terjemahan naskah drama berjudul “Time Without Book” karya dramawan, akademisi, novelis dan feminis dari Norwegia, Lene Therese Teigen. Naskah yang terbit di Norwegia (2018) dan edisi Inggris (2019) ini mengangkat ketegangan individiual korban pelanggaran hak asasi manusia di Uruguay, apakah harus menceritakan pengalamannya yang buruk itu atau melupakannya.
Bagaimana sejarah kelam pada masa lalu harus diceritakan? Ini adalah lakon pertunjukkan teater yang “berat.”
“Mengapa terus menyimpan kenangan pahit itu? Mengapa tidak memikirkan masa depan saja? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat membantu saya mengembangkan teks,” tulis Lene dalam pengantar buku “Waktu Tanpa Buku.”
Penerjemahan ke bahasa Indonesia dilakukan aktivis dan seniman teater, Faiza Mardzoeki dengan dukungan dari The Writer’s Guild of Norwey dan Norwegian Literature Abroad (Norla) . Buku “Waktu Tanpa Buku” diluncurkan secara daring, Rabu (25/11) di Yogyakarta untuk meramaikan peringatan 16 hari kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia. Selain pentas film teater “Waktu Tanpa Buku”, ada juga acara “Antar Generasi Bicara HAM”, diskusi seni dan ham dan ditutup dengan diskusi bertema “Women’s rights are human rights.”
“Ketika saya membaca naskah ‘Time Without Books’, saya merasa tidak ada jarak dengan cerita itu, tentang ingatan korban pelanggaran hak asasi manusia. Kita tahu persoalan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di Indonesia hingga saat ini tidak mengalami kemajuan signifikan,” ujar Faiza menjelaskan alasan menerjemahkan naskah itu kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis (19/11).
Faiza merasa tidak berjarak sebab sejarah masa lalu Indonesia (1967-1998) dan Uruguay memiliki kesamaan, pernah dikuasai rezim militer yang suka melanggar hak asasi manusia. Kesamaan lainnya, banyak generasi muda di dua negara ini juga tidak mengetahui kebrutalan yang dilakukan rezim militer dua negara itu pada masa lalu.
Setelah pentas perdana “Waktu Tanpa Buku” di ibukota Uruguay, Montevideo, Mei 2018, Lene terkejut karena hanya ada dua dari 40 remaja yang mengetahui tempat perbelanjaan paling mewah di kota itu adalah bekas penjara. Sama, di Yogyakarta tak banyak remaja tahu gedung bertingkat yang kusam di selatan Pasar Kranggan itu, dulu dikenal dengan Gedung Jefferson, adalah tempat penyiksaan para tertuduh pendukung PKI.
“Kami berharap dengan intervensi kesenian dan kebudayaan, isu pelanggaran ham bisa mendapat perhatian serius dan makin luas supaya masyarakat makin sadar,” tambah Faiza yang juga seorang aktivis feminis itu.
Foto: Penampilan Kala Teater dari Makassar dengan sutradara Shinta Febriany saat membawakan lakon "Waktu Tanpa Buku". (foto: Institut Ungu)
Lene menulis naskah ini setelah bertemu dengan orang-orang Uruguay yang pernah melarikan diri ke Norwegia untuk menghindari kehidupan politik yang represif di negara asalnya. Mereka meninggalkan negaranya setelah bebas dari penjara yang juga jadi ruang penyiksaan kepada pria dan perempuan yang “percaya kepada yang lain,” diluar yang diijinkan rezim militer.
Kengerian itu tergambar dalam pengakuan tokoh perempuan, Maria yang tertangkap dan dibawa ke penjara. Dengan pendekatan sinematik, Ruang Kala dengan sutradara Ruth Marini berhasil membangun imaginasi penonton betapa mengerikannya penyiksaan waktu itu.
Dalam bilik penjara yang suram, Maria menyaksikan banyak perempuan digantung. Hanya matanya saja yang tertutup kain.
“Tubuh-tubuh telanjang menggantung di sana. Seperti binatang. Seperti bangkai. Dilucuti dari kemanusiaannya,” ujarnya.
Di Indonesia, penyiksaan yang tidak kalah mengerikan juga dialami para perempuan yang dituduh sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) saat Soeharto mulai mengendalikan kekuasaan pasca 1965. Amurwani Dwi Lestariningsih dalam buku berjudul “Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan”, mencatat C.H. Sumarmiyati (Mamik) mengalami pelecehan seksual saat diinterogasi. Ia disuruh telanjang dan mengalami bentuk pelecehan seksual yang tidak tega saya tuliskan bentuknya di sini.
Sutradara Teater Koma, N. Riantiarno menyatakan “Waktu Tanpa Buku” adalah naskah drama yang ampuh.
“...mungkin bisa melahirkan pentas teater yang berbobot pula,” tulis Riantiarno dalam pengantarnya.
Yang jelas, menyaksikan pentas teater film “Waktu Tanpa Buku” mengharuskan penonton berpikir, sebab satu aktor bisa berganti-ganti peran saat berada di panggung. Tetapi bukankah menonton teater memang tidak sama dengan menyaksikan sinetron di televisi yang tidak membutuhkan kerja otak?
Masa pandemi Covid-19 memang mendorong munculnya eksperimen pertunjukkan teater yang mengedepankan aspek film teater karena ada larangan berkerumun. Pentas teater yang direkam dan disiarkan secara online ini tentu memiliki sisi baik dan buruk.
Lene dan Faiza sudah menghadirkan naskah drama yang konteksual dengan situasi di Indonesia saat ini. “Waktu Tanpa Buku” bisa menjadi alat untuk membongkar ingatan soal pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia pada masa lalu yang masih terkubur.
Lene mengutip sebait pepatah yang tampaknya juga mendorong ia menciptakan naskah ini. ”Orang-orang yang melupakan masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya.”
Kita tentu bukan orang-orang yang menginginkan sejarah kelam nan keji terulang lagi.
Penulis: Bambang Muryanto/D02