Independen -- Pada peristiwa Talangsari (7 Februari 1989) atau penyerbuan pada jamaah Warsidi Lampung, banyak korban berjatuhan. Bahkan pada warga yang sebenarnya tidak ada kalitannya. Saat itu jamaah yang dipimpin Warsidi dianggap kelompok yang membahaykan negara. Satu pastukan militer menyerbu dusun Talangsari, korban berjatuhan, termasuk yang bukan jamaah Warsidi.
Mereka yang selamat atau hidup, ditangkap, dipenjara dan mengalami penyiksaan. Kisahnya mirip seperti penyintas Tragedi65. Setelah keluar dari penjara, warga Talangsari ini mendapat label ek tahanan politik (tapol) yang artinya akan sulit mengurus KTP, mendapatkan sekolah dll.
Trauma menghantui mereka dalam keseharian. Memang setelah Reformasi, mereka tidak lagi wajib lapor ke Koramil seperti pada masa Orde Baru. Namun bayangan kejadian Talangsari di tahun 1989 cukup membekas. Bahkan ada warga yang mengurung diri di rumah dan takut menginjak kakinya di dusun Talangasari, meski jarak dari rumahnya hanya 1 km.
Pemulihan trauma para warga Talangsari tidak mudah. Sebagian warga mendapat pendampingan dari Yayasan Pulih. Dan mereka yang lebih paham bagaimana mengatasi trauma kemudian mengajak yang lain. Namun proses ini tidak berjalan cepat.
Bagaimana warga Talangsari berdamai dengan masa lalu, simak 3 liputan ini mulai dari: Menilik Peristiwa Talangsari 1989, Kisah Korban Berdamai dengan Trauma
(D02)